Friendzone

809 Words
Lana memasuki club malam yang biasa ia kunjungi. Beberapa orang menyapanya, sudah hafal bahwa Lana adalah pelanggan tetap club malam tersebut. Bukan hanya pelanggan tetap, tetapi juga sahabat dari pemilik club itu. Kini netra Lana berjelajah menatap sekeliling club, berharap menemukan teman-temannya. "Lana? Ini lo?" Sebuah suara seketika membuat Lana menoleh, kemudian menemukan lelaki tinggi dengan mata bulatnya yang besar. Senyuman khasnya menyambut Lana, disertai dengan delikan anehnya. "Iya! Lo kira siapa?" ketus Lana sebal. "Waw! What's happened? Lo pergi ke sini dengan stelan gaun gitu? Gak ngigau kan lo?" "Halah, bacot Lucas! Mana Stevan, mana?" Lana mendesis sebal seraya memukul tangan Lucas kurang ajar, padahal dia adalah pemilik club malam tersebut. Lucas terbahak keras. Saking kerasnya ketawa lelaki itu masih terdengar padahal tempat tersebut bising oleh hingar bingar musik dan teriakkan orang-orang yang menggila. "Dia ada di tempat biasa. Jangan ke sana, lo---eh, si bocah!" Lucas menggeleng pelan karena Lana tak mengindahkan peringatannya dan malah berjalan cepat ke tempat Stevan. Suasana sudah lumayan hening ketika Lana memasuki lorong dengan banyak pintu di sisi kanan dan kirinya. Tempat VVIP, apa lagi? Setelah menemukan pintu paling ujung, di mana biasanya ia di sana dengan teman-teman terkutuknya, segera Lana mempercepat langkah. Bruk! Lana membuka pintu dengan sekali sentakkan. Tapi netranya malah disuguhi pemandangan kotor yang membuat Lana bergidik ngeri. Pakaian berserakan di mana-mana, bekas makanan yang berantakan, botol minuman yang tergeletak tak beraturan, dan dua manusia yang tengah bertelanjang seraya saling melumat. Sialnya, kedatangan Lana sama sekali tak menginterupsi kegiatan sepasang sejoli itu. "Stevan Ellegra!" Lana berteriak kesal. Yang dipanggil hanya melirik sekilas, kemudian kembali melanjutkan kegiatan menyentuh wanita di atasnya. Sialan. Lana ingin mengumpat dan membunuh Stevan saat ini juga! Tapi, mana berani. Melihat mereka dari jauh saja sudah membuat bulu kuduk Lana meremang. Memang b******k sahabatnya yang satu itu. "Gue tunggu di bawah! Awas kalau lo lama ya, b*****t!" Lana berkata lantang kemudian membalikkan badannya. Tidak kuat melihat pemandangan menjijikkan itu. *** "Lucas, sialan lo ya! Kenapa gak ngasih tau gue kalau si Stevan lagi main? Mata sucih gue ternodai." Lana berdesis sebal, duduk di atas kursi tinggi di depan meja bar. Lucas yang tengah mengelap botol-botol minumannya terkekeh. "Gue udah mau bilang, lo-nya keburu nyelonong. Salah sendiri!" balas Lucas seraya membuka salah satu botol sampanye dan menuangkannya di gelas kemudian disodorkan ke hadapan Lana. "Lagian ada apaan, sih? Lo aneh tau nggak? Datang pake pakaian gitu terus marah-marah. Baru diusir nyokap ya?" Lana menenggak sampanye yang disodorkan Lucas padanya, kemudian menghela napas panjang. "Nggak. Tapi masalahnya mirip-mirip lah." Lana mengangkat bahu acuh. "Kenapa? Coba sini cerita!" Lucas mensedekapkan tangannya di atas meja dan menatap Lana lekat. Amat lekat sampai terlihat binar-binar yang indah di balik mata bulatnya yang besar. Ah, jika dilihat-lihat Lucas memang tampan. Tidak, dia manis di samping sifat menyebalkan yang tak pernah luntur dari dirinya. "Y-ya, nggak. Gue nggak bisa cerita." Lana mendesah kecil, menekuk wajahnya semakin dalam. "Masalah cowok?" tanya Lucas. "Bukan." "Kalau gitu pasti murni masalah nyokap bokap lo." Lana lagi-lagi mendesah. Memang. Memang masalahnya adalah orang tuanya. Tapi Lana tidak bisa cerita pada teman-temannya. Perjodohan? s**t! Orang tua mana yang di zaman modern ini masih percaya jodoh-jodohan? Pasti itu yang akan teman-temannya lontarkan dan tertawakan. "Yah, malah bengong!" Lucas menoyor kening Lana, membuat Lana berdesis kesal. "Jangan bengong, kesambet tau rasa lo!" "Hallo, my dear... Honey bunny sweety!" Lana merotasikan bola matanya dengan malas saat lengkingan suara itu terdengar. "Jijik amat lo, Stev!" ketus Lana, menendang tulang kering Stevan dengan sepatu hak-nya. Stevan malah cekikikan dengan perempuan cantik di rangkulannya, Anya. Perempuan yang sepatutnya Lana benci, tapi tak bisa. "Ada apa? Datang-datang ngamuk gak jelas." "Gak ada. Pengen minum bareng aja." Lana membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis. Entahlah. Kekesalan Lana akan Jeffrey menguap, tergantikan oleh perihnya perasaan dia melihat Stevan dengan Anya. Yah, katakanlah Lana bodoh mencintai sahabatnya sendiri selama bertahun-tahun tanpa berani mengungkapkan. Giliran Stevan dengan yang lain, Lana terluka tapi tak bisa marah atau pun menangis. "Pasti ada masalah. Cerita ke kita, jangan dipendem sendirian." "Gak ada. Gue nginep di rumah lo ya malam ini?" Lana tersenyum kecut saat netranya melihat tangan Stevan yang merapikan anak-anak rambut Anya. "Boleh. Tapi jangan ganggu gue sama Anya!" "Lah? Anya nginep di rumah lo juga?" Lana bertanya serius. Stevan malah terkekeh dengan Anya. "Di rumah Stevan lagi gak ada orang, jadi gue nginep karena kosan juga sepi." Anya tersenyum simpul, senyum yang menyakiti Lana semakin dalam. "A-ah, yaudah. Gak jadi. Gue pulang aja." Lana mengangguk-angguk kecil seraya memainkan gelasnya. "Ke apartemen gue aja. Gak begitu jauh juga dari sini. Lo bisa istirahat di sana." Lucas tiba-tiba angkat bicara seraya melepas apron kain dari tubuhnya dan berjalan mendekat ke hadapan Lana. "Lo gak akan ngapa-ngapain gue, kan?" delik Lana. Lucas yang mendengarnya seketika menarik ujung rambut Lana sehingga Lana memekik tertahan. "Lo pikir gue berani nyentuh lo apa?" Lana terbahak. "Iya iya, lupa. Elo kan impoten." "Eh. Si anjir! Mau pembuktian lo?" Lucas menantang. "Ayok! Gue jago, kok. Tapi gak suka maksa." "Ogah, gue!" Lana melengos sambil terkekeh. "Kan, nyesel lo nolak gue mulu!" "Iya iya. Cepetan anterin gue. Capek, mau bobo!" Lana mengangkat kedua alisnya menatap Anya dan Stevan. Sok-sokan gak apa-apa padahal terluka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD