2

1510 Words
Sementara itu dilain tempat, tepatnya di rumah kecil ditengah-tengah gang kota itu terdapat dua orang yang merupakan Mama dan anaknya yang berusia sekitar 15 tahun. Mereka tampak berada di depan rumah itu dengan ekspresi yang berbeda, sang Mama terlihat sangat malas ada disini, sementara sang Anak terlihat ketakutan. Ketakutan yang sama seperti biasanya, ia hanya takut Mamanya itu pergi meninggalkan dirinya nanti. Seperti saat ia tinggal dengan Mamanya dimana dirinya juga sering ditinggalkan sendiri, Mamanya seperti tidak pernah peduli kepada dirinya. Untuk makan saja ia harus bekerja, karena Mamanya kadang-kadang pulang. Ia memiliki Mama tapi seperti tidak memilikinya. Sedangkan untuk Papa, ia tidak tahu dimana Papanya sekarang. Namun tadi tiba-tiba Mamanya bilang bahwa mereka berdua akan pergi ke rumah Papanya. Itu mengejutkan. Anak berumur lima belas tahun itu bernama Lara Gemitir Senja. Entah kenapa Namanya memberikan nama itu kepada Lara, ia tidak pernah menanyakan hal itu karena ia terlalu takut mendengarkan jawaban Mamanya. "Rio keluar Lo, gua tau Lo ada di dalam!" teriak Mamanya dengan cukup keras membuat Lara kini hampir menangis ketakutan. Ia tahu ini bukan kali pertama ia mendengar Mamanya berteriak dengan keras karena saat Mamanya sedang ada dirumah, Mamanya hanya selalu memarahi dirinya saja. "Apa sih, siapa sih. Berisik amat." tanya sang empu rumah sembari membuka pintu rumahnya. Bau alkohol masih sangat tercium dengan jelas. "Lo ngapain disini." tanya Rio kepada mantan istrinya yang mana mereka sudah berpisah sejak empat belas tahun yang lalu. Sekarang ia melihat di dekatnya ada seorang anak cewek. Ia pun memperkirakan bahwa ini adalah anaknya dengan Anne yang merupakan mantan istrinya itu. Ia melihat lagi. "Ini gua mau Lo urus dia, udah cukup Lo enak-enakan judi sama mabuk-mabukan. Sekarang giliran Lo buat urus dia." ujar Anne kepada Rio tersebut. Tentu Rio sangat terkejut sekarang, kenapa tiba-tiba dirinya harus menjaga anaknya itu. Bahkan sepertinya dia juga tidak tahu bahwa yang ada didepannya ini merupakan Papanya. Jika dilihat-lihat anaknya sangat mirip dengan Mamanya. Namun semoga sifatnya tidak mirip dengan Mamanya. "Kenapa gua yang harus jagain. Itu kan anak Lo." ujar Rio pada Anne. "Ini juga anak Lo kalo Lo lupa. Gua udah lima belas tahun jaga dia, hidupin dia tanpa minta duit dari Lo. Sekarang giliran Lo yang jaga dia." ujar perempuan berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu kepada sang empu rumah. Rio pun kini melotot, meskipun tadi ia habis minum minuman beralkohol tapi otaknya masih bisa untuk berpikir dan juga memutuskan. "Ga, enak aja Lo. Ga ada gua jaga dia. Dari awal juga Lo yang berusaha buat pertahanin dia. Gua udah bilang matiin aja Lo ga mau." ujar Rio dengan keras dan sangat jelas mampu ditangkap di telinga Lara sekarang ini. Lara menjadi semakin ketakutan berada disana, ternyata bertemu dengan Papanya tidak sebaik yang ia pikirkan. Ternyata bertemu dengan Papanya malah membuat lukanya kembali menganga. Ia tahu bahwa Mamanya tidak pernah menginginkan dirinya lahir, tapi sekarang ia juga tahu bahwa itu juga yang dirasakan oleh Papanya. Papanya tidak pernah menginginkan dirinya lahir. Lalu sebenarnya untuk apa dirinya itu lahir? Kenapa Papa sama Mama membicarakan ini di depan gua. Kenapa mereka ga mikirin perasaan gua. Apa mereka ga ngeliat keberadaan gua? Kenapa Tuhan? Kenapa? Batin Lara bertanya-tanya kepada Tuhan sekarang. "Lo lupa gua juga ga mau. Gua udah ngelakuin berbagai cara tapi dia tetap aja hidup. Gua ga mau tahu, ini giliran Lo buat hidupin dia. Mau Lo hidupin dia atau ga terserah yang penting dia tinggal disini. Kasih dia tempat tinggal, dia juga bakalan sekolah di dekat-dekat sini. Dia udah dapet beasiswa. Untung otaknya ngikut ke gua bukan ke Lo. Lo tinggal kasih kamar aja, dia juga dah bisa cari duit sendiri." ujar Anne kepada Rio. Ia harus meninggalkan Lara disini karena ia merasa semuanya sudah cukup bagi dirinya. Ia harus bahagia juga dengan dirinya tanpa anak. Ia pun kini masih menunggu Rio. "Tapi ya Lo ga bisa gini aja dong. Masa Lo tiba-tiba aja. Gua aja ga tau siapa namanya. Dia juga pasti ga tau kan siapa gua." ujar Rio lagi sekarang. "Dia udah tau siapa Lo. Gua tadi dah bilang ke dia, udah Lo ga perlu ngomong apa-apa lagi sekarang. Pokoknya gua mau pergi. Terserah Lo mau apain nih anak. Lara, kamu sama Papa kamu sekarang. Jangan nyari Mama." ujar Anne kepada Lara. Kini Lara tampak sadar dari keterkejutannya itu. Ia pun sekarang ini tampak melihat Mamanya sudah hampir keluar dari gerbang rumah. Ia dan Papanya tampak bertatapan dalam beberapa detik sampai akhirnya ia kembali sadar dan kini menyusul Mamanya yang ada di gerbang. "Ma, Mama jangan tinggalin Senja, Senja bisa ikut Mama dan Senja ga akan ngerepotin Mama." ujar Lara yang memang suka menyebut dirinya dengan nama belakangnya itu, Senja daripada nama depannya yaitu Lara. "Ga bisa Lara. Kamu tetap disini." ujar Anne dengan begitu tegas ke Lara. "Mah, aku ga mau Mah. Aku ikut sama Mama ya Mah, Senja mau ikut sama Mama." ujar Lara yang tetap keukuh ingin ikut dengan Mamanya saat ini. "Lara! Kamu kalo dibilangin nurut! Mama itu udah capek, harusnya Mama sekarang tuh udah jadi istri orang kaya, tapi gara-gara kamu semuanya gagal. Tolong jangan ganggu Mama lagi, Mama mau bahagia." ujar Anne tersebut. Hal itu membuat Lara terdiam membisu, tubuhnya kini juga tampak membeku. Jadi selama ini Mama beneran ga bahagia? Mama ga bisa bahagia karena aku? Aku penghalang kebahagiaan mamaku sendiri? Batin Lara itu. Lara pun kini melihat ke arah rumah itu, ia tak masalah dengan rumah kecil ini karena dirinya pun pernah tinggal di kos-kosan yang sangat kecil bersama dengan Anne. Namun yang ia permasalahkan saat ini lebih kepada dirinya yang akan tinggal dengan Papanya yang masih terasa asing baginya. Setelah melihat tadi juga ia merasa bahwa tinggal dengan Papanya akan sama saja saat ia tinggal dengan Mamanya. Ia akan sama-sama tidak dipedulikan karena mereka berdua juga sama-sama tidak mengharapkannya. "Ah Anne bikin pusing aja. Ya udah Lo masuk gih. Cepet sini gua liatin kamar Lo." ujar Rio kepada Lara. Lara pun saat ini langsung bergegas karena ia takut Papanya itu akan marah. Ia juga masih terasa sangat asing sekarang. Lara membawa kopernya masuk ke dalam rumah itu dan kini ia masuk. Rio membawa Lara ke sebuah kamar, kamar ini tampak sangat kecil tapi Lara tak masalah akan hal itu. Ia pun membawa barangnya masuk ke dalam. "Ngerepotin aja si Lo. Lagian kenapa Lo masih hidup sih. Udah lah gua pusing mau keluar, ini kunci rumah Lo bawa satu." ujar Rio tampak sangat marah kepada Lara, Lara sudah seperti beban berat yang baru saja mendatangi Rio tanpa sapa terlebih dahulu hingga membuat Rio kesal. Lara yang tidak pernah diharapkan oleh siapa-siapa, kini Lara tampak terdiam dan air matanya mulai turun membasahi pipinya bertepatan dengan pintu rumah itu ditutup dengan begitu keras hingga menimbulkan suara yang keras. Padahal ini sudah pukul sebelas malam, ia pun sekarang menangis. Sepertinya memang tidak ada yang mengharapkan dirinya untuk hidup, jika seperti ini untuk apa lagi ia tetap bertahan? Bertahan dengan luka yang semakin hari tidak semakin sembuh tapi malah semakin basah dan perih. "Mah, kenapa Mama ninggalin Lara? Apa Mama beneran ga sayang sama Lara? Papa juga ga sayang sama Lara. Apa kalo Lara pergi dari dunia ini Mama sama Papa akan bahagia?" tanya Lara dengan dinginnya angin malam. Kini Lara keluar dari rumah itu, ia butuh angin segar meskipun ini sudah malam. Pikirannya benar-benar sedang kalut. Lara pun sekarang sudah berada dijalanan. Entah langkah kakinya ingin membawa dirinya kemana ia pun juga tidak tahu. Sekarang ini Lara sendirian di jalanan kota tersebut. Ia pun berjalan hingga pada akhirnya langkah kakinya membawa dirinya ke sebuah jembatan. Ia menatap jembatan itu sangat lama, ia tak pernah terbayang akan berada disini sekarang ini. Lara menjadi bertanya-tanya pada Tuhan, kenapa langkahnya ini membawa dirinya ke jembatan gelap ini. Apakah memang dirinya harus meninggal? Apakah memang dirinya harus pergi sekarang ini? Di jembatan ini? Apa ia benar-benar harus loncat ke bawah dan kembali ke pangkuan Tuhan? Lara sangat bingung sekarang ini. Matanya tampak masih menangis dan sekarang ia semakin mendekat ke jembatan hitam itu. Ia pikir dirinya sendiri disana, padahal tidak. Namun orang yang ada disana pun juga tidak sadar bahwa ada orang lain di jembatan itu. Mereka sama-sama tidak sadar ada orang lain disana dan keberadaan mereka disaan juga dengan tujuan yang sama, keinginan yang sama yaitu menghapus dan menghilangkan luka mereka dengan pulang ke pangkuan-Nya. Tuhan, apa benar ini akhir dari kisahku? Aku masih ingin bertahan tapi rasanya sangat sulit untuk tetap hidup tanpa ada yang menginginkanku untuk hidup. Bahkan orangtua ku sendiri tapi dak menginginkan aku untuk hidup. Mereka terbebani akan adanya aku Tuhan. Apa kepergianku akan membuat mereka bahagia? Jika ya, mungkin ini memang cara yang terbaik untuk semua. Mungkin kepergiannya tanpa pamit ini juga tidak akan dipedulikan oleh Papa dan Mamanya. Mereka malah akan bahagia dengan kepergiannya. Jika ia pergi sekarang hanya dirinya saja yang merasa sakit, tapi jika ia tetap tinggal akan lebih banyak lagi orang yang tersakiti. Terlebih juga pada Mama dan Papanya itu. Lara pun sudah berada di dekat tiang penyangga jembatan itu. Kini ia menatap ke arah bawah, sangat dalam dengan arus yang deras. Ia sedikit takut sebenarnya tapi, entahlah ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Dua orang dengan luka yang sama kini berada di jembatan itu tanpa mereka sadari. Mereka memikirkan hal yang sama sekarang, keinginan mereka juga sama yaitu meredakan luka mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD