Makan Malam

979 Words
Hampir satu jam Lana menghabiskan waktu dengan berdiam diri di dalam mobil ayahnya. Sesekali Lana mendesah keras seraya memutar bola mata malas. Sungguh, Lana enggan untuk menghadiri pertemuan ini, tetapi ayahnya jauh lebih keras kepala dibanding Lana sehingga mau tak mau Lana harus mau. Ingin kabur, tapi tidak mungkin. Ah, sialan! "Ayo, turun!" perintah ayahnya membuyarkan lamunan Lana. Seketika Lana mengerjap dan mendapati mobil Ifanov berhenti di depan sebuah restauran mewah. Sayangnya, Lana tidak terlalu suka tempat seperti ini. Terlihat terlalu resmi dan itu menyebalkan! Malas-malasan Lana keluar dari mobil. Dania dengan sigap mendekati Lana dan membenarkan penampilan gadis itu, terutama bagian rambut panjangnya yang sedikit acak-acakan. "Senyum, Sayang." Dania menarik kedua sudut bibir Lana dengan jarinya, lantas mengusap pelan pipi puterinya tersebut. Suasana tenang menyambut begitu ketiganya masuk. Musik klasik mengalun merdu, sangat enak didengar bagi mereka yang suka ketenangan. Sayangnya, Lana tidak suka karena Lana benci ketenangan. Di kelas saja jika kelas terlalu hening, Lana akan berbuat hal apapun untuk membuat beberapa keributan. Musik pun tentu Lana lebih menyukai musik disko daripada musik menyebalkan seperti ini. Lana menyisir pandang ke sekeliling restauran, kemudian menghela napas kasar saat yang didapatinya sedari tadi hanyalah manusia-manusia berpakaian sopan yang duduk tegak dengan senyuman formal yang menyebalkan. Tidak ada yang menarik sama sekali. Hingga, Ifanov menghentikan langkah di depan meja nomor 63. Mata Lana jelas saja membulat sempurna saat yang didapatinya di meja tersebut adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan mata kelam yang menawan. Sialan! Jangan bilang dia yang mau dijodohin sama gue? Astaga, godaan macam apa? Dia bahkan lebih ganteng dari Stevan! Lana menggigit bibir bawahnya seraya mengerang pelan. Ternyata penglihatan ayahnya masih normal, dia masih bisa menilai dengan baik penampilan seseorang. Geez, Jeffrey memang benar-benar tampan seperti yang ayahnya katakan. "Ah, Pak Jeffrey. Anda sudah lama menunggu?" tanya Ifanov tatkala lelaki bersuits hitam tersebut berdiri menyambut kedatangan mereka. "Tidak. Saya baru saja datang beberapa menit lalu. Silakan duduk!" Jeffrey tersenyum sopan. Mampus, punya dimple! Kelemahan Lana. Astaga, Lana mau pulang saja, boleh? Lana mau memeriksakan kewarasannya sekarang juga. Lana pusing, belum lagi jantungnya yang berdebar keras saat Jeffrey menatapnya. "Kamu Lana?" tanya Jeffrey. Lana seketika mengerjap kaget. Entah ke mana larinya seorang Lana yang pecicilan, tidak tahu malu, dan kadang savage sampai hanya menyisakan Lana yang i***t sekarang ini. "Ya, saya Lana, Om." Kemudian Lana diam. Panggil Om atau apa, sih? Lana bingung. Mau manggil Om, tapi dia terlihat muda. Mau manggil nama? Ah, tidak mungkin. Kata Ifanov umur Jeffrey 30 tahun, artinya sepuluh tahun lebih tua dari Lana, mana mungkin Lana hanya memanggil nama? Manggil Kakak? Agak geli juga. Ah, terserah lah! Bodo amat sama nama panggilan. "Om?" Jeffrey mengernyit, kemudian terkekeh ringan. "Bukannya kamu tahu saya akan menjadi suami kamu? Kamu yakin mau manggil 'Om'?" "Eh?" Lana kebingungan lagi. Jeffrey kembali terkekeh, membuat Lana menatapnya menelisik. "Tidak apa-apa. Senyamannya kamu saja. Toh, kita belum resmi. Tapi kalau sudah nikah, kamu panggil 'Mas' saja biar lebih akrab." Uhuk! Lana tersedak salivanya sendiri. Apa tadi? Ha? Mas? Astaga, Lana tidak salah dengar? Kenapa kedengarannya norak sekali di telinga Lana? Lana sampai meringis ngeri saking tidak sukanya. *** Lana duduk diam seraya menyeruput jus alpukat di meja. Sedangkan Jeffrey tengah memakan makanan penutup dan orang tua Lana sudah pergi dua menit lalu. Lana kesal kenapa dia ditinggalkan sendiri padahal Lana ingin ikut pulang. "Kamu kuliah jurusan apa?" tanya Jeffrey, memecah keheningan. "Manajemen bisnis," balas Lana, seraya memutar-mutar sedotan di gelasnya. "Jadi, setelah kuliah kamu akan kerja?" "Tentu." "Meski tahu kalau kamu akan menikah dengan saya?" "Iya." Jeffrey tersenyum kecil. "Saya tidak suka perempuan yang menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah," ucapnya. Lana lantas mengernyit, menatap Jeffrey dengan kedua alis yang bertaut. "Jadi?" Lana tanya. "Svetlana, kamu akan menikah dengan saya, Jeffrey Elvano. Kamu tidak perlu bekerja karena---" "Saya akan tetap bekerja!" Jeffrey diam, sementara Lana menghela napas keras, membuang muka sebentar dan kembali menatap Jeffrey. "Lagi pula, saya belum bilang pada Papa bahwa saya menyetujui pernikahan ini." "Baik." Jeffrey mengusap suits-nya, seolah membersihkan debu yang menempel di sana. Kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Lana dengan senyuman yang teramat manis. "Tapi sepertinya kamu memang tidak bisa menolak, Lana. Kami bahkan sudah sepakat untuk membicarakan tanggal pertunangan dan pernikahan." "What?" Lana membulat tak percaya. "Nggak mungkin. Jangan ngada-ngada, deh!" Cara bicara Lana berubah non-formal saking kesal. Entah, padahal tadi Lana masih mengagumi ketampanan laki-laki itu, tapi sekarang Lana mulai kembali meledak-ledak setelah sedikit mengetahui jikalau Jeffrey bukan orang yang cocok untuknya. Tentu, dia tidak cocok karena akan melarang-larang Lana sedangkan Lana tidak suka. "Saya tidak mengada-ngada. Mau tidak mau kamu akan tetap menikah dengan saya, tinggal di rumah, ongkang-ongkang kaki, dan melayani saya ketika saya di rumah." "Melayani? Saya bukan pembantu!" ketus Lana sinis. Entah mengapa Lana jadi semakin kesal pada Jeffrey. Dilihat dari nada bicaranya saat ini, dia terlihat licik. "Hei, bukan melayani seperti pembantu." Jeffrey tergelak, dan Lana semakin memicingkan matanya tak suka. "Maksud saya, kamu cukup melayani saya sebagai istri yang baik. Seperti apa yang mama kamu lakukan terhadap papa kamu. Kamu mengerti, kan?" "Tapi saya juga punya impian. Saya tidak mau hanya berdiam diri di dalam rumah, membosankan." "Lana, perempuan di luar sana berlomba-lomba untuk mendapatkan pria seperti saya agar hidup mereka enak, hanya ongkang-ongkang kaki dan meminta uang. Lalu kamu? Astaga!" Lagi-lagi Jeffrey terkekeh. Lana yang mendengarnya jadi sebal. "Lagi pula, impian? Benar kamu punya impian sedangkan yang dilakukan kamu hanya keluar-masuk klub malam, minum-minum, dan bolos kuliah?" Duar! Lana melotot tak percaya. Bagaimana Jeffrey tahu kalau Lana melakukan itu semua? "Kamu... apa Papa menceritakan semuanya?" tanya Lana, berusaha menekan amarahnya. "Tidak." Jeffrey menggeleng kecil, mensedekapkan tangan di d**a seraya menatap Lana dengan mata kelam dan senyuman kecil ---yang baru Lana sadari terasa mengerikan. "Saya tahu karena saya mencari tahunya sendiri." Sial! Berarti Lana dimata-matai sejak lama? "Lo---" Lana menunjuk Jeffrey tajam, menggigit bibir bawahnya dan melengos karena tak bisa berkata-kata lagi. "Pokoknya saya tidak mau menikah dengan kamu, Om Tua jelek! Apapun caranya, saya akan membujuk Papa!" Lana berdiri, meninggalkan Jeffrey yang masih mempertahankan wajah santainya. "Baiklah. Apapun yang kamu lakukan, kamu akan tetap jadi istri saya." Jeffrey bergumam seraya tersenyum lebar, padahal Lana tidak akan mendengarnya karena gadis itu telah berlalu jauh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD