Chapter 2

1711 Words
    Seorang gadis bergerak gelisah dalam tidurnya. Keringat bahkan sudah membasahi wajah gadis itu. Entah apa yang dirasakan gadis itu. Namun, terlihat bagai orang yang penuh kesakitan.     Gendoran demi gedoran keras terus menggema apartment itu hingga gadis itu tersentak dari mimpinya. Dengan napas yang terengah-engah bagaikan baru saja berlari sejauh ratusan kilometer, gadis itu mengusap kasar wajahnya. Ia pun segera mengambil air putih yang berada di atas nakas sebelah ranjangnya, meneguknya hingga tandas. Saat ini bahkan jantungnya berdetak begitu sangat cepat.     Mimpi itu lagi, batin gadis itu. Sudah hampir lima belas tahun ia memimpikan hal itu. Mimpi yang bukan hanya sekedar mimpi. Namun kenyataan yang tanpa ampun terus menghantuinya.     "Ta! Tania! Do you wanna build a snowman. Come on, let's go and play! I never see you anymore. Come out the door. It's like you've gone away. We used to be best buddies. And now we're not. I wish you would tell me why!"     "Hentikan, Lyn!" gerutu Tania sambil melemparkan bonekanya ke arah pintu—menghentikan aksi konyol temannya di malam-malam seperti ini.     "Ok, bye!" ujar sebuah suara dengan nada yang masih seperti lagu "Do You Wanna Build a Snowman" ost film Frozen yang terkenal akan ratu esnya.     Tania memutar kedua matanya jengah. Entah mengapa ia mempunyai sahabat yang absurd seperti Evelyn ini. Seenaknya saja gadis itu menganggu tidurnya. Ah. Namun, sepertinya kali ini ia harus berterima kasih kepada sahabatnya, karena berkat gedoran bak sedang terjadi kebarakan itu membuat ia terjaga dan tak perlu memimpikan mimpi sialan itu lagi.     Dengan langkah gontai gadis itu membuka pintu kamarnya. Sahabat-sahabatnya memang tahu password unit apartment-nya sehingga bisa masuk kapan saja dengan bebasnya seperti saat ini.     "Ada apa malam-malam begini kau membangunkanku, Lyn? Apa kau baru saja putus dari Taylor?" tanya gadis itu dengan suara yang masih serak khas bangun tidur.     Evelyn segera menoyor dahi sahabatnya. Ia kemudian berdecak. "Hei, ini baru saja pukul sembilan malam. Oh, come on, apa kau lupa hari ini Nick mengadakan party di rumahnya? Ayo cepat ganti kostummu!"     "Aku tidak peduli. Kau pergi saja sendiri. Aku ingin meneruskan tidurku, bye," tolak gadis itu sambil hendak menutup pintu kamarnya. Namun, terhalang sebelah kaki Evelyn.     Evelyn, gadis itu tanpa permisi dan rasa malu langsung memasuki kamar sahabatnya. Gadis itu bahkan dengan beraninya membuka lemari pakaian Tania dan mulai memilih-milih.     "Hei, aku tidak mau datang. Kau tahu sendiri seharian ini aku terlampau lelah," ujar Tania sambil duduk di sisi ranjang.     "Ayo cepat pakai! Setelah ini kita jemput Maddy dan Liria," titah Evelyn sambil menyerahkan pakaian yang sudah dipilihnya pada Tania dan dengan terpaksa gadis itu mengikuti perintah sahabatnya.     ***     Dentuman alunan musik keras menggema kediaman Nick sang pemilik pesta. Tania beserta ketiga sahabatnya mulai berbaur dengan para tamu yang datang. Evelyn, sahabatnya yang satu itu bahkan sudah bergelayut manja di lengan kekasihnya.     Tania memutar kedua matanya dengan malas. Sebenarnya ia lebih memilih untuk tidur daripada menghadiri pesta seperti ini. Apalagi tubuhnya terasa remuk, karena ia harus melayani pelanggan yang ramai berkunjung di kafe tempatnya bekerja. Namun ia tidak enak juga dengan Nick, teman sejurusannya.     Tania mengedarkan pandangannya pada seluruh ruangan. Orang yang sedang asyik mengobrol, bermain bilyar, meminum alkohol, bahkan b******u tak luput dari pandangannya. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang lumrah di negara adidaya ini. Apalagi kebanyakan usia mahasiswa di sini sudah berumur di atas dua puluh tahun. Sebulan lagi usia gadis itu pun akan memasuki usia dua puluh tahun.     "Minum," tawar seorang pria pada Tania. Namun seperti biasa wanita itu hanya mengacuhkannya. "Baiklah jika kau tidak mau, tapi maukah kau menari bersamaku?" tanyanya.     Tania mengeluarkan seringai ejeknya. "Apa aku tidak salah dengar, Tuan Julian yang terhormat? Mengapa kau tidak mengajak kekasihmu yang sexy itu menari?" tanyanya penuh sarkasme.     "Well, kami sudah tidak berhubungan lagi. So, tidak salah 'kan aku mengajakmu. Lagi pula, kulihat kau sedang tidak bersama pria mana pun," jawab Julian dengan tatapan menggoda.     "Maaf, tapi aku tidak bisa. Silakan kau memilih wanita yang lain saja," tolak Tania dengan nada dinginnya.     "Kutahu kau seorang heartbreaker, tapi oh ... ayolah, kau tahu siapa aku di kampus kita. Tak ada yang mampu berpaling dari pesonaku," ujar Julian penuh rasa percaya diri.     Tania terkekeh. Ia mengangkat dagunya dan mengarahkannya pada gadis yang sedang bergelayut manja dengan seorang pria. "Jangan terlalu percaya diri, Julian. Nyatanya kekasihmu meninggalkanmu dan ia memilih pria lain," ejeknya.     Julian memutar tubuhnya ke belakang. Seketika kedua tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. Memang benar Irisa—mantan kekasihnya—sedang bermesraan dengan pria lain, bahkan pria itu adalah musuh bebuyutannya. Pria itu pun memilih meninggalkan Tania dengan hatinya yang memanas.     Tania menghempaskan bokongnya ke kursi. Tak lama kemudian ketiga sahabatnya pun menghampirinya.     Madison berkacak pinggang sambil menoyor dahi Tania hingga membuat gadis itu mengaduh. "Apa kau baru saja menolak seorang Julian? Ck ... apa kau sudah tidak waras, Tania? Di saat wanita lain bahkan menginginkan tidur dengannya kau malah mengabaikannya begitu saja?" tanyanya retoris.     "Irisa saja meninggalkannya. So, apa salahnya diriku menolaknya? Dan aku bukanlah termasuk wanita yang dengan mudahnya melemparkan diri kepada lelaki sepertinya, Maddy," ujar Tania dengan santai.     "Sudah berapa banyak pria yang kau tolak, Tania? Sebenarnya pria seperti apa yang menjadi kriteriamu?" tanya Madison sambil memijat kedua pelipisnya.     "Apa kau mau menjadi perawan tua, Tania? Oh ... jangan katakan kalau ternyata kau seorang lesbian," celetuk Liria sambil menutup mulutnya seolah kaget.     Tania seketika melayangkan tatapan horornya pada Liria. "Enak saja. Sudah kubilang bahwa pria-pria itu hanya makhluk b******n tak berguna. Mereka bahkan dengan mudahnya tidur dengan wanita mana saja tanpa disertai cinta. Kau mau lihat buktinya? Baiklah akan kutunjukkan," ujarnya tak terima.     Tania menepis helaian rambutnya ke belakang. Berjalan anggun menghampiri seorang pria terkenal di kampusnya, bahkan jauh di atas Julian.     "Hai, mau menari bersamaku?" tanya Tania santai. Ia tak perlu mengedipkan sebelah matanya atau membelai d**a pria untuk membuat pria itu terpesona dengannya. Walau ia bukanlah murni seorang bule, tapi darah Turki yang ia dapat dari sang ibu dan darah campuran Arab–Indonesia dari sang ayah yang mengalir di tubuhnya membuat pria mana saja tergila-gila padanya.     "Apa kau buta, Tania? Kau tidak lihat Damian sedang bersama diriku?" tanya wanita yang sedang bergelayut manja pada pria itu.     "Aku tidak merebut kekasihmu, Irisa. Aku hanya mengajaknya menari. Tapi ... entahlah ... mungkin setelah ini kita akan semakin dekat. Bisa saja, 'kan?" balas Tania dengan dingin.     Mata Irisa memanas. Tangan halusnya tergerak ke udara untuk menyentuh pipi putih Tania. Namun secepat kilat Damian mencekal pergelangan tangannya.     "Aku tidak suka wanita kasar sepertimu, Irisa," ujar Damian sambil menghempaskan tangan wanita yang berstatus sebagai kekasihnya. Sebelah tangannya terulur untuk menggenggam tangan Tania.     Tania tersenyum puas. Ia pun menerima uluran tangan Damian, sementara itu Irisa meneguk minumannya hingga tandas. Setelahnya ia bahkan melemparkan gelas tak bersalah itu ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Di depan mereka, sahabat-sahabat Tania hanya terpaku dengan mata terbelalak.     "Tolong katakan ini semua mimpi. Menghempas Julian dan memilih Damian? Dia gila! Dia sama saja sedang menggali lubang kuburannya sendiri," gumam Evelyn.     "Mereka sepadan, sama-sama sang pematah hati nomor satu di kampus ini," timpal Madison.     "Entah apa jadinya jika mereka bersatu, mungkin mereka akan saling mematahkan. Tapi yang jelas aku berharap Tania bukan salah satu wanita yang menghangatkan ranjang Damian, kemudian pria itu buang bak permen karet." Liria bergidik ngeri membayangkannya.     "Aku yakin sahabat kita bukan wanita seperti itu," sahut Evelyn yang dijawab dengan anggukan kedua sahabatnya.     Sudah beberapa detik berlalu sejak Damian dan Tania berdiri di lantai dansa. Namun hanya kebisuan yang menyelimuti dua insan itu.     "Ah, sepertinya kita menari di waktu yang tepat." Damian akhirnya membuka suara kala mendengar musik disco itu berubah menjadi lagu dansa. "Bisa kita mulai?" tanyanya.     "Tentu, Tuan Damian Alexander," jawab Tania seraya melemparkan senyum mautnya.     Mendengar ucapan Tania yang mempersilakannya, Damian langsung menarik pinggang gadis itu hingga membentur d**a bidangnya—menipiskan jarak di antara mereka. Sontak gadis itu pun tersentak mendapat perlakuan pria di depannya ini.     "Sungguh aku beruntung bisa berdansa dengan gadis sepertimu, Tania," puji Damian. Pria bernetra biru itu sungguh tampan, membuat gadis mana saja tergila-gila pada pria itu. Sama halnya dengan Julian, keduanya mempunyai pesona yang luar biasa.     Tania tak menanggapi pujian Damian, ia berfokus pada langkahnya untuk tak menginjak kaki pria itu.     Beberapa menit berlalu hingga Damian yang mulai larut dalam keadaan seolah terjerat pada pesona bibir ranum Tania yang sungguh menggoda imannya. Pria itu menghentikan langkahnya, menyelami manik coklat madu pasangan dansanya, meninggalkan kernyitan yang dinampakkan gadis itu. Sejurus kemudian tanpa diduga ia menyapu lembut bibir ranum gadis itu dengan ibu jarinya. Beberapa detik selanjutnya, ia mulai memejamkan kedua matanya dan mendekatkan bibirnya ke arah bibir gadis itu.     Satu detik ... dua detik ... bibir pria itu semakin dekat, dan tanpa diduga Tania justru mendorong tubuh Damian dengan kasar.     "Maafkan aku. Aku harus pergi," ujar Tania dengan sedikit gugup setelah ia mendapatkan akal sehatnya kembali yang hampir saja masuk ke dalam perangkap pesona Damian. Harus ia akui mengapa hampir seluruh populasi gadis di kampusnya begitu memuja pria itu. Rasa hangat yang keluar dari embusan napas saat jaraknya dengan pria itu begitu dekat bagai sebuah alat yang dapat menghentikan waktu dan akal sehat secara bersamaan.     Gadis itu melangkah pergi, sementara Damian tersenyum kecil. Seharusnya ia marah pada gadis yang telah mempermainkannya. Namun tidak ... ia justru semakin terpesona pada tingkah menggemaskan Tania.     "Kau seperti Cinderella yang meninggalkan pangerannya, Tania. Kau sungguh membuatku penasaran," gumam Damian.     ***     Dengan perasaan yang entah bagaimana cara mengungkapkannya, Tania pergi meninggalkan pesta itu. Bukan karena dirinya mengakui jatuh pada pesona Damian. Namun, ia hanya merutuki dirinya yang bersikap bagaikan seorang jalang dan kejadian tadi semakin menguatkan pemikiran buruknya pada seorang pria.     Damian dengan mudahnya melepas Irisa demi berdansa dengannya tanpa memedulikan perasaan kekasihnya itu. Ternyata pemikirannya selama ini adalah benar. Semua pria sama saja. b******n, b******k, pengkhianat, tak punya belas kasih, sama seperti dia ... pria yang sudah menghancurkan hidupnya demi wanita lain dan dengan teganya pria itu justru melemparkan kesalahannya.     Tania menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya. Harinya terasa begitu berat dan dering ponsel yang berasal dari orang yang dihindarinya selama ini sedari tadi menuntut untuk diangkat membuatnya semakin muak. Sebuah dering singkat tanda pesan terpaksa menarik perhatian gadis itu.     Kondisi Ayah cukup memprihatinkan, Ibu mohon kembalilah, Sayang. Kami semua merindukanmu.     Cukup lama Tania menatap satu persatu huruf yang terangkai itu. Tak ada niatan dirinya kembali pada negara yang sudah menorehkan banyak luka di hatinya. Sudut bibirnya terangkat, mengejek nasibnya sendiri. Merindukan katanya? Rasanya tidak mungkin, batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD