2. Ingin Punya Adik Baru

1881 Words
"Halo, guys!" sapa Juan pada Kairav dan Sefan yang tengah sibuk membereskan beberapa buku. Ternyata benar perkiraan Juan. Seperti biasa, sebelum menghabiskan waktunya dengan bermain, Kairav, bocah berambut lurus dengan pangkasan rapi serta wajah sedikit dingin itu selalu menyempatkan diri untuk belajar terlebih dahulu. Sefan sendiri tak masalah dengan hal tersebut. Sedang Juan, ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan menjahili Gendis. Sefan mengernyitkan dahi. Kata asing seperti 'guys' belum pernah ia dengar sebelumnya. "Guys itu apa?" Bocah laki-laki beralis tebal yang ditanya memandang ke kiri atas. Pura-pura memikirkan jawaban untuk pertanyaan Sefan. Lalu beberapa detik kemudian ia mengendikan kedua bahu. "Gak tau, tuh," katanya sambil duduk di sebelah Sefan, yang baru selesai membereskan peralatan belajar. "Dapat kata itu dari mana?" Kali ini Kairav yang membuka suara. "Dari handphone baruku yang dikirim papa semalam. Di dalamnya ada aplikasi warna merah namanya ... em aplikasi Tutup. Di situ aku nemu kata 'guys' yang dibilang sama abang-abang bertato," jelas Juan meski dirinya sendiri minim pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana ia melupakan nama aplikasi merah, lalu tanpa sengaja mengganti nama aplikasi tersebut sesuka hatinya. Sefan memandang penuh ke arah Juan. "Handphone kayak gitu belinya di mana? Aku sering liat kakakku main handphone tapi gak pernah ngeliat dia nonton abang-abang bertato." Juan berpikir sejenak. Lalu menaikkan kedua bahu, tanda lagi-lagi ia tidak tahu. "Kamu udah punya handphone?" tanya Kairav sambil meraih salah satu cookies dari toples di atas meja. Juan mengangguk. "Udah, dong. Kata papa biar aku gak kesepian. Biar bisa teleponan sama papa juga." Kairav mengangguk mengerti. Sebenarnya, ia pernah membicarakan hal ini dengan Hara, papanya. Waktu itu ia katakan bahwa dirinya butuh handphone setelah melihat iklan bimbingan belajar online yang disiarkan televisi. Namun saat itu Hara dengan tegas menolak untuk membelikan Kairav apa yang ia mau. Dan lebih memilih memasukkan Kairav ke bimbingan belajar yang diadakan setiap Jumat, Sabtu, dan Senin sore di rumahnya. Bocah itu tentu saja mengajak kedua temannya untuk ikut serta. Namun, hanya Sefan yang menerima ajakan Kairav. Sedang Juan menolak keras dengan mengutarakan berbagai macam alasan. "Main handphone harus diawasi sama orang yang lebih tua dan seumuran kita belum perlu handphone." Sefan mengangguk setuju dengan pernyataan Kairav. "Bener. Mamaku juga bilang begitu." Anak itu mengambil salah satu s**u kotak dari atas meja lantas membuka pipet yang melekat di salah satu bidang bungkusnya. Juan memiringkan kepala. Ia sedikit memutar pikiran atas perkataan Kairav. Hingga tiba-tiba binar matanya mencerah kala sebuah solusi terlintas di pikirannya. "Kalau gitu, setiap aku main handphone awasi aku dong, Rav," kata Juan sambil meraih tisu basah yang tertata rapi di samping toples berisi cookies juga beberapa s**u kotak siap minum, pada meja di hadapan mereka. "Aku?" Melepaskan sedotan dari mulutnya. Sefan ikut membeo, "Kenapa jadi Kairav? Aku aja dong, aku pengen tau gimana caranya main handphone, pengen liat abang-abang bertato yang kamu bilang juga." Sambil mengelap telapak tangannya dengan tisu basah, Juan beralasan, "Iya lah, Kairav. Kita 'kan beda dua hari. Kamu tanggal 24 Oktober aku tanggal 26 Oktober. Berarti kamu orang lebih tua yang bisa ngawasin aku. Kalau aku minta tolong ke Sefan mana bisa." Sefan lagi-lagi mengangguk setuju. "Bener juga. Aku 'kan tanggal 15 Desember, berarti aku lebih muda," sahutnya lantas kembali menyedot s**u kotak. "Emangnya begitu?" tanya Kairav. Ia merasa sedikit ganjal dengan kesimpulan yang Juan utarakan. Juan mengangguk yakin. "Lagi pula aku gak punya orang deket yang bisa ngawasin selain kamu atau Bik Suh." Kairav mengangkat salah satu alisnya. "Kenapa gak minta diawasi bik Suh?" Juan menggeleng-gelengkan kepala. "Bik Suh gak ngerti cara pakai handphone yang disentuh-sentuh kayak punyaku. Lagian gak seru lah kalau diawasi Bik Suh. 'Kan bik Suh sukanya denger orang ngaji, kalau aku sukanya main game sama nonton abang bertato. Kita tuh beda." "Aku ikut ngawasi juga dong, biar ngerti," sahut Sefan, masih berusaha mencari celah agar dapat melihat bagaimana gawai layar sentuh milik Juan bekerja. Juan mengangkat ibu jarinya yang kini sudah tak lagi bau karat berkat tisu basah. Ia menyetujui permintaan Sefan, bocah laki-laki berambut hitam lurus yang rambutnya dibiarkan memanjang sedikit layaknya artis-artis korea. Mirip seperti gaya rambut Juan. Hanya saja, Juan memiliki sedikit jambul berbeda dengan Sefan yang lebih suka memakai poni. "Rav, itu si Bakpao kenapa gak dibolehin bawa sepeda ke dalam rumah?" Kairav sempat memgambil salah satu s**u kotak dari atas meja sebelum mengalihkan pandangannya pada wajah kearab-araban milik Juan. "Berisik," ujar Kairav sambil menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa yang tengah mereka bertiga duduki. Tangannya sibuk membuka plastik yang membungkus sedotan berwarna putih. Bocah itu sepertinya tergiur setelah melihat bagaimana Sefan menyedot s**u dari dalam kotak. "Bakpao kapan sekolahnya? Kairav menusukkan pipet putih tulang itu ke tempat yang disediakan. "Nanti waktu kita masuk sekolah, di situ dia mulai masuk sekolah." "Kenapa?" tanya Juan penasaran. "Kalau tahun ini kita 6 tahun berarti Gendis 5 tahun. Kata kakakku umur lima tahun waktunya masuk TK. Jadi tahun ini dia masuk TK." Bukan, itu bukan suara Kairav. Melainkan Sefan yang sudah lebih dulu mengaplikasikan ilmu matematika dalam percakapan mereka. Masih penasaran, Juan kembali menanyakan lebih lanjut perihal rencana sekolah anak perempuan yang ia panggil Bakpao. "Nanti hari pertama, dia berangkatnya gimana? Naik sepeda?" Kairav menggeleng. "Dianterin papa." "Bik Sira juga ikut gak kalau Bakpao sekolah?" Kairav mengangguk. Bik Sira adalah pengasuh Gendis. Kalau kata Juan, bik Sira adalah orang yang selalu direpotkan oleh Gendis. Bagaimana tidak, gadis itu sedikit-sedikit pasti akan memanggil bik Sira. Mandinya juga dimandikan oleh bik Sira. Intinya, segala aktivitas Gendis dibantu oleh bik Sira, padahal bik Sira sudah tergolong tua renta. Untung saja, badan bik Sira masih segar bugar. Tidak ringkih seperti seorang nenek yang sering Juan lihat duduk di taman komplek mereka. Bicara soal bik Sira, membuat Juan mengedarkan pandangannya. "Bik Sira mana? Gak kabur gara-gara capek ngurusi si Bakpao, 'kan? "Enggak. Lagi beliin s**u buat Bakpaomu," ujar Sefan sambil menggigit-gigit ujung pipet yang ada di dalam mulutnya. Lagi-lagi ia mewakili Kairav. Juan mengangguk-angguk. Sedikit bersyukur lantaran bik Sira tak kabur seperti apa yang ia pikirkan. Bocah itu kembali menyenderkan punggungnya pada penyangga sofa, tempat di mana ia, Kairav, dan Sefan duduk dengan tenang. "Hari ini kita mau main apa?" tanya Sefan sambil meletakkan kotak s**u yang sudah kosong ke atas meja. Juan tampak menghela napas panjang, sikap yang ia tiru saat wajah papanya sedang muram. Yang kalau Juan tanya kenapa, jawabannya hampir selalu karena pekerjaan. Bocah itu menggeleng setelahnya. "Hari ini aku gak mau ikut main, mau duduk di sini aja. Aku lagi sedih." "Kenapa?" Pertanyaan Kairav membuat Juan menghela napas sekali lagi. Ia seakan bersiap untuk menceritakan keluh kesahnya saat ini. "Papa sama mamaku gak balik-balik." “Kamu ditinggal sendiri di sini kali," celetuk Sefan asal. "Ditinggal?" Juan tampak menautkan alis. "Iya. Apalagi kamu bandel, sering buat Gendis nangis, gak pernah tidur siang, gak suka belajar," jelas. Sefan dengan menjejerkan kenakalan apa saja yang Juan lakukan hampir setiap hari. Kenakalan yang mungkin saja membuat mama serta papa Juan memilih untuk meninggalkan bocah tersebut. "Gak mungkin. Kata papa aku penerus kegantengannya yang paling terdepan. Jadi, gak mungkin banget kalo aku ditinggalin di sini." Juan menggeleng-gelengkan kepala. Jelas ia tak setuju dengan jawaban asal yang Sefan utarakan. "Namanya juga kerja." Ucapan singkat yang keluar dari bibir Kairav membuat Sefan dan Juan mengalihkan pandangan ke satu titik yang sama, wajah serius milik Kairav. Tapi, tunggu dulu. Dari wajah tampan Kairav tampaknya anak itu sedang menahan kesal. Hal ini semakin diperkuat dengan senyum miris yang tercetak di bibirnya. Sefan memperbaiki posisi duduknya. "Gimana gimana?" "Kayak papaku." Ada jeda selama beberapa detik. Sebelum akhirnya dialog panjang keluar secara rapi dari mulut irit bicara milik Kairav. "Papaku juga sering kayak gitu. Pergi seminggu penuh, pernah juga sebulan penuh. Tapi aku tau. Semua yang papa lakuin buat aku sama Gendis. Biar kami bisa sekolah, bisa beli alat-alat belajar yang bagus." Kairav meluruskan badannya. "Menurut kamu, papamu beliin kamu mainan banyak, beliin handphone sentuh-sentuh gitu, uangnya dari mana kalo gak kerja?" Sefan mengangguk-angguk. Tentu bukan karena ia mengerti apa yang dibicarakan oleh Kairav, melainkan karena ia sedang memainkan poni sehingga membuat kepalanya bergerak naik turun. Sedang Juan menghela napas panjang untuk yang ketiga kali. Ia jadi teringat percakapan antara ia dan papanya pada tiga hari lalu, tepatnya saat malam hari sebelum Juan tidur. Awalnya ia dan papanya hanya membicarakan perihal asal-muasal ketampanan mereka berdua saja. Namun, tiba tiba Juan bertanya yang intinya, apakah jika ia memiliki adik perempuan, adiknya itu akan tampan juga? Evan mencubit pipi Juan setelah mendengar pertanyaan polos yang keluar dari bibir putra sulungnya. Ia lalu menjelaskan, jika Juan memiliki adik perempuan maka adiknya akan secantik Clarabel, mama Juan. Sampai akhirnya pembicaraan ini bermuara pada satu hal yang hampir membuat Evan tak dapat mengeluarkan suara. Tepatnya kala Juan meminta agar ia diberikan seorang adik perempuan, seperti Gendis. Evan lalu mengalihkan perhatian Juan dengan mengatakan bahwa ia akan pergi selama seminggu. Dan ketika ditanya ingin oleh-oleh apa, maka jawaban Juan membuat Evan ingin menabrakkan kepala ke mobil lamborghini miliknya. Juan melipat tangan di depan d**a, lagi-lagi ini gaya yang ia tiru dari sang papa. "Bener juga. Mungkin mama sama papaku lama karena harga adik perempuan mahal." Juan mengarahkan penuh tubuhnya ke arah Kairav. "Kairav, papamu beli Bakpao harganya berapa?" Kairav menatap datar ke arah Juan. Ia tahu Juan tak suka belajar. Tapi ia tak menyangka jika temannya itu masih berpikir bahwa adik perempuan bisa dibeli. * Sembari duduk di atas sepeda roda tiganya, Gendis mengendong boneka kuda berwarna pink yang ia ikat dengan selendang ungu milik Bik Sira di punggung mungilnya. Inginnya sih meniru bagaimana sang papa biasa mengendong dirinya, tapi jatuhnya malah seperti menggendong hewan peliharaan. Tak lama kemudian, datang bik Suh, pengasuh Juan. Wanita yang seumuran dengan bik Sira itu tersenyum hangat ke arah Gendis. Tentu senyum tersebut dibalas dengan tak kalah hangat. "Masuk aja bik, jangan malu-malu," ucap Gendis meniru apa yang sering diucapkan oleh bik Sira. Dari balik pagar bik Suh tersenyum. Merasa gemas sendiri melihat bagaimana Gendis dengan bijak mempersilakannya masuk. "Iya, Non," katanya sambil membuka pagar. Lalu masuk dan jongkok di dekat Gendis. Berusaha menyetarakan dirinya dengan tubuh mungil Gendis. "Bik, mama Ceribel mana? Gendis rindu. Pengen ngadu soal Ayam Jago yang nakalnya makin kebangetan." Belum bik Suh melaksanakan apa yang menjadi tujuannya kemari. Ia sudah disambut oleh pertanyaan lucu dari Gendis. Sembari mengelus pucuk kepala berlapis rambut coklat tua ia berkata, "Seminggu ini mama Ceribel pergi dulu sama papanya den Juan. Ada urusan." Tentu saja bik Suh ingat panggilan Gendis pada Clara memang sedikit berbeda. Jemari telunjuk Gendis terangkat menyentuh dagu. "Urusan apa?" "Urusan pekerjaan, Non,” jelas bik Suh singkat. Gendis mengangguk-angguk. Sebenarnya ia tak mengerti, tapi rasanya terlampau malas untuk memikirkan apa yang sulit dimengerti. "Oke, bilangin mama ceribel, ya, harus cepet pulang!" Bik Suh mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya, Non." "Bik Suh kenapa ke sini?" tanya Gendis sambil mengelus boneka yang menempel di punggung dengan tangan kanan yang ia liukkan sedikit. "Den Juan ada di sini, 'kan, Non?" Gendis mengangguk. "Di dalem, lagi sama Kak Sefan sama Kak Irav. Bibik masuk aja ke dalem," katanya sambil menyandarkan kepala di atas tangan yang ia letakkan di antara kedua stang sepeda. Bik Suh lagi-lagi tersenyum. "Bibik ke dalam dulu ya, Non," ujar bik Suh sebelum akhirnya meninggalkan Gendis. Beberapa detik setelah bik Suh masuk ke dalam rumah, ada satu tanya yang terlintas di pikiran Gendis. "Mama Ceribel baik, bik Suh juga baik, tapi kenapa Ayam Jago nakal?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD