TIGA

2299 Words
Bekerja selama 2 tahun di Greenleaf, mungkin baru kali ini Stella merasa gelisah ketika berangkat ketempat kerjanya itu. Masih ingatkan saat dia melakukan hal gila bersama Evan? Tapi tetap saja hari itu dia masih bisa berangkat kekantornya dengan tenang. Padahal itu adalah bencana terbesar yang pernah dilakukan Stella selama 23 tahun masa hidupnya. "Lo yakin nggak mau berangkat bareng gue?" Tanya Kinara dari seberang sana. Tepatnya di seberang sambungan telepon Stella. "Iya, gue yakin. Gue berangkat sendiri pagi ini," jawab Stella sambil tersenyum meski Kinara tidak bisa melihatnya. "Ya udah kalau lo maunya gitu. Gue tunggu lo di kantor." "Oke, bye bye. See you later." Ucap Stella sebelum memutuskan sambungan teleponnya. Memang biasanya Stella dan Kinara berangkat kerja bersama karena Stella tidak tau cara mengendarai motor ataupun mobil. Selain itu dia dan Kinara melakukannya agar mereka bisa menghemat ongkos. Dan pagi ini Stella mengatakan kepada Kinara karena dia sedang membutuhkan waktu sendiri untuk berpikir. Dia ingin memikirkan jawaban seperti apa yang harus diberikannya pada Evan hari ini. Jadi lebih baik dia berangkat sendiri saja karena Stella berencana untuk datang sedikit terlambat. Ya, kemarin Stella tidak menceritakan hal ini kepada Kinara, kalau sebenarnya Evan menunggu jawabannya hari ini. Apakah dia akan merima pemintaan pria itu atau menolaknya dengan datang ke kantor hari ini. Jadi ceritanya, setelah Evan menyatakan keinginannya untuk dengan Stella, pria itu memberi Stella waktu semalam untuk berpikir. Kalau Stella setuju itu artinya dia datang ke kantor hari ini sesuai jam masuk kerja dan langsung menemui Evan. Tapi kalau dia menolaknya maka Stella bisa datang setelah jam makan siang. Soal ketidakhadirannya di kantor kalau dia menolak? Katanya Evan akan menutupinya untuk Stella. Walau Stella sudah bisa menyimpulkan perasaannya dengan bantuan Kinara kemarin, bukan berarti dia sudah menemukan pilihannya. Sepanjang malam dia memikirkan semuanya, memikirkan bagaimana 6 bulan dia akan membiarkan Evan mendekatinya. Sampai akhirnya nanti proyek yang mereka kerjakan selesai, lalu nanti dia memberikan jawabannya apakah dia mau menjadi kekasih pria itu atau tidak. Beratkan? Wajarkan kalau Stella lebih galau dari kemarin? Masa depan percintaan Stella itu akan dipertaruhkan disini. "Loh, non Stella masih belum berangkat?" Kemunculan Delila, orang yang bekerja membersihkan rumahnya mengejutkan Stella yang masih saja duduk di sofa ruang tamu apartemennya. "Eh mbok Lila, udah datang?" Katanya memaksakan senyumnya karena dia sejujurnya terkejut. Kinara tidak menyangka dia sudah melewatkan banyak waktunya di ruang tamu apartemennya. Karena kalau Delila sudah berada disini sekarang itu artinya ini sudah jam 9 atau jam 10, jam dimana pesuruh apartemennya itu biasanya datang. Delila mengangguk sambil mengambil gelas kotor bekas s**u Stella dan berkata, "Iya non, saya sudah datang." Sambil berjalan ke dapur dia bertanya pada majikannya itu, "non sendiri kenapa belum berangkat. Ini sudah jam 10 loh," tambahnya yang membuat mata Stella membelalak. "Stella lagi mikirin sesuatu mbok makanya masih disini, nanti bakal berangkat kok. Kan Stella udah rapi begini," ucapnya kembali tersenyum ramah yang jelas dibalas senyuman juga oleh Delila. Meski mereka sekarang jarang bertemu, Stella cukup akrab dengan Delila karena wanita paruh baya itu sudah bekerja untuknya sejak dia memilih kuliah di Jakarta. Makanya Stella tidak segan-segan bercerita pada pesuruhnya itu, ya meskipun dia tidak menceritakan seluruhnya. "Oh iya non, hari Sabtu ini saya absen ya non karena saya mau ngantar cucu saya audisi." "Audisi?" "Iya non, audisi di ajang pencarian bakat di TV itu loh non. Maklum dia masih remaja jadi mau coba semua yang bisa ngebuat cita-citanya terwujud." Kepala Stella mengangguk mengerti. "Sepertinya cucu mbok orangnya sangat bersemangat ya." Katanya mengagumi semangat cucu Delila yang mau jauh-jauh untuk mengikuti audisi yang biasanya kemungkinan lolosnya kecil. "Ya, dia memang begitu. Katanya kesempatan tidak akan datang terus menerus. Gagal sekali dua kali tidak masalah karena hidup itu tentang mencoba." Stella terdiam. Dia terkejut dan kagum dengan pemikiran dewasa cucu dari Delila itu karena setaunya umur cucu Delila masih 17 tahunan. 'Sangat berbeda dengan elo kan? Dia masih 17 tahun, tapi dia tau apa yang ingin dia lakukan dan tidak takut dengan kegagalan.' Pemikiran itu seolah menampar kuat Stella karena dia sadar kalau dia ternyata tidak sedawasa itu meski umurnya sudah 23 tahun. Karena orang yang dewasa sebenarnya adalah orang yang sudah bisa menentukan pilihan hidupnya. Dewasa tidak perkara umur saja, tapi perkara kematangan kepribadian dan pemikiran juga. Hingga beberapa saat, Stella diam memikirkan semuanya. Kali ini dia harus membuat keputusan besar yang tentunya beresiko besar juga dalam hidupnya. Menutup matanya sejenak, lalu menghembuskan napasnya kuat, Stella kemudian tersenyum pada Delila. "Makasih ya mbok, Stella pergi dulu. Stella mau menjawab permintaan seseorang." Katanya lalu berlari kekamarnya untuk mengambil tasnya. Beruntung dia tinggal mengenakan sepatu saja, jadi dia bisa berangkat dengan cepat kekantornya untuk bertemu Evan. Ya dia akan bertemu Evan sekarang, dia akan menjawab permintaan pria itu dengan keberadaannya di kantor mereka. Dengan menjawab Evan dia akan menemukan banyak jawaban, jawaban tentang perasaannya, pikiran dan masa depannya dengan pria itu. >>>O "Kamu duduk disana," tunjuk Evan pada kursi kerjanya sebagai direktur. Alis Stella mengkerut kecil karena tidak menyangka respon Evan akan seperti itu. Bukan, ini bukan masalah kursi yang ditawari untuknya adalah kursi direktur, tapi karena reaksi pria itu. Maksudnya kan dia sudah disini sekarang untuk memberi jawaban yang mungkin sesuai harapan Evan. Lalu kenapa pria itu malah terlihat biasa saja? Bukankah seharusnya Evan terlihat senang untuk jawabannya itu. "Eum duduk?" Tanya Stella memastikan kalau dia tidak salah dengar. Evan mengangguk, "Iya duduk." Katanya sambil menunjukkan kursi direkturnya pada Stella untuk yang kedua kalinya. Sesungguhnya Stella masih kebingungan dengan reaksi Evan, tapi dia tetap masuk dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Evan. Stella pikir setelah duduk ditempat yang ditunjuk, pria itu akan bertanya padanya mengenai jawabannya. Ternyata tidak, Evan malah langsung kembali ke meja kerjanya yang lain. "Eum pak Evan..." Panggil Stella ragu antara tetap diam saja atau melanjutkannya. "Ya, kenapa?" Tanya Evan menjawab sambil melihat Stella sebentar sebelum kembali dengan blue print bangunan yang sedang dikerjakannya. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Stella terlihat kebingungan. Bingung antara melanjutkan perkatannya atau menghentikannya karena Evan terlihat sangat sibuk. Tapi kalau dia tidak menyelesaikannya sekarang, bukankah waktunya akan habis? Selain itu waktunya akan terbuang sia-sia, dia tidak akan bisa melanjutkan pekerjaannya. Karena Stella yakin Evan akan menahannya disini sampai pria itu selesai dengan pekerjaannya. "Ada apa katakanlah, saya akan mendengarkannya." Sepertinya Stella terlalu sibuk dengan pikirannya tadi, makanya dia tidak sadar kalau atasan sekaligus pimpinan timnya itu sudah duduk di kursi yang ada dihadapannya. Kursi yang pastinya digunakan untuk tamu yang mempunyai urusan pekerjaan dengan Evan. "Um... apakah bapak tidak ingin tau apa jawabanku untuk permintaan bapak kemarin?" Tanya Stella akhirnya berhasil mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. "Tidak." Jawab Evan. Kening dan alis Stella mengkerut tidak mengerti. 'Tidak katanya? Lalu untuk apa dia bertanya ngebuat gue bingung dan galau dari kemarin?' Tanya Stella dalam hatinya. 'Apa dia mempermainkan gue?' Napas Stella memburu, dia siap untuk meluapkan kemarahannya. Namun dia berhenti saat dilihatnya Evan tersenyum dan sudah kembali berdiri. "Tidak karena saya sudah tau jawabannya." Evan lalu kembali kemejakerjanya yang satu lagi karena dia pikir hanya itu yang ingin Stella sampaikan kepadanya. Tetapi sebelum dia kembali fokus kepekerjaannya, Evan kembali menatap Stella dan tersenyum sambil berkata, "terima kasih untuk jawabannya." Oh shot. Stella salah tingkah. Entah kenapa dia merasa ada yang salah pada dadanya hanya dengan ucapan terima kasih Evan baru saja. "Bapak... bapak tidak perlu berterima kasih begitu." Kata Stella gugup sambil tertawa dipaksakan, "Lagian saya nggak mungkinkan menolak bapak." Tambahnya lagi. Evan kembali menghentikan pekerjaannya, lalu dia menyandarkan tubuhnya kemeja kerjanya dengan meletakkan panggulnya disana. "Ya nggak mungkin sih kamu menolak saya. Sayakan pria dengan sejuta pesona." Jawab pria itu santai. Wajah Stella berubah datar, dia tidak menyangka pria dihadapannya ini bisa narsis juga. Ya walaupun kenyataannya Evan memang sangat mempesona. Kalau tidak mempesona, tidak mungkin pria itu bisa menjadi womanizer. "Oh, tidakkah bapak terlalu narsis." Cibir Stella. Evan terkekeh lalu berkata, "Lupakan soal itu, aku mau meminta sesuatu ke kamu. Bisa?" Stella mengangguk. "Mulai hari ini, bisakah kita lebih santai lagi dengan menggunakan 'aku kamu' dan kalau kita hanya berdua atau berada di luar kantor, kamu memanggil aku Evan saja. Bagaimana?" Jelas Stella langsung menolak sebagian permintaan Evan. "Oh tidak. Aku tidak mungkin memanggil nama bapak langsung bukankah itu tidak sopan? Selain bapak atasan dan pimpinan saya, bapak itu lebih tua dari aku loh." "Tapi aku tidak suka dipanggil seperti itu oleh orang didekatku. Apalagi orang itu adalah calon pendampingku dimasa depan." Lagi-lagi perkataan Evan membuat Stella salah tingkah, kali ini lebih parah dari sebelumnya. Terlihat dari pipinya yang memerah. "Pendamping masa depan katanya." Stella menggerutu sangat pelan walau sebenarnya jantungnya berdegup. Degup yang memunculkan rona malu-malu dan senyum di wajah Stella. Beruntung dia sudah menundukkan kepalanya tadi, jadi Evan mungkin tidak melihatnya bersikap memalukan begini. >>>O "Apa kakak serius menyuruh aku hanya melakukan ini saja?" Tanya Stella pada Evan yang masih saja sibuk dengan blue print yang dikerjakannya sejak tadi pagi. Sejak Stella diminta Evan untuk mengganti pangilannya ke pria itu, memang Stella memilih memanggil pria itu pakai kakak. Mau bagaimanapun katanya, Stella merasa sangat tidak pantas dan sopan jika dia menyebut atau memanggil nama Evan tanpa embel-embel apapun. Dan Evan tidak keberatan dengan itu walau awalnya dia sempat protes karena dia juga punya adik perempuan. "Hmmm..." Evan berdehem menjawabnya, "aku serius. Karena aku tau kamu belum berpengalaman dan tidak tau detail dari proyek seperti ini." Tambah Evan tanpa memindahkan sedikitpun tatapannya dari pekerjaannya. Stella memutar matanya kesal, tidak percaya dengan apa yang dikatakan pria itu. "Terus dengan aku menatap kakak, apakah aku mendapatkan sesuatu?" Balasnya sambil melipatkan tangannya di d**a karena tidak mengerti dengan Evan dan cara berpikirnya. Coba bayangkan sejak dia disini dan pria itu mulai sibuk dengan pekerjaannya, Stella malah disuruh mengerjakan hal yang tidak ada hubungannya dengan arsitektur. Contohnya membuatkan pria itu kopi, lalu memesankan mereka makanan, mengambilkan air minum dan mengupaskan Evan apel. Okelah Stella masih mau menerima dan mengerjakan itu semua karena pikirnya itu bisa memudahkan Evan mengerjakan proyek mereka. Tapi ketika Evan menyuruhnya untuk menatap pria itu bekerja? Bukankah itu kurang kerjaan namanya? "Tentu saja kamu mendapat sesuatu." Masih seperti tadi, Evan menjawab Stella dengan keadaan sibuk menggambar di blue print pekerjaannya. "Huh dapat apa? Kalau kak Evan bilang teknik menggambar, mmm kata dosen aku setiap arsitek punya caranya masing-masing jadi aku tidak perlu belajar dari kakak tentang itu." Ucap Stella terputus, "Hasil gambar kakak? I can't see that from here." Stella mengatakan pendapatnya tentang apa saja yang mungkin Evan pikirkan Stella dapat dengan dia memandang pria itu. "Bukan. Tentu bukan itu yang kamu dapat dengan memandang aku, tapi hal lain." Jawab Evan lagi-lagi tanpa melihat Kinara. Stella terdiam, kali ini dia mulai menanggapi dengan serius tugas yang diberikan Evan kepadanya. Otaknya tiba-tiba saja berpikir kalau Evan memang mempunyai maksud serius ketika menyuruh Stella menatapnya ketika mengerjakan gambarnya. 'Apakah maksudnya fokus ketika bekerja?' Kali ini Stella menebak dalam hatinya. Kemudian Stella menatap Evan sesuai dengan perkataan pria itu. Dia menatapnya dengan serius sambil berpikir apa kira-kira yang dimaksud pria itu akan didapatnya dengan melakukan itu. 'Oh, ternyata benar kata orang-orang disini kalau wajah serius kak Evan akan semakin tampan ketika dia sedang bekerja.' Stella gagal fokus. Sekarang dia malah mengagumi ketampanan Evan yang dianggapnya lebih lagi saat ini. Tanpa disadarinya dia sudah tersenyum kecil dengan mata yang terlihat kagum. Stella menyukai Evan yang serius seperti ini. "Bagaimana? Apakah kamu sudah mendapatkan pesonaku yang lain? Bukankah aku sangat tampan ketika serius?" Mendengar kata-kata narsis Evan, seketika Stella sadar dari keterpesonaannya. Wajahnya berubah datar, sedatar-datarnya. Biarpun dia tau Evan mengatakan hal itu untuk menggodanya, tetap saja Stella merasa aneh kalau pria itu melakukannya. Siapapun yang mengenal Evan akan tau kalau pria itu bukan tipe narsis mempersoalkan urusan tampang. "Hehehe..." Akhirnya Evan melepaskan fokusnya dari gambarannya. Kali ini dia menatap Stella yang sudah memasang wajah datar lalu ingin muntah karena kenarsisan pria itu. Sepertinya Evan memang senang menggodanya. Godaan yang membuat Stella kadang merasa gemas, kadang merasa kesal, kadang juga merasa berdebar. Mungkin dia selalu menunjukkan wajah cemberut atau datar setiap kali Evan berhasil menggodanya, tapi bukan berarti dia membenci itu. "Ya... kakak memang sangat tampan. Udah? Kak Evan senang?" Jelas itu sebuah cibiran, bukan pujian. Tapi entah kenapa Evan malah semakin terkekeh karenanya. "Terima kasih atas pujiannya." Balas Evan sambil tersenyum, setelah dia menyelesaikan kekehannya. "Tapi bukan itu point yang ingin aku dapatkan ketika kamu fokus menatapku." Lanjut Evan kini sudah duduk di kursi kerjanya yang satu lagi. Kursi yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat maupun jauh dari Stella. "Yang aku mau kamu dapatkan ketika menatap aku adalah cara aku fokus ketika aku menggambar." Jelas Evan singkat. "Aku sudah melihat semua hasil kerja kamu sejak masuk di Greenleaf dan dari semua gambaranmu aku bisa melihat ketidak konsistenan disana. Makanya karya kamu tidak pernah terpilih." Mungkin kalau Stella berhati sempit, dia akan tersinggung karena perkataan Evan itu. Tapi dia bukan orang yang seperti itu, dia tidak tersinggung karena dia memang sadar kalau dia masih banyak kekurangan sebagai seorang arsitek. Makanya dia terbuka menerima kritik dan saran apapun yang bisa membuat dirinya menjadi arsitek yang lebih baik. "Terima kasih kak buat sarannya." Kata Stella tulus. Dia benar-benar berterima kasih untuk masukan Evan itu. Evan mengangguk, lalu berdiri dari duduknya setelah dia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. "Bagaimana kalau terimakasihmu itu kamu balas dengan melakukan sesuatu untukku. Ayo kita keapartemenku sekarang." Tubuh dan wajah Stella berubah kaku dan tegang, pikiran aneh langsung memasuki kepalanya. Dan mungkin Evan menyadari itu makanya dia menyentil kening Stella sedikit kuat. "Tenang saja aku hanya memintamu untuk memasakkan sesuatu untukku. Lagi pula ini masih jam empat sore, aku bukan maniak seks yang memiliki libido tinggi hingga tidak bisa menahan nafsunya," kata Evan membuat Stella tersenyum malu. "Tapi kalau kamu mau, kita bisa melakukannya setelah makan malam nanti." Ugh terkutuklah Evan dan mulutnya. Pria itu benar-benar tau cara membuat Stella salah tingkah dan malu. "Oh kak Evan, boleh aku tahu sejak kapan sebenarnya kakak mulai memperhatikanku?" >>>0
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD