Chapter 1

2274 Words
Seorang gadis kecil sedang menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya yang ditekuk—menyembunyikan butiran bening yang keluar dari pelupuk netra coklatnya yang bulat. "Tata Sayang, makan dulu, ya. Ini, Ibu sudah membuatkan makanan kesukaan Tata," ujar seorang wanita cantik yang baru saja datang ke kamar gadis kecil itu—berjongkok dengan sebelah tangan membawa nampan dan sebelah tangannya lagi membelai lembut kepala gadis kecil itu. Tanpa mau mendongakkan kepalanya sedikit saja, gadis kecil itu menepis kasar tangan wanita yang sedang membelai rambutnya. "Pergi!!!" teriak gadis kecil itu di sela-sela isakannya. "Sayang, kau bisa jatuh sakit, jika tidak makan." Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu terus berusaha membujuk gadis kecilnya. Jujur saja ia khawatir akan gadis kecil itu. Waktu sudah menunjukkan waktu petang. Namun, sejak pagi tak ada sesuap nasi pun yang masuk ke dalam mulut gadis kecil itu. Sepanjang hari gadis kecil itu hanya terus mengurung diri di dalam kamar sambil terus menangis, membuat batin wanita itu terasa teriris-iris. Wanita itu sungguh tak kuasa menahan remasan kuat di hatinya. Rasanya terlampau sakit. Setetes air mata jatuh di pipinya langsung disekanya. Dalam hati ia berniat takkan menyerah. Ia akan berusaha membuat gadis kecilnya mendapatkan senyumnya kembali. "Biar, Tania mau mati saja. Tania benci Ibu! Tania benci Ibu!!!" pekiknya sambil mendorong tubuh wanita itu hingga terjengkang. Di saat wanita itu membereskan makanan yang berserakan di lantai akibat nampan yang terjatuh di saat ia terjengkang, gadis kecil itu malah berlari ke luar sambil terus meneteskan air mata. "Ta, Tata! Tania!" panggil wanita itu. Dengan perutnya yang mulai menonjol, susah payah wanita itu bangkit untuk mengejar gadis kecil itu. Perlahan wanita itu menapaki anak tangga dengan hati-hati. Ia sadar diri, dengan kondisinya yang seperti itu ia tidak boleh lari-lari. Bisa-bisa ia terpeleset hingga membahayakan janin yang berada di dalam kandungannya. Ia sungguh tak ingin kehilangan calon buah hatinya. Ia memanggil-manggil gadis kecilnya. Entah ke mana gadis kecil itu pergi. Namun, ia melihat pintu masuk utama yang terbuka. Langkah wanita itu terhenti kala mendapati gadis kecilnya sedang terduduk dengan posisi yang lagi-lagi menenggelamkan kepala di antara kedua kaki yang ditekuk. Wanita itu mulai mendekati gadis kecil yang dipanggilnya Tania itu. Tangan lembutnya terulur untuk menyentuh bahu gadis kecil itu yang sedang bergetar. "Ta, Ibu tahu Tata marah pada Ibu. Ibu minta maaf, ya. Tata mau 'kan memaafkan Ibu?" Suara wanita itu terdengar berat seolah menahan getar untuk mengeluarkan tangis. "Jangan panggil aku 'Tata'. Ibu jahat! Tania tidak suka Ibu. Tania benci Ibu!" Gadis kecil itu terus berteriak. Manik mata dan hidungnya sudah memerah, menandakan bahwa isak tangisnya telah berangsur lama. "Ta," panggil wanita itu dengan lembut. Jujur saja perkataan gadis kecil itu sungguh menohok hatinya. Tania bangkit dari duduknya. Di saat ia ingin pergi, sebelah tangannya dicekal oleh wanita itu. "Lepas," ujar Tania sambil melepas cengkraman tangan wanita itu yang cukup kuat. "Tania, Ibu mohon dengarkan Ibu, Sayang," pinta wanita itu dengan lirih. Butiran bening sudah menggenang di kedua pelupuk matanya terlihat bersiap ingin tumpah. "Lepas!" pekik Tania sambil mendorong tubuh wanita itu hingga kembali terjengkang, bahkan kali ini punggung wanita itu harus tersentak pada ujung pijakan terasnya. "Argh ...," rintih wanita itu menahan rasa sakit yang menyerang punggung dan perutnya, sedangkan Tania, gadis itu memanfaatkan situasi untuk berlari menghindari wanita itu. Tanpa memedulikan rasa sakitnya, wanita itu bangkit dan melangkah cepat untuk mengejar Tania. Ia harus menjelaskan kesalahpahaman yang telah terjadi. Pandangan wanita itu jatuh pada gadis kecil yang sedang berlari menuju gerbang. Pikiran wanita itu mulai berpencar memikirkan segala kemungkinkan yang terjadi. Demi Tuhan, Tania baru berusia lima tahun. Gadis kecil itu belum bisa berhati-hati dalam berjalan apalagi di jalan raya. Wanita itu mempercepat langkahnya. Ia bahkan nyaris lupa akan rasa sakitnya. Dipikirannya hanya satu, membawa gadis kecilnya kembali ke rumah. Hingga kala ia sampai di gerbang pintu, matanya terbelalak melihat sebuah mobil yang melaju kencang ke arah Tania yang sedang berjalan di tengah jalan. "Tania, awas!" pekik wanita itu bersamaan dengan teriakan gadis kecilnya. Wanita itu pun berlari secepat kilat untuk menyelamatkan Tania. Tania membeku, air mata yang sedari tadi menetes di pipinya seketika terhenti. Ia terlampau syok kala mengingat tinggal beberapa centimeter lagi mobil itu menyentuh tubuhnya. Sebuah erangan terdengar, menyadarkan dirinya dari keterkejutannya. Kepalanya mendongak ke atas menatap siapa yang kini sedang mendekapnya. Melihat siapa yang tadi sudah menarik tangannya dengan cepat—menyelamatkannya dari tabrakan mobil itu. Tangan yang sedang mendekap erat itu perlahan melonggar dan sebuah ringisan dan erangan keras tiada henti keluar dari mulut wanita itu. "Ibu," ucap Tania dengan lirih. "Tolong cari bantuan, Sa—yang. Arghh ... pe—rut Ibu ... arghh ... rasanya sakit sekali," ujar wanita itu dengan susah payah, karena rasa sakit yang menjalar di bagian perutnya. Tanpa berpikir panjang pandangan Tania fokus pada darah yang mulai mengalir di sela-sela kaki ibunya. Tania berkali-kali menggeleng dan butiran bening kembali meluncur. "Hiks ... tidak, tidak ... hiks ... Ibu." Wanita itu menjatuhkan bokongnya di atas trotoar. Dirinya sudah tidak sanggup berdiri. Rasa panas dan nyeri terus menyerangnya. "Ibu tidak apa-apa. Cepat tolong cari bantuan." Wanita itu mencoba menenangkan gadis kecilnya, walau dalam hati ia sungguh khawatir yang bisa ia lakukan hanya merapalkan untaian doa agar dirinya dan janinnya baik-baik saja. Tania pun mengangguk paham. Secepat kilat ia berlari ke dalam rumah untuk mengabari asisten rumah tangganya. Tak lama kemudian supir dan seorang asisten rumah tangga segera melarikan majikannya yang sedang terduduk tak berdaya di pinggir jalan ke rumah sakit terdekat. "Ibu ... hiks ... jangan tinggalin Tania ... Tania minta maaf. Tania janji tidak akan nakal lagi. Hiks ... Ibu ... hiks ... Tania sayang Ibu," isak Tania sambil terus memegang tangan wanita itu kala petugas rumah sakit mendorong brankar yang ditempati wanita itu. "Ibu juga sayang Tania. Tania doakan Ibu dan adik bayi agar baik-baik saja, ya." Disela-sela rasa sakitnya, wanita itu masih sempat-sempatnya menyunggingkan bibirnya untuk menenangkan gadis kecilnya. Gadis kecil itu mengangguk. Dengan berat hati genggamannya harus terlepas kala petugas rumah sakit membawa ibunya ke dalam suatu ruangan. "Mbok ... hiks ... Ibu dan adik bayi akan baik-baik saja, 'kan? Mereka tidak akan tidur panjang di dalam tanah, 'kan?" tanya Tania sambil terus terisak. Mbok Nah, wanita paruh baya itu mendekap anak majikannya dengan erat. Sudah terlampau banyak kesakitan yang anak majikannya ini rasakan dan ia berharap Nyonya besar dan calon anaknya akan baik-baik saja. "Non Tata berdoa saja, ya," ujar Mbok Nah yang juga ikut menangis. Sebuah seruan adzan maghrib menggema rumah sakit itu. Wanita paruh baya itu menyeka air mata putri majikannya dengan penuh kasih sayang. "Tuh, sudah adzan. Kita sholat dan doakan Ibu sama-sama, ya," ajaknya. Di atas sajadah panjang itu, Tania terus merapalkan doa-doanya. Hati Mbok Nah yang duduk di sampingnya terenyuh melihat kesungguhan putri majikannya. Tania gadis kecil yang baik dan juga cerdas walau terkadang tingkahnya sangat aktif hingga acap kali memusingkan seisi rumah. *** "Bagaimana keadaan istri dan anak saya, dokter?" tanya seorang pria dengan raut penuh kekhawatiran. "Kami sudah berusaha sebisa mungkin. Alhamdulillah kondisi istri Anda sudah stabil. Namun, dengan berat hati kami tidak bisa menyelamatkan janinnya." Dokter itu nampak sesal. Pria itu menggelengkan kepalanya. Ia sungguh tak kuasa mendengar berita yang sungguh menyayat hatinya. "Tidak! Tidak mungkin! Anda pasti salah. Anak saya baik-baik saja, 'kan, dok?" tanyanya. Namun sebuah gelengan dokter yang ia dapat sebagai balasan membuatnya luruh di lantai. Ia mengusap wajahnya kasar. Sebagai seorang pria, ia bahkan tidak malu untuk mengeluarkan air matanya. "Ayah!" panggil Tania sambil berlari menghampiri pria yang luruh di lantai. "Ayah, Ibu dan adik bayi baik-baik saja, 'kan? Kali ini Allah pasti mengabulkan doa Tania, 'kan?" Melihat sang ayah hanya diam membisu, gadis kecil itu menoleh ke arah dokter yang sedang berdiri di depannya. Dokter itu paham akan tatapan gadis kecil yang sedang menatapnya penuh harap. "Ibumu baik-baik saja." Sebuah senyuman terbit di bibir kecil Tania. Gadis kecil itu memekik girang mengetahui doanya telah terkabul. Namun, sebuah tarikan kasar di tangannya yang berasal dari sang ayah menghentikannya. "Diam, Tania! Anakku telah mati. Kau puas?!" teriak ayah Tania. Senyuman yang terukir indah di bibir Tania seketika berubah melengkung ke bawah. Matanya kembali menatap sang dokter meminta penjelasan. "Maaf, Sayang, adikmu telah tenang di sisi-Nya," sesal dokter itu. Berita kematian adiknya membuat hati Tania seolah tercambuk. Ia tak mengerti mengapa Tuhan tidak pernah mau mengabulkan doanya. Apa karena dia begitu nakal atau karena dia belum bisa membaca Al-qur'an dan sholat dengan benar. Ia sungguh kecewa pada Tuhannya, terutama pada dirinya sendiri. Sejak kejadian itu hubungan Tania kembali membaik dengan ibunya. Gadis kecil itu berjanji untuk menjadi anak yang lebih baik dan tidak pecicilan lagi, walau tak bisa dipungkiri gejala ADHD yang dideritanya seringkali muncul. ADHD, yaitu hambatan dalam perkembangan anak yang mengakibatkan dirinya mengalami hambatan dalam memusatkan perhatian dan mengalami gejala hiperaktivitas. ADHD bukanlah sebuah penyakit, sehingga tidak tepat dalam penanganannya dikatakan sembuh, lebih tepatnya yaitu gangguan yang bisa dikendalikan. Umumnya penderita terlihat sangat hiperaktif, sulit diatur, melakukan tindakan tanpa berpikir dan mengalami kesulitan untuk fokus, bahkan cenderung ceroboh. Meski begitu, anak yang menderita gejala ini tidak memiliki masalah dengan kecerdasannya. Contohnya Tania yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. *** Beberapa hari berlalu, wanita itu kini telah kembali sehat, walau fisiknya masih cukup lemah. "Apa yang kaulakukan? Hentikan!" ujar wanita itu kala melihat suaminya sedang memasukkan pakaian-pakaian putrinya ke dalam sebuah koper. "Anak itu benar-benar pembawa sial," gerutu pria itu tanpa memedulikan istrinya. Wanita itu menggeram. "Apa yang kau katakan?! Dia putrimu, darah dagingmu sendiri! Teganya kau mengusirnya dari rumahnya sendiri dan mengatakan ia anak pembawa sial." "Tapi dia memang anak pembawa sial. Lihatlah kekacauan yang sudah ia lakukan. Jangan kira aku tidak tahu kalau dialah penyebab dirimu keguguran," balas pria itu. "Seharusnya dia tidak pernah lahir. Andai saja saat itu dia tidak lahir, mungkin rencanaku yang sudah aku persiapkan tidak akan tertunda dan kekacauan semua ini tidak akan terjadi." "Ibu, Ayah, kenapa kalian bertengkar? Siapa yang Ayah maksud dengan dia? Kenapa Ayah membereskan semua pakaian Tania? Memangnya dia mau ke mana? Apa pakaian-pakaianku juga dibereskan?" tanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang merupakan kakak Tania. Sementara itu Tania berlindung di belakang tubuh sang kakak. Ia sungguh ketakutan mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. Menyadari tubuh Tania yang bergetar takut. Wanita itu menghampiri kedua malaikat kecilnya, lalu memeluknya. "Kau dan Tania tidak akan ke mana-mana. Nanti Ibu bereskan lagi pakaian Tania dengan rapi, ya, Sayang." "Tania tidak ingin jauh dari Ibu dan Ayah," ujar Tania sambil memeluk tubuh ibunya. Sebuah tangan kasar membubarkan kegiatan berpelukan antara ibu dan anak itu. Setelah selesai memasukkan pakaian putrinya ke dalam koper, pria itu langsung menyeret paksa putrinya. "Hiks ... Ayah ... sakit," rintih Tania yang tangannya terus ditarik ayahnya. Namun ayahnya itu seolah tuli. Pria itu terus menarik tangan putrinya dan berjalan dengan tergesa-gesa. "Hentikan! Kau mau bawa pergi ke mana putriku, Ayden?" tanya wanita itu geram. Kedua tangannya direntangkan menghalangi langkah suaminya. Manik coklat gelapnya berkaca-kaca penuh kekecewaan. "Menyingkir dari hadapanku, Elena," titah pria itu dengan mata nyalangnya. Wanita itu menggelengkan kepalanya. Tangannya menarik paksa sebelah tangan Tania agar terlepas dari cengkraman suaminya. Namun tenaga suaminya yang lebih kuat darinya langsung menyentaknya. "Ayah ... Ayah mau bawa Tania ke mana? Kenapa Ayah hanya membawa koper Tania? Hiks ...," tanya Tania sambil menatap takut ayahnya. "Mulai sekarang kau akan tinggal bersama Kakek dan Nenek," jawab pria itu. "Kalau begitu aku juga akan ikut. Aku akan berkemas," celetuk anak lelaki yang berdiri di samping Elena. "Tidak, Abyan. Kau tetap di sini," tegas pria itu. "Tapi Aby akan tetap bersama Tania dan menjaganya, Ayah," sanggah anak lelaki itu. "Ke mana pun Tania pergi, aku akan ikut," tambahnya. "Sekali tidak, tetap tidak, Abyan! Kau mulai membangkang perkataan Ayah?!" teriak pria itu menatap tajam putra sulungnya. "Tania tidak mau tinggal bersama Kakek dan Nenek sendirian. Tania ingin di sini bersama Ibu, Ayah, dan Kak Aby. Memangnya apa salah Tania? Hiks ... Tania janji akan menjadi anak yang baik," ujar Tania dengan tatapan memohon. "Anak yang baik kau bilang, huh? Kehadiranmu hanya menimbulkan masalah, Tania. Kesalahanmu sangat fatal. Kehadiranmu telah menghilangkan empat nyawa tak bersalah. Kau pembunuh, Tania! Pembunuh!" jawab Ayden begitu saja tanpa disaring terlebih dahulu. "Tania minta maaf. Tania janji tidak akan membunuh nyamuk lagi," mohon Tania dengan polosnya. "Cih, nyamuk kau bilang? Kau telah menyebabkan adikmu sendiri meninggal. Apa kau dendam padaku, huh? Asal kau tahu, kehadiranmu juga penyebab kemati—" "Cukup!" Elena segera memotong perkataan suaminya. Sementara itu, putranya hanya diam berusaha mencerna ucapan ayahnya. Ia sendiri tidak tahu pasti apa yang terjadi di sore itu, karena saat itu ia sedang mengikuti les sepak bolanya. "Tidak. Bukan Tania yang membunuh adik bayi. Hiks ... Tania sayang adik bayi ... hiks ... Tania tidak tahu kenapa adik bayi meninggal," bela Tania. Gadis kecil itu hanya bisa menangis dalam bingung. "Seharusnya saat itu kau tidak berulah dengan mendorong Elena hingga terjatuh!" bentak Ayden berapi-api. "Seharusnya saat itu Elena tidak menyelamatkanmu. Seharusnya saat itu kau mati tertabrak mobil," sungutnya. Tiba-tiba sebuah bunyi keras akibat tangan yang dilayangkan hingga mendarat di pipi kiri Ayden. Pria itu pun menatap tak percaya siapa yang baru saja menamparnya. "Maaf," cicit Elena sambil menundukkan kepalanya. Ia sungguh menyesali perbuatannya, hanya saja ia sungguh muak dengan tingkah suaminya. "Kau menamparku karena membela anak sialan ini, Elena?" tanya Ayden geram. "Kau lihat ini!" lanjutnya sambil melayangkan sebelah tangannya di udara. Elena memejamkan kedua matanya. Ia tahu keras dan kasar suaminya jikalau marah. Bunyi nyaring itu terdengar nyata. Namun, ia sama sekali tak merasakan panas apa pun yang menjalar di pipinya. Netranya terbelalak kala melihat pemandangan yang ada. Gadis kecilnya tersungkur di lantai nan dingin itu dengan sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, sementara itu putranya mematung, tenggelam dalam keadaan. Mungkin pria kecil itu terlampau syok melihat apa yang sudah ayahnya lakukan pada adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD