Karamel memastikan telinganya tidak mendengar suara berlebihan Sajak yang sejak tadi heboh menceritakan pada semua orang bahwa dia dibelikan makan siang oleh Karamel. Padahal Kara hanya membelikannya roti dan kopi, tapi Sajak seakan baru saja dibelikan Spagetti dengan caviar di atasnya.
"Kan, kata gue juga apa. Kara tuh diem-diem perhatian sama gue. Dia paling enggak bisa kalau lihat gue ini kelaperan. Iya kan, Ra?"
Dengan sengaja Kara membuat bunyi ketikan di keyboard komputer nya menjadi semakin berisik. Hal itu bertujuan agar dia tidak harus mendengar omong kosong yang sedang di sebar luaskan oleh Sajak.
"Jangan-jangan alasan Kara enggak punya pacar sampai sekarang juga karena diam-diam dia suka sama gue? Tapi dia ngerasa gengsi karena selama ini dia selalu pura-pura benci sama gue."
Kara percaya bahwa semua hal pasti ada batasnya. Termasuk dengan omong kosong Sajak. Karamel merasa bahwa lelaki itu sudah melewati batas.
Maka segera Kara meninggalkan pekerjaannya, mengambil penggaris panjang dari atas meja dan berjalan ke arah Sajak. Tanpa belas kasihan, dia langsung memukul lengan Sajak lumayan keras hingga membuat pria itu mengaduh kesakitan.
"Ra, udah sama-sama dewasa loh! Kok masih main kekerasan aja sih?" sewot Sajak sambil mengusap lengannya.
Kara memasang wajah datar, kemudian melirik ke satu persatu teman kerjanya yang mau-mauan saja meladeni omongan Sajak.
"Kalian kurang kerjaan banget nemenin dia ngoceh enggak berhenti-berhenti dari tadi. Memangnya kalian udah enggak ada kerjaan?" tanyanya.
Semua orang sudah tahu bahwa pribadi Kara memang sedikit judes dan juga selalu bicara blak-blakan. Maka dari itu semua yang mendengar merasa tidak tersinggung walaupun memang terdengar kurang nyaman.
"Kami cuma lagi nenangin pikirin setelah dihajar deadline, Ra. Enggak niat dengerin omongan Sajak juga, makanya dari tadi juga kami cuma diem kan?"
Dengan dramatis, Sajak langsung memegangi dadanya. Memasang wajah terluka sambil memandangi dua orang temannya.
"Kalian tega banget! Bisa-bisanya kalian bohong di depan Kara. Padahal kalian kan yang pertama bilang kalau gue ini sepertinya punya potensi buat disukai sama Kara?"
Kedua temannya melotot, menambahkan pukulan di lengan Sajak tanpa ragu-ragu.
"Jangan bikin nama gue jelek di depan Kara ya, Jak," tegur Rio. Pria berkacamata itu langsung menatap ke arah Kara yang masih berdiri di antara mereka. "Ra, jangan dengerin omongan Sajak ya? Semua orang juga tahu kalau lo sampai kiamat pun enggak akan pernah suka sama Sajak."
Tian mengangguk, menyetujui ucapan Rio. "Bener, Ra. Gue yakin, lo yang cerdas pasti bisa langsung tahu kalau Sajak cuma omong kosong."
Malas meladeni tiga pria yang hanya membuat omong kosong, Kara akhirnya berbalik badan. Dia kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaan nya yang sempat dia tinggalkan demi bisa menyiksa Sajak.
"Emang kurang kerjaan mereka. Kalau sampai Pak Hanan tahu, bisa kena omel deh mereka," cetus Mila.
Jarak meja Mila dengan Kara memang hanya selebar satu langkah. Itu menguntungkan bagi mereka yang terkadang juga mencuri waktu dengan bergosip.
"Biarin aja. Sajak memang gila. Gue sendiri jadi nyesel karena udah mau repot-repot beliin dia makanan. Harusnya gue biarin aja dia pingsan kelaparan."
Mila terkikik. Matanya melirik ke arah Sajak yang tampak sedang berbisik-bisik bersama dengan temannya yang lain.
"Sayang banget ya? Sajak itu ganteng nya bukan maen, tapi kelakuannya minus. Tapi kalau seganteng dia sih, masih bisa dimaafkan lah sikap menyebalkan nya itu," komentar Mila.
Kara menoleh, kemudian bergidik ngeri mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Mila.
Sejujurnya dia sendiri pernah berpikiran demikian tentang Sajak, bahwa Sajak memang memiliki ketampanan yang di atas rata-rata. Pemikiran itu muncul saat mereka masih kecil, ketika pertama kali Kara mengenal Sajak. Dan pemikiran itu hanya bertahan selama satu hari karena di hari berikutnya Kara langsung mengetahui betapa Iblis sifat Sajak itu. Sejak saat itu hubungannya dengan Sajak tidak pernah terlihat baik sama sekali.
__
Sajak bersandar pada tiang di depan lobi, satu tangannya terangkat memandangi jam tangan yang dia pakai sedangkan motor sport nya sudah terparkir tidak jauh dari tempat dirinya berdiri.
Berulang kali dia menoleh ke belakang, memastikan apakah orang yang dia tunggu sudah muncul atau belum. Dia bersabar walaupun waktu pulang sudah lewat lebih dari setengah jam.
Hingga kemudian matanya menangkap sosok yang dia tunggu, senyum tipisnya terbit. Dia berjalan mendekat sambil memainkan kunci motor yang ada di sela jarinya.
"Kar, udah selesai?"
Kara yang sejak tadi dia tunggu karena ingin mengajak pulang bersama, justru mengerutkan kening dengan aneh.
"Apa? Mau apa?" tanya gadis itu waspada.
Sajak masih mempertahankan senyumnya.
"Gue udah nunggu lo dari tadi, mau ngajak pulang," ungkapnya.
Tentu saja ucapannya itu ditanggapi dengan tatapan terkejut dari Kara. Gadis itu bahkan bertingkah berlebihan dengan mundur satu langkah ke belakang, menciptakan jarak yang lebih lebar dari Sajak.
"Enggak mau! Siapa bilang gue mau pulang sama lo?" tolak nya.
Meskipun penolakan dari Kara terlihat berlebihan, tapi Sajak tampak biasa saja. Mungkin karena dirinya sudah melihat dan mendengar penolakan itu berulang kali sehingga Sajak sudah kebal dan tidak sakit hati lagi.
"Udah sore. Mama lo kan gampang panik, beliau enggak akan suka kalau denger lo pulang naik ojek," kata Sajak.
Meskipun begitu, Kara tetap menggeleng.
"Pokoknya gue enggak mau pulang bareng lo. Minggir!"
Langkah Kara menepi, menghindari Sajak yang berdiri di tengah jalan.
Tapi Sajak tidak kehabisan akal, dia mengikuti langkah Kara. Ke kanan dan ke kiri hingga membuat Kara tanpa sadar menggeram marah, menarik perhatian dari beberapa orang yang juga ada di lobi.
"Minggir enggak lo! Gue mau pulang."
Sajak menggeleng. "Ya lo emang harus pulang, tapi sama gue!"
"Gue enggak mau!"
"Kalau gitu, gue juga enggak akan minggir dan akan terus halangin jalan lo," ancam Sajak.
Mata Kara melotot. Terlihat sekali betapa kesalnya gadis itu hingga berulang kali menarik napas dan menghembuskan nya.
"Lo kenapa begini sih? Kenapa tiba-tiba ngajak gue pulang bareng?" tanya Kara. Nada bicaranya sudah tidak sekeras tadi.
"Anggap aja ini sebagai balas budi karena tadi siang lo beliin gue makanan."
Kara terdiam, memalingkan wajah dan kembali mengambil napas berat.
"Kalau tahu bakal kayak gini, gue enggak akan mau ngasih lo makanan. Lagian bisa dibilang yang kasih itu ke lo adalah Mila, karena dia yang beliin dan gue belum sempat gantiin duit dia."
Sajak mengangkat bahunya dengan cuek.
"Toh nantinya juga lo pasti bakalan gantiin uangnya Mila. Jadi sudah jelas kalau lo yang kasih makanan itu buat gue."
Memasang senyum lebar, Sajak kemudian mengangkat kunci yang ada di tangannya.
"Udah mau malem, lo enggak mau pulang sekarang? Gue yakin, sebentar lagi Mama lo pasti bakalan nelepon Lo karena lo belum pulang juga sampai sekarang."
Kalimat yang baru saja Sajak katakan seperti sebuah magic, karena dengan itu wajah galak Kara langsung hilang. Gadis itu malah terlihat panik saat menunduk, melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.
Dia tampak gusar, menatap ke arah Sajak lalu membuang muka. Hal itu dia lakukan berulang kali sebelum kemudian Kara tampak menghela napas berat dan mengangguk.
"Oke, gue akan pulang bareng lo," putusnya setelah sekian lama.
Sajak langsung berbinar senang. Dia bahkan sampai menjentikkan jarinya sebelum kemudian berbalik badan.
"Kalau begitu, kita pulang sekarang!"
_____