3

1435 Words
Lara dan Duka masih berada di masing-masing sisi jembatan tanpa mereka ketahui bahwa di jembatan itu tidak hanya ada mereka, tapi di jembatan itu ada dua nyawa. Mereka masih berbicara dengan membatin sembari melihat ke arah langit yang menggelap seperti gelapnya hari-hari mereka berdua itu. Setelah ini mungkin semuanya akan menjadi lebih baik, aku bisa hidup dengan tenang tanpa memikirkan betapa pedihnya hidupku di dunia yang fana ini. Aku tahu cara yang aku pilih ini salah, tapi aku ga tahu bagaimana cara lain agar aku sedikit bisa mendapatkan setitik kebahagiaan saja. Aku juga manusia bisa yang menginginkan sebuah kebahagiaan. Batin Lara saat ini menatap kosong ke arah air yang tak terlihat karena gelapnya sang malam. Tuhan, sejujurnya bukan ini jalan yang ingin aku tempuh. Namun rasanya segala kesakitan ini membawaku untuk berada di di jurang kematian ini. Aku seakan dipaksa untuk melakukan ini jika ingin segera pulih dari segala sesak yang menggerogoti. Aku ingin pulang Tuhan, aku ingin benar-benar pulang dan berkumpul dengan Mama. Karena di dunia ini sudah tidak ada yang menginginkan kehadiran aku, mereka semua tak memperdulikan aku Tuhan. Batin Duka yang juga berdiri di jembatan yang sama dengan Lara. Hanya saja mereka berada di ujung yang berbeda. Duka mengeluarkan air matanya sekarang. Ia teringat dengan segala rasa sakit yang diberikan oleh keluarga. Apa Duka salah jika Duka menginginkan sebuah kebahagiaan dari keluarganya sendiri? Mereka adalah keluarga Duka dan seharusnya Duka juga dianggap sebagai keluarga oleh mereka. Namun kenapa sekarang ini malah rasanya Duka yang menganggap keluarga sementara keluarganya sama sekali tidak pernah menganggap dirinya. Benar-benar menyedihkan Duka. Mereka berdua rasanya sudah tidak bisa lagi, mereka sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan disana. Mereka sudah sama-sama memanjat pagar jembatan itu. Sepertinya jika pagar itu bisa berbicara, pagar tersebut pasti akan mengatakan 'Hei, kalian dua anak bodoh. Kenapa kalian harus ada disini dan memanjat aku. Kalian berat, apalagi dengan segala beban yang kalian pikul. Pasti ini semua benar-benar sangat berat' pasti itu yang dikatakan oleh pagar yang sekarang masih dipanjat oleh mereka berdua. Tuhan, jika memang harus seperti ini akhirnya, bolehkah aku berteriak sejenak sebelum semuanya benar-benar berakhir? Bolehkah aku berteriak dengan sekuat tenaga dan menganggap bahwa seluruh teriakan ku itu adalah segala rasa sakit yang selama ini aku pendam? Batin Lara bertanya-tanya. Rasanya masih sesakit ini dan selalu sesakit ini Tuhan. Rasanya aku ingin berteriak dengan nyaring mengungkapkan segala amarah, kecewa dan rasa sedih yang aku miliki. Apa aku diijinkan Tuhan? Sebelum semua ini benar-benar berakhir dan nantinya aku akan bersama dengan Mama. Batin Duka. "Arghhhhh..." teriak mereka berdua yang mana kini membuat mereka berdua menjadi saling menatap dengan wajah mereka yang puas dengan air mata tak berhenti mengalir dari keduanya. Mereka saling menatap dalam diam. Mereka tidak menyangka bahwa saat ini mereka tidak saling sendiri. Sorot mata kesedihan, kehampaan dan keputusasaan itu kini saling menatap dalam kegelapan. Mereka masih ada di atas jembatan itu tanpa ada rasa takut jika nantinya bisa saja mereka terjatuh. Toh memang itu yang mereka inginkan sekarang ini, kematian. Kematian yang busa menghapus luka mereka yang kian lama kian bernanah dan tak bisa lagi disembuhkan. "Lo siapa? Ngapain Lo disini? Kenapa lo harus disini?" tanya Duka yang sama sekali belum berkenalan dengan Para. Begitupun dengan Lara tidak mengenal Duka. "Aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku cuman menginginkan ketenangan disini, aku ingin pulang. Aku ingin pulang ke tempat dimana luka sudah tidak lagi bisa menjamahku, dimana aku sudah tidak akan lagi merasa sesak atas apa yang terjadi kepada hidupku. Kenapa aku disini? Entah lah, aku berjalan hingga akhirnya sampai di tempat ini. Lalu kamu? Kenapa kamu disini malam ini?" tanya Lara mengatakan hal itu kepada Duka yang kini menatap ke arah dirinya. "Gua juga. Gua mau pulang dan bergabung lagi sama Mama, Mama pasti lagi nunggu gua sekarang. Gua ga tahan hidup sama keluarga yang sama sekali ga peenah menganggap gua ada. Gua ga tahan dengan perasaan dikucilkan oleh keluarga sendiri. Hati gua sakit dan ini semua membuat gua sampai disini. Gua rasa pulang adalah jalan terbaik untuk menyembuhkan luka yang tak pernah bisa sembuh jika gua masih ada di dunia ini." ujar Duka membuat hati Lara ikut sakit mendengarnya. "Aku sama kamu punya tujuan yang sama disini, pulang. Pulang untuk meredam semua luka yang setiap harinya selalu mengiris hati dengan belati yang sangat tajam." ujar Lara. "Tunggu deh, bisa gak kalo Lo ganti kata aku-kamu jadi gua-lo. Anggap aja itu permintaan terakhir gua sebelum gua benar-benar pulang. Tapi itu juga kalo lo mau." pinta Duka. "Okay boleh, tapi kenapa?" tanya Lara yang mana padahal sedari tadi mereka sudah berbicara tapi mereka sama sekali tidak saling mengenal. "Ga papa, gua lebih nyaman bicara pakai gua-lo aja." ujar Duka tersebut. "Menurut Lo, apa setelah ini kita akan bahagia?" tanya Duka pada Lara. "Gua ga tau, tapi mungkin bisa menyelesaikan segala luka yang ada. Karena gua tahu, sebenarnya Tuhan sangat membenci hal ini. Tapi mau gimana lagi gua udah ga sanggup baut bertahan" ujar Lara menjawab Duka. "Apa Lo benar-benar siap?" tanya Duka dan Lara pun mengangguk. "Gua ga pernah siap sama apa yang terjadi dalam hidup gua, rasanya semua hal ga pernah di rencanakan tapi terjadi begitu aja. Kadang gua bingung gimana bisa gua bertahan kayak gitu. Gua juga kadang bingung gimana bisa gua menghadapi dunia yang sekeras ini." ujar Lara tersebut. "Kalo gitu..." ujar Duka yang tersendat karena terdapat suara mobil membunyikan klakson. Suara klakson itu membuat mereka berdua terkejut. Padahal tadi Duka sudah ingin mengajak untuk melompat langsung. Namun karena klakson mobil itu membuat mereka berdua menjadi terkejut dan Duka seolah kehilangan kemampuan untuk berbicara dalam sekejap. "Aaaaa.." suara Lara ini yang membuat Duka semakin terkejut. Lara tadi terkejut hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan sekarang ini Lara bergelantungan di jembatan itu. Duka yang melihatnya langsung turun dengan cepat dari jembatan itu lalu ia berlari ke pojok yang berseberangan dengan dirinya karena memang saat ini Lara ada disana sedang bergelantungan. "Lo tenang aja gua bakalan nolong Lo. Sebentar." ujar Duka dan kini ia sudah menarik Lara meskipun kesusahan. Lara sudah ada di trotoar jalan, kini ia duduk bersebelahan di dekat Duka. Untuk pertama kalinya, tadi mereka bertatapan dalam dengan jarak yang sangat minim. Untuk pertama kalinya tadi Duka dan Lara saling menatap dalam kesunyian jembatan itu. "Sebenarnya lucu sih, Lo mau kematian dan tadi Lo kayak di dukung buat melakukan hal itu. Cuman Lo ketakutan dan gua juga malah nolong Lo. Hahaha lucu ya?" tanya Duka yang kini menertawakan mereka berdua. "Sebentar gua masih deg-degan. Iya gua emang mau kematian tapi ga dengan yang tadi. Gua benar-benar kaget, gua mau pulang dengan cara gua sendiri dan setelah gua benar-benar udah bersiap nanti. Ga kayak tadi yang tiba-tiba aja terjadi." ujar Lara masih dengan wajahnya yang terlihat pias. "Lo juga tadi ngapain malah nolong gua?" tanya Lara pada Duka itu. "Kenapa gua nolong Lo? Ga tahu, gua reflek." jawab Duka tersebut. Setelahnya mereka dihinggapi dengan keterdiaman yang cukup lama hingga pada akhirnya Lara menatap ke arah Duka. Ia melihat semua yang melekat pada diri Duka, sepertinya Duka berasal dari keluarga yang berada. Apa sebenarnya masalah cowok ini hingga membuat dia mau mati? Gua lihat dia dari keluarga yang kaya dan pasti bakalan ada yang nyari dia sekarang. Entah mungkin bodyguard atau sopirnya dia. Setidaknya ada yang mencari dia. Ga kayak gua, karena sekarang gua cuman tinggal sama Papa dan Papa sama sekali ga akan pernah nyari gua. Batin Lara bertanya-tanya. "Kalo gua boleh tahu, apa masalah Lo sampai memilih untuk pulang? Maksud gua Lo dari keluarga yang berada dan ga kekurangan apapun sama sekali kalo dilihat dari apa yang melekat pada diri Lo." ujar Lara pada akhirnya. "Memangnya orang berada ga bisa sakit hati ya? Emangnya orang berada selalu bahagia? Kalo itu pikiran Lo, tapi ga dengan gua. Gua emang semuanya tercukupi, tapi ga dengan kasih sayang. Cuman uang aja yang dikasih sama Papa gua ke gua." ujar Duka kepada Lara tersebut saat ini. "Mama Lo kemana?" tanya Lara bertanya dengan sedikit hati-hati juga. "Mama gua udah pulang duluan, lima belas tahun yang lalu tepat saat gua terlahir di dunia ini. Kadang gua selalu mikir, kenapa gua harus dilahirkan jika satu nyawa mengambil satu nyawa yang lainnya? Kenapa gua harus lahir kalo gua harus membuat Mama pulang? Waktu itu kebahagiaan yang harusnya terasa karena kehadiran gua tiba-tiba menjadi kesedihan yang paling malang dan kemarahan yang paling seram dari Papa dan Kakak gua. Sampai sekarang mereka masih selalu menganggap gua ini penyebab dari kematian Mama." ujar Duka diakhiri dengan tertawa, menertawakan dirinya sendiri yang sangat mengenaskan. Lara memang tidak peka, padahal tadi Duka mengatakan bahwa ia ingin pulang dan segera bergabung dengan Mamanya. Mamanya Duka yang telah meninggalkan dunia yang fana ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD