DUA

2160 Words
 “Tunggu pak. Apa bapak serius memindahkan saya ke tim pak Evan?” Tanya Stella was-was. Dia panik dengan info yang baru saja Arkan sampaikan kepadanya. “Ya saya serius.” Jawab pria itu tersenyum yang malah ingin membuat Stella ingin menangis disana saat itu juga. Bagaimana dia tidak ingin menangis kalau pimpinan timnya tiba-tiba saja memindahkan dia ke tim yang paling dihindarinya selama ini. Apalagi setelah kejadian kemarin malam, tim Evan tidak hanya jadi tim yang dihindari Stella, tapi paling tidak diinginkannya. Selama dua tahun ini dia selalu bebas dari Evan, lalu kenapa sekarang dia bisa masuk di tim pria itu. “Apakah saya melakukan sesuatu yang tidak memuaskan bapak atau client kita makanya bapak memindahkan saya?” Tanya Stella, berharap Arkan mau memikirkan ulang keputusannya yang memindahkan Stella ketimnya Evan. “No.” Jawab Arkan lalu menggeleng, “you are not.” Lanjutnya lagi. Stella memandang Arkan dengan kening berkerut kemudian bertanya “Lalu kenapa saya harus pindah proyek dan tim?” Lagi-lagi Arkan tersenyum sebelum kemudian dia kembali duduk dikursikerjanya. Katanya, “Kamu sudah hampir dua tahun bekerja Greenleaf dan semua proyek yang kamu kerjakan masih dalam standar biasa menurut saya.” Benar apa yang dikatakan oleh pimpinan timnya itu kalau selama 2 tahun bekerja sebagai arsitektur di Greenleaf, perusaahan kontraktor ini dia selalu mendapat proyek biasa. Padahal dia sangat ingin menjadi bagian dalam pembangunan proyek besar seperti, apartemen, sekolah, gedung perkantoran dan lain-lain. Sayangnya meskipun sudah berkali-kali ganti tim, dia selalu kebagian proyek perumahan yang menggunakan design sederhana. Bukan menyepelekan proyek yang dikerjakannya selama ini, hanya saja dia ingin mengembangkan kemampuannya lagi dengan mengerjakan proyek-proyek yang lebih besar. Tapi bukan itu hal yang diinginkannya sekarang karena yang dia mau saat ini adalah menghindar sejauh mungkin dari Evan. Soal proyek besar yang jadi mimpinya, dia bisa memikirkan itu belakangan. “Tapi saya…” “Tenang saja Evan itu orangnya professional kok. Dia tidak akan mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan.” See, Stella sangat yakin kalau kepindahan tim-nya ini adalah sebuah kesengajaan. Pasti Evan memintanya dari Arkan, berhubung mereka adalah sahabat dan Evan adalah pimpinan perusahaan, jadi sudah pasti Arkan menyetujuinya. ‘Baik pak Evan dan pak Arkan sedang bersikap tidak professional saat ini, apakah kalian tidak sadar itu? Dasar atasan-atasan egois!!!’ Jerit Stella frustasi dalam hatinya. >>>O  “Bagaimana dengan pendapat kamu Stell?” Lamunan Stella terhenti saat didengarnya suara Evan memanggil namanya. “Eum… engh… aku…” Stella kebingungan melanjutkan kata-katanya karena memang dia tidak mendengarkan apapun dari tadi. Pikirannya sudah melayang-layang sejak pertama kali dia masuk keruang diskusi milik Evan dan timnya. Lihatlah, dia bahkan lupa untuk menggunakan aku bukannya saya. “Bisakah kamu konsentrasi dengan diskusi kita ini? Ini adalah proyek besar yang akan dikerjakan dalam waktu dekat, jadi setiap anggota di tim ini dituntut untuk melakukan yang terbaik.” Kata Evan tidak menyinggung Stella sedikitpun. Stella sadar kalau dia salah makanya dia pantas mendapatkan teguran dari Evan, Tapi hey, Evan-lah yang membuat dia tidak bisa konsentrasi begini, jadi pria itu harus bertanggung jawab untuknya. Dengan pemikiran itu, Stella mengumpulkan keberaniannya. Keberanian untuk meminta sedikit waktu Evan agar dia bisa menanyakan kenapa pria itu harus memintanya dari Arkan. “Maaf pak kalau saya tidak konsentrasi, saya hanya bingung kenapa tiba-tiba saja saya dipindahkan ke tim ini.” Jawab Stella. “Bisakah bapak menjelaskan ini kenapa?” lanjut Stella bertanya. Evan menatapnya dengan tenang, kemudian tersenyum dan mengedarkan pandangannya pada anggota timnya yang lain selain Stella. Katanya, “Selain Stella, semuanya sudah bisa keluar. Saya sudah membagi tugasnyakan, jadi diskusi ini selesai.” Seketika mata Stella membelalak. Dia panik hanya dengan membayangkan hanya ada dia dan Evan saja di ruangan itu. Bayangan malam gilanya segera melintas dikepalanya, membuat dia ingin memukul kepalanya agar dia hilang ingatan saja selamanya. Sepertinya dia sudah salah dengan menanyakan keberadannya disini pada Evan. Kenapa dia tidak diam saja tadi mengikuti alur yang ada, toh dia bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apakan diantara mereka. ‘Ugh, gue dan mulut besar gue.’ Kutuk Stella pada dirinya sendiri. Sibuk dengan pikirannya membuatnya tidak sadar kalau Evan sudah berjalan mendekat padanya. Lalu pria itu menyandarkan dirinya dimeja tepat dihadapan Stella. “Jadi darimana saya perlu menjelaskannya ke kamu? >>>O Seharusnya sebelum menantang Evan seperti ini, Stella sudah mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Bukankah sudah jelas dia tau kalau atasan sekaligus pimpinan timnya adalah womanizer, jadi Evan pasti tau cara membuatnya tidak berkutik. Walaupun selama ini Stella selalu menjaga jarak dengan pria itu, bukan berarti dia kebal dengan pesona pria itu. Lagipula bukankah karena pesona pria itu yang terlalu kuat makanya dia menjaga jarak dari Evan? Stella sangat sadar diri kalau dia tidak sekuat itu untuk menangkal pesona seorang Evan. "Apakah saya perlu menjelaskan dari kejadian malam itu?" Tanya Evan sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Stella, plus dengan senyum diwajahnya. Senyum yang menurut Stella sengaja ditunjukkan Evan untuk mengolok-olok tingkahnya. Dan dia tidak suka itu. Cukup tadi pagi saja dia menjadi pengecut dengan karena melarikan diri dari masalah yang dia buat, tapi tidak dengan sekarang. Stella tidak akan lari lagi dari dari pria menyebalkan dihadapannya ini. Stella berencana untuk meminta Evan melupakan apa yang terjadi diantara mereka malam itu dan kalau memang tidak bisa, Stella akan minta pria itu menganggap kalau itu hanyalah ONS biasa. 'Toh dia sering melakukannya kan dengan banyak wanita?' Melipat tangannya di d**a lalu menaikkan dagunya agar tatapannya bertemu dengan tatapan Evan, Stella siap untuk mengatakan apa maunya pada pria tersebut. Tapi sepertinya dia salah melangkah lagi dengan melakukan itu karena bukannya semakin terlihat berani, dia pasti terlihat seperti orang bodoh. Karena bukannya fokus, tatapan Stella malah teralih ke kiri dan ke kanan agar tatapan mereka tidak bertemu. Dia gugup setengah mati saat matanya berhadapan dengan mata Evan yang bola matanya hitam, jernih dan teduh itu. Tidak hanya itu, jantungnya yang awalnya sudah berdetak dengan kuat sekarang semakin berdetak jumpalitan karena tindakannya barusan. Membuat dia seperti tikus yang sedang tersudut oleh kucing saat ini. Kesal sebenarnya Stella pada dirinya. Baru saja dia memutuskan untuk berani, sekarang dia sudah menciut karena ketakutan. Jadi dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain dari mengerucutkan bibirnya saat Evan terkekeh geli karena sikapnya. "Kenapa? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?" Setelah menertawakannya tadi, pria itu baru memundurkan tubuhnya dan menjauhkan wajahnya dari wajah Stella. Melihat itu, Stella hanya bisa mendengus karena lagi-lagi merasa dipermainkan oleh pria yang menjadi atasannya itu. Kesal memang dianya, tapi dia bisa apa? Stella hanyalah wanita biasa yang tetap akan terpesona dengan wajah tampan seorang pria, dalam hal ini adalah Evan. Apalagi kalau Stella melihatnya dalam jarak yang sangat dekat seperti tadi. Jangan salahkan dia kalau dia kehilangan fokusnya. "Eh... eoh... eh iya... iya, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada bapak." Kata Stella masih dengan pose tadi. Pose yang membuatnya terlihat angkuh, dimana tangannya terlipat di depan dadanya dan dagunya yang naik ke atas. Sayangnya bukan terlihat angkuh, dia malah terlihat lucu buat di mata Evan. Makanya senyum geli tetap terpasang diwajahnya, lalu dia berkata dengan santai, "Baiklah saya akan mendengarkan." Stella menggigit lidahnya, dia gemas dengan Evan yang terlihat kesenangan karena berhasil mempermainkannya. Ingin rasanya dia memukul atau mencakar wajah tampan atasannya itu agar senyum menyebalkan pria itu hilang. Sayangnya dia tidak bisa melakukan itu, dia cinta Greenleaf dan pekerjaannya disini. Kalau dia memang mau bertahan, dia tidak boleh bertindak macam-macam pada pria dihadapannya ini. "Saya mau bapak melupakan apa yang terjadi malam itu." Akhirnya Akhirnya Stella berhasil mengucapkan apa yang ingin dia katakan dan dia sangat bangga dengan itu. Lihatlah bagaimana sekarang senyum bangga terpasang diwajahnya, juga dagu dan bahunya terangkat lebih tinggi dari yang tadi. Dia merasa seperti menjadi pemenang sekarang setelah dia berhasil mengatakan apa yang ada dipikirkannya pada pria itu. "Memangnya... Apa yang terjadi malam itu?" Wajah Stella berubah datar. Kemudian dia memutarkan bola matanya tanda kekesalannya dengan tingkah berpura-puranya Evan. "Bapak benar-benar nggak tau apa pura-pura nggak tau?" Ucapnya bernada kesal, "hati-hati pak, umur 27 tapi udah pikun itu bahaya loh." Tambah Stella malah nyinyir. Evan kembali terkekeh geli. "Apa maksud kamu malam dimana kita bertemu di diskotik. Lalu berciuman dan melanjutkannya..." "STOP! STOP SAMPAI DISITU! IYA... IYA... BAPAK INGAT SEMUANYA DAN SAYA YANG SALAH." Stella berdiri sambil memekik panik. Menurutnya dia perlu menghentikan Evan. Dia tidak mau pria itu mengatakan secara mendetail apa yang telah mereka lakukan. Lebih baik dia ditelan bumi saja daripada harus diingatkan lagi tentang keliaran dirinya malam itu. Terlalu panik dengan serangan Evan yang begitu membuat Stella berpikir untuk mundur untuk saat ini. Sepertinya untuk membicarakan apa maunya pada Evan, dia perlu menyiapkan dirinya dulu kalau tidak mau berakhir seperti sekarang. Menutup matanya sesaat dan menghembuskan napasnya pelan, Stella akhirnya bisa tenang lagi. Lalu katanya kepada Evan, "Karena sekarang saya tidak butuh penjelasan bapak lagi, saya permisi." Ya, untuk sementara Stella mundur dulu. Kalau dia sudah lebih kuat dalam menghadapi pesona pria itu, dia akan datang kembali lagi untuk memintanya melupakan semuanya. Namun saat dia akan melangkah menjauh, langkahnya terhenti karena Evan menahannya. Pria itu menahannya dengan memegang pergelangan tangan Stella. Lalu katanya, "Sampai proyek ini selesai. Maukah kamu mencobanya dengan saya?" >>>O "Stell... Stell... Stella..." Panggil Kinara, entah untuk yang keberapa kalinya sejak mereka memutuskan untuk makan siang di luar berdua. "Eum... eoh... iya. kenapa Ra?" Katanya terlihat linglung karena memang baru tersadar dari lamunannya. Kinara mengkerutkan hidungnya kecil, lalu tersenyum tipis. "Lo tau nggak sih Stell, belakangan ini lo hobby banget melamun." Ucap Kinara, lalu dia melanjutkan perkataannya lagi dengan suara yang sangat pelan. "Apa lo masih kepikiran soal pak Evan?" Stella meringis, lalu menelungkupkan wajahnya dilengannya yang telah diletakkannya di atas meja tempat mereka sedang makan saat ini. Dia galau apakah dia perlu menceritakan hal ini pada Kinara atau tidak karena siapapun pasti berpikir kalau ini sangat lucu. Lucu karena orang yang sangat dihindarinya malah meminta kesempatan untuk mereka lebih dekat. 'Mungkin Kinara tidak akan menganggap ini lucu karena dia sudah mendengar bagian terlucu. Bagian dimana ternyata guelah yang ngegoda pak Evan terlebih dahulu sebelum akhirnya kita berakhir di ranjang.' Ujar Stella dalam hatinya. Dia memberi alasan pada dirinya untuk menceritakan saja masalahnya kepada Kinara. Menceritakan apa yang membuatnya banyak melamun hari ini. Lagipula cerita ini berhubungan, jadi Stella yakin kalau Kinara tidak akan terkejut kalau dia menceritakan apa yang baru terjadi barusan antara dia dan Evan. "Gue galau karena pak Evan meminta kesempatan untuk bisa dekat dengan gue." Dengan posisinya yang menyembunyikan wajahnya di lengan tangannya, Stella mengatakan hal itu. Diam. Stella tidak mendengar ada kata-kata apapun yang keluar dari mulut Kinara. Apakah hal itu begitu biasa saja buat Kinara makanya temannya itu tidak tertarik untuk berkomentar? Atau malah sangat mengejutkannya, makanya dia tidak tau harus berkomentar seperti apa? Mengangkat kepalanya dari atas lengannya, Stella mencoba melihat bagaimana reaksi Kinara. "Kenapa lo galau?" Tanya Kinara begitu kepala Stella terangkat. Bibir Stella mengkerucut. Dia sebal dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menebak kenapa Kinara tidak mengeluarkan suaranya tadi. Jelas sekali temannya itu ingin melihat matanya ketika mereka berbicara karena Kinara akan tau dia bohong atau tidak hanya dengan melihat matanya saja, Kembali ke pertanyaan, 'kenapa dia galau?' Ya kenapa dia bisa galau seperti sekarang. Bukankah sudah jelas jawabannya 'tidak'? Lalu kenapa dia tidak langsung menolak Evan tadi? Tidak mungkinkan kalau dia sudah punya perasaan pada pria itu? "Oh tidak... tidak." Katanya menggeleng horror. Kinara ketakutan dengan pemikirannya sendiri. Dia tidak sadar kalau semua tingkahnya itu sedang diamati oleh Kinara. "Lo mulai suka ya sama pak Evan?" Mata Stella membelalak lebar. Dia terkejut Kinara bisa menebak sama persis dengan apa yang dipikirkannya barusan. Makanya dengan cepat dia menggelengkan kepalanya agar Kinara tidak menebak lebih jauh lagi dari ini. "Nggak... nggak kok." Katanya sambil memasang wajah yang meyakinkan. Kinara mengangguk, walau wajahnya jelas menunjukkan ketidak percayaan. "Jadi kalau lo nggak suka sama pak Evan, apa lo berharap ama dia?" Alis Stella mengkerut, dia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Kinara. Benarkah dia berharap pada Evan makanya dia tidak langsung menolak pria itu tadi? Tapi apa yang diharapkannya dari pria itu? Bukankah dia sendiri yang memutuskan pria itu tidak cocok dengannya? Lalu kenapa dia harus berharap kalau benar apa yang Kinara katakan kalau sebenarnya hatinya mengharapkan sesuatu pada Evan. Kinara tersenyum kecil saat dilihatnya Stella seperti orang kebingungan. Dia mengerti kenapa Stella begitu karena menurut pengakuan temannya itu dia belum pernah berpacaran. Bayangkan 23 tahun dia hidup didunia ini, tapi Stella belum pernah berpacaran. Padahal dia sudah masuk usia dimana orang tua biasanya menuntut anaknya untuk menikah. "Lo tau nggak, sebenarnya lo itu nggak sepenuhnya yakin dengan pikiran lo tentang pak Evan. Makanya lo pengen ngebuktiin apakah yang lo pikirkan selama ini benar atau tidak." Ucap Kinara. "Dan jauh dalam sini, lo berharap kalau pikiran lo itu salah." Lanjut Kinara sambil menunjuk bagian d**a Stella. Sedangkan Stella, dia hanya bisa terdiam memikirkan apa yang baru saja dikatakan Kinara kepadanya. Benarkah dia seperti yang dikatakan oleh Kinara? Apakah Kinara benar, kalau sebenarnya dalam lubuk hatinya dia berharap pikirannya tenang Evan salah, bukankah itu artinya dia menginginkan Evan? 'Oh darn, it's no way I'm fallen to that womanizer right?' >>>0
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD