3. Berdialog

2136 Words
"Halo, Papa! Juan kangen, udah sejak em ... satu, dua, ah! Udah tiga hari gak belajar cara jadi orang ganteng dari Papa." Inilah alasan bik Suh memanggilnya, karena papa dan mama Juan ingin bicara pada bocah itu. Dari handphone layar sentuh miliknya, ia dapat melihat sang papa sedang tersenyum bangga. Juan tahu, papanya pasti bangga karena semakin ditinggal wajah Juan semakin tampan. Di sisi kiri papanya, Juan juga dapat melihat sang Mama yang sedang mengerutkan dahi. "Kamu ini ngajarin anakmu apa aja sih, Mas?" Di saat Evan terkekeh, terdengar jawaban lucu yang keluar dari mulut Juan. "Ajarin Juan jadi orang ganteng, Ma!" serunya penuh semangat. Clarabel tersenyum ke arah Juan. Sikap narsis Juan yang merupakan sifat turunan dari Evan membuat dirinya geli sendiri. Untung saja beberapa sikap baiknya masih bersifat dominan sehingga bisa ia turunkan ke Juan. Seperti perhatian serta pengertian, mungkin. Juan menyandarkan handphone-nya pada vas bunga. "Mama, kapan pulang? Yang kangenin Mama ada dua orang loh. " Clara menatap Evan yang kini juga menatapkan. Mereka saling melempar tanya lewat netra. Beberapa detik kemudian Evan mengendikkan bahu. "Siapa aja yang kangen sama Mamamu?" tanya Evan dengan wajah cukup serius. Terlihat sekali sikap posesifnya mulai muncul. Juan melipat tangan di atas meja kayu yang juga menjadi penopang bagi gawai layar sentuhnya. "Juan sama si Bakpao, Pa," katanya sambil menyenderkan dagu pada lipatan tangan. Evan tersenyum lega. Ia kira ada pria lain yang merindukan istrinya. Ternyata yang merindukan Clara adalah anaknya sendiri dan bocah perempuan kesayangan Juan. Clara sempat terkekeh singkat. "Bilangin ke Gendis, Mama juga kangen banget. Kamu gak nakal sama Bakpaomu itu, 'kan?" Juan mengangkat jari telunjuk. Lantas ia menggerakkan jari telunjuknya itu ke kanan juga ke kiri. "Juan gak pernah nakal sama Bakpao, Ma." Clara mengangguk beberapa kali dengan wajah pura-pura percaya. "Iya, Mama percaya." "Jagoan papa, kamu mau oleh-oleh apa? Gendis, Kairav, Sefan, mau dibeliin oleh-oleh apa kira-kira?" Meski bukan sedang liburan, namun Evan cukup mengerti ia butuh sogokan agar Juan tak keberatan jika dirinya pulang lebih lama dari yang seharusnya nanti. Sesuai dengan apa yang telah ia perkirakan. Bocah laki-laki tersebut sempat berpikir sejenak. Tampaknya ia sudah melupakan percakapannya bersama Evan di beberapa hari yang lalu. "Gendis boneka kuda pink, Kairav boneka kuda pink, Sefan boneka kuda pink, kalau J--" "Jangan bilang kamu mau dibeliin boneka kuda pink juga?" potong Evan setelah merasa ada yang janggal dengan perkataan Juan. Sejak kapan anak laki-laki seperti Kairav dan Sefan suka boneka kuda pink? Juan tertawa kecil. Ia menopang kedua pipinya dengan tangan yang tak lagi dilipat. "Papa emang terbaik. Tau aja apa maunya Juan," jawab Juan dengan senyum merekah. "Kenapa semuanya mau dibeliin boneka pinkie pie?" Clara yang sering berinteraksi dengan Gendis juga Juan tentu tahu, boneka kuda pink, yang dimaksud Juan adalah salah satu tokoh dari kartun My Little Pony. "Juan cuma pengen ngasih Bakpao, Ma. Gak papa kok kalo Juan gak dapet mainan baru, ngeliat Bakpao senyum seneng kayak tadi lebih nyenengin dari pada punya mainan baru soalnya." Clara tersenyum geli. Sempat tidak menyangka jika Juan kecilnya bisa bersikap semanis ini. Tapi ada satu hal yang ganjil baginya. Gendis tersenyum senang saat bersama Juan? Bagaimana bisa? "Tumben Gendis bukannya nangis malah jadi senyum seneng waktu deket sama kamu. Kamu apain dia?" Sepertinya Clara tak perlu mengeluarkan suara, karena Evan memiliki pertanyaan yang sama dengannya. Juan mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum lebar. Seakan memberi kode pada Evan bahwa ini adalah rahasia. "Mama tutup kuping sama mata, dong." "Eh, kenapa?" "Gak boleh tau. Kalo kata papa, ini urusan laki-laki." Akhirnya Clara memilih mengalah. Ia menutup telinga dengan kedua tangan serta jari lentiknya. Tak lupa pula wanita itu menurunkan kelopak mata. "Kemarin aku praktekin yang pernah Papa lakuin ke Mama. Pitanya Bakpao berantakan, jadi aku benerin. Aku juga sempet nyisir rambutnya pake jari. Keren, 'kan?" Suara Juan terdengar begitu kecil. Persis seperti bisikan. Membuat Evan terpaksa menaikkan volume panggilan. Evan tersenyum bangga. Putranya benar-benar pintar mengaplikasikan apa yang ia ajarkan. Pria itu menepuk tangan sambil sambil terkekeh kecil. "Jagoan Papa emang keren!" Sedang di sisi kiri Clara memutar bola mata setelah kelopak matanya reflek terangkat. Tentu saja meski sudah menutup telinga dengan tangan serta memejamkan mata, ia dapat mendengar semuanya. "Kamu ini, dasar!" gerutunya pelan. Berharap tak terdengar sampai ke Juan. Setelah mengakhiri kekehannya Evan kembali membuka suara. "Jadi oleh-olehnya mau apa?" Juan memanyunkan bibir. Merasa kesal karena Evan masih menganggap omongannya yang tadi hanya main-main saja. "Kuda pink empat, Pa! Empat kuda pink!" Clara tersenyum bangga. Setidaknya dari apa yang putranya katakan ia dapat menarik kesimpulan bahwa Juan bukanlah orang yang serakah. "Kamu yakin?" tanyanya lembut. Juan mengangguk-angguk berkali-kali. Berawal dari mengiyakan. Bocah itu malah seakan bermain dengan anggukan kepala. Evan menghela napas. "Yaudah kalo itu mau kamu, tapi jangan nyesal, ya?" Anggukan Juan berhenti seketika. Bersamaan dengan senyum yang terbit dari bibir anak laki-laki tersebut. "Iya. Makasih, Papa ganteng!" katanya sambil menepuk-nepuk ringan meja. "Sifat turunan dari kamu itu, Ra. Gak bisa diem." Ucapan Evan jelas memancing tatapan tajam dari Clara. * Gendis mengayun-ayunkan kaki mungilnya yang tergantung. Saat ini ia sedang duduk di atas meja makan, sendirian. Sebenarnya tadi ada bik Sira yang menemani, tapi lantaran panggilan alam tak bisa ditunda akhirnya terpaksa bik Sira meninggalkan Gendis untuk sementara. Gendis mengusap-usap telapak tangannya. Malam ini cuaca sedang menunjukkan kemuraman. Hujan lebat, yang untungnya tak disertai halilintar atau sekadar kilat. "Dingin banget, sih," celetuknya sambil memainkan sendok. Tak lanjut makan sejak hawa dingin mulai menyapa kulit putihnya. Gendis sempat termenung. Kalau boleh jujur, saat ini dirinya tengah dirundung sebuah rasa yang biasa orang sebut sepi. Yang Gendis pahami, papanya belum pulang. Kakaknya lebih memilih makan di kamar sambil main belajar-belajaran dengan angka. Sedang bik Sira, jelas tak bisa selalu ada di sisinya. Seketika Gendis menjadi sedih. Ditinggal seorang mama dua setengah tahun lalu membuat ia bingung sendiri. Ia masih kecil, tak banyak yang ia ketahui. Serta, tak banyak yang memberi tahunya mengenai sefana apa dunia ini. "Mama lama banget liburannya, liburan ke mana sih? Mama Ceribel juga gak balik-balik." Kelenjar lakrimalisnya mulai bekerja ekstra. Sehingga menghasilkan cairan yang lebih banyak tak seperti biasa. Mula-mula, semua dapat ditahan. Namun lima detik kemudian tetesan cairan bening tersebut jatuh meluruh. Awalnya hanya setetes tapi lama-lama menjadi bertetes-tetes. Anak perempuan itu melipat tangan. Kepala mungilnya ia benamkan ke dalam lipatan tangan. Bahunya mulai bergetar. Selaras dengan jiwanya yang terikat rasa sesak. Di ujung ruangan, Hara sang papa cukup terpukul. Tubuh lelah setelah berjam-jam mengatur perusahaan besar terasa tak ada apa-apanya jika dibandingkan rasa tertikam setelah melihat pundak gadis kecilnya bergetar. Hara jelas merasa bersalah. Ia berpikir selama ini ia terlalu fokus mengobati dirinya sendiri. Tanpa sadar bahwa anak-anaknya mungkin merasakan sakit yang lebih setelah kepergian Savana. Ia mulai melangkahkan kaki. Mendekati Gendis dengan sisa tenaga yang tersedia. "Ayam jago nakal, tapi dia selalu happy. Mamanya pergi cuma sebentar. Gendis ... anak baik, 'kan? Selalu nurut buat minum s**u. Makan teratur. Tapi ... kenapa mama Gendis liburannya lama banget?" Dari jarak tiga langkah, Hara dapat mengerti tentang apa yang dipertanyakan Gendis dalam tangisnya. Satu air mata Hara berhasil turun. Bersamaan dengan tubuhnya yang meluruh dengan lutut menyentuh lantai. Tak lama hal itu berlangsung, hanya setengah menit. Karena setelahnya, ia langsung mengusap kasar air mata serta mengangkat tubuh mungil Gendis dalam gendongan hangatnya. Di sana, ia peluk Gendis dengan erat. Pelukan serta gendongan hangat itu merupakan salah satu alat komunikasi yang jika diartikan, Gendis tak pernah sendiri. Hara akan selalu ada untuknya. Dalam gendongan itu pula tangisan Gendis semakin mengeras. Ia seakan bercerita seberat apa hidupnya yang sepi. "Papa ...," gumamnya pelan. Hara hanya mengangguk. "Papa, mama Na, kak Irav, semuanya sayang Gendis." Tangis Gendis mereda. Tapi bahunya masih sedikit bergetar. Napasnya pun terdengar sesenggukan. Sepertinya ... Gendis sedang berusaha menahan tangis. Satu tahun setelah melahirkan Gendis, Savana mengalami kecelakaan yang meyebabkan dirinya koma selama satu tahun pula. Sebelum akhirnya tubuh wanita itu melemah, sampai akhirnya ia menyerah. Sejak saat itu Hara selalu mengalihkan fokusnya pada kerjaan. Berharap ia dapat melupakan bagaimana rasanya kehilangan. Sampai lupa berperan dengan baik kala menjadi seorang papa. Sedang Kairav. Anak itu seperti mengikuti jejak sang papa. Menjadi ambisius dalam bidang akademis. Benar memang, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Hara mengelus pucuk kepala Gendis. Ia juga berkali kali mencium kening putri kesayangannya tersebut. Saat ini, rasa sesal menguasai relung hatinya. Elusan Hara membuat Gendis ingat pada satu hal. "Papa, Gendis pengen sesuatu," ucap gadis kecil itu saat dirasa sesak pada hatinya telah mereda. "Kamu mau apa? Sebut aja Sayang, pasti bakalan Papa beliin," kata hara lembut dengan wajah penuh keyakinan. Gendis tersenyum senang. Wajah muramnya telah tersamarkan oleh naiknya dua sudut bibir anak itu. Meski tak dapat dipungkiri, jejak air mata tampak masih berserakan di atas pipinya. "Gendis mau pita yang banyak. Sama sepeda roda dua!" Dahi Hara berkerut. Sejak kapan putri kecilnya suka dengan pita? Dan termotivasi oleh apa pula ia hingga menginginkan sepeda roda dua? "Tumben kamu gak minta boneka kuda-kudaan itu. Ada apa?" tanya Hara penuh selidik. Lagi-lagi Gendis tersenyum lebar. Memperlihatkan gigi susunya yang berjejer dengan rapi. "Kata Ayam Jago, Gendis cantik kalo pake pita," ungkap Gendis sambil menyembunyikan senyum cerah di wajahnya. Hara terkekeh geli. Putri kecilnya seakan tengah malu-malu sebab perkataan seseorang yang sering membuatnya menangis. "Emang Gendis beneran cantik kalau pakai pita?" Gendis itu menatap papanya. Sudut-sudut bibirnya mulai turun. Disusul dengan jari telunjuk yang mengetuk-ngetuk dagu. "Menurut Papa gimana?" Hara meneliti setiap jengkal wajah Gendis. Sampai ia terdiam saat menyadari sesuatu. Perihal Gendis yang begitu mirip dengan Savana, istrinya yang teramat cantik. "Jadi itu kenapa hari ini Gendis pakai pita bahkan walaupun cuma mau makan dan sebentar lagi mau tidur?" tanya Hara sambil menunjukkan wajah geli. Gendis mengangguk. Dengan malu-malu ia tersenyum. Terdapat semburat merah pula di pipinya yang tak dapat ia sembunyikan. Hara terkekeh kecil setelah melihat senyum sang putri. Ia mengangguk sambil berkata, "Boleh, tapi cium dulu dong papanya." Tanpa ragu, Gendis segera mengerucutkan bibir tipis dan mendekatkannya ke pipi kanan juga kiri Hara. "Udah! Jadi dibeliin, 'kan?" tanya Gendis memastikan. Hara mengangguk dengan senyum yang tak lepas dari bibir. "Iya, kamu mau berapa? 100 lusin? 200 lusin? Atau 1000?" Gendis menepuk-nepuk pelan bahu Hara. "Ah Papa, jangan banyak-banyak banget. 15 aja cukup." Salah satu alis Hara terangkat. "Kenapa gak mau banyak-banyak banget?" Sambil memilin rambut sepundak miliknya Gendis mulai berkata. "Kata mama Ceribel, gak boleh boros. Gak boleh berlebihan juga. Gendis gak tau boros itu apa, tapi Gendis tau berlebihan itu artinya kebanyakan. Ya 'kan, Pa?" Hara mengangguk. Ia tahu putri kecilnya ini adalah anak yang cerdas. Sama seperti ibunya. Ia juga tahu, keluarga Evan memberi dampak bagi Kairav dan Gendis. Bukan hanya Juan yang memberi pengaruh, tapi juga Clarabel. "Papa, sepeda roda duanya juga jangan lupa, ya? Kalo boleh, Gendis mau yang warna pink. Kalo boleh lagi, ada gambar ayam jago lagi pingsan sama gambar pinkie pie lagi megang piala, Pa." Setelah memudarkan senyum, Hara mencoba memasang wajah serius. Ia kerutkan dahi yang membuat Gendis berpikir bahwa papanya sedang berpikir keras. Sedangkan Gendis tengah memiringkan wajah, tanda ia menanti jawaban sang papa. Hara mampu melihat itu, melihat binar harap di retina putri kecilnya yang tergambar sangat jelas. "Karena ada 3 permintaan tentang sepeda, berarti harus tiga kali juga cium pipinya." Gendis mengangguk berkali-kali. Segera ia layangkan kecupan sebanyak enam kali ke pipi kanan juga pipi kiri Hara. Hara sempat berpikir bahwa putrinya belum pandai berhitung. Sampai beberapa detik kemudian, hipotesisnya itu terpatahkan. Mungkin Hara lupa, kalau sekadar menghitung satu sampai sepuluh pasti sosok Kairav telah mengajarkan hal tersebut pada Gendis. "6 kali, Pa. Yang keempat itu karena Gendis sayang Papa," ungkapnya sambil memainkan kerah kemeja putih yang dikenakan Hara. "Yang kelima itu karena hari ini Papa pulangnya waktu Gendis belum tidur. Gendis seneng, sebenernya ini rahasia, tapi gapapa deh. Spesial untuk papa, itu gak jadi rahasia." Hara tertegun. Ia tak tahu kalau kepulangannya di nanti. Sebab, putri kecilnya tersebut tak pernah mengajukan protes atau semacamnya. Itu berarti, sebenarnya ada banyak keluh Gendis yang tak gadis kecil itu sampaikan. Atau mungkin sudah, lewat tindakan. Namun Hara tak mampu memahami. Hara berusaha menetralkan suaranya. Ia getarkan sedikit rongga yang berada di dalam leher. "Kalau keenam?" Pergerakan Gendis pada kerah baju Hara terhenti. Mata gadis kecil itu menatap lekat ke iris hitam milik Hara. Seperti ada ketakutan di mata Gendis yang akhirnya membuat Hara mengulang pertanyaan. "Yang keenam?" Untuk lima detik pertama, anak dan papa ini seperti berkomunikasi lewat netra. Tapi setengah detik selanjutnya, mata Gendis mulai berkaca-kaca. Sambil menahan sesak, gadis kecil itu berujar, "Gendis mau minta satu lagi, itu juga kalo boleh." Terdapat jeda untuk beberapa saat. "Karena setiap Gendis minta mama Na pulang gak pernah bisa, jadi kalau Gendis minta Papa antar Gendis ke tempat liburannya Mama Na, boleh?" Hara tahu. Sejauh apapun obrolan mereka berkelana, pikiran putri bungsunya hanya tertuju pada sosok yang telah hilang, bahkan sebelum ia dapat merasakan sosok itu pernah datang. Sosok itu adalah ... Savana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD