bc

Bite My Lower Lip (Indonesia)

book_age18+
32.7K
FOLLOW
109.0K
READ
possessive
escape while being pregnant
arranged marriage
arrogant
dominant
scandal
CEO
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan Claire Lore awalnya lancar-lancar saja. Claire menikmati masa mudanya melalui travelling dan fotografi. Di lain sisi, Claire adalah gadis dengan sejuta mimpi. Dongeng tentang peri merupakan landasan kebahagiaan dalam hidupnya. Empat tahun tinggal di asrama puteri selama menuntut ilmu di Cambridge membuatnya tak banyak punya teman pria. Tetapi untuk kisah cinta, Claire ingin merajutnya dengan seorang pria yang memenuhi kriterianya. Pria idamannya itu haruslah seseorang yang sanggup membuatkan Neverland untuknya. Dengannya pula, Claire ingin pernikahan yang super romantis.

Namun, rencana masa depannya mendadak berubah ketika Christian Aiden hadir dengan lebih intens dalam kehidupannya. Pria arogan, sombong, suka mengatur dan sangat jauh dari tipe idealnya itu memaksa Claire untuk terikat. Christian Aiden dengan lancang mengenalkannya pada hasrat, gairah, dan sentuhan yang baru pertama kali Claire rasakan. Lantas masalah berdatangan, seolah-olah terundang. Dan hanya karena peristiwa pada satu malam saja, mimpi-mimpi Claire harus hancur seperti keping kaca. Badai datang bertubi-tubi.

Di antara kemelut hidup, apa yang harus Claire lakukan demi mengembalikan mimpinya? Bertahan untuk cinta yang perlahan mulai tumbuh, atau pergi dan tak pernah kembali lagi?

***

chap-preview
Free preview
Chapter 1 : Christian Aiden’s Appeal
“Morning.” Ough, mengapa harus ada Christian Aiden di meja makan mereka? Claire merobek roti dan menyumpalkannya ke mulut. Tak tanggung-tanggung menenggak segelas s**u guna mengirimkan makanannya ke dalam usus. Demi kerang laut Poseidon, jika ada manusia paling menjengkelkan yang Claire benci di dunia ini, maka jawaban terbaik yang ia miliki adalah Christian Aiden. Mereka tak sengaja bertatapan dan Claire impulsif membuang muka. Muak berat. Eh omong-omong, kapan pria itu sampai di Swiss? God, Claire, kau tidak harus peduli, ‘kan? “Tak ada schedule yang harus kau lakukan hari ini, Aiden?” Gabrielle menyapa riang, sembari mengoleskan selai di atas roti dan memberikannya pada suaminya. Wanita paruh baya itu merasa pagi pertama di liburan musim panas mereka amat sempurna. Anak gadisnya ada di sana, Richie dan Caroline serta anak-anaknya yang menggemaskan, juga putera dari sahabat baik suaminya yang baru pulang dari Amerika Serikat, Christian Aiden. “Tidak,” Christian memilih bacon dan telur mata sapi sebagai menu sarapan. “aku kembali untuk berlibur, matahari Swiss terlalu sayang untuk dilewatkan.” Well, itu jawaban yang melegakan bagi Gabrielle, ia tak ingin Christian berkumpul jika masih saja sibuk mengurusi bisnis. “Bagus sekali! Nah, karena Claire sudah sering diajak Richie jalan-jalan selama berlibur di Swiss, kau bisa memintanya menjadi tour guidemu untuk mengunjungi banyak tempat menarik.” Usul Gabrielle riang. Lain hal dengan Claire yang langsung batuk-batuk dan hampir saja menyemburkan sandwich ke atas meja. “Mum!” gadis itu mendesis tak terima. “Tidak bisa. Aku tak mau berurusan dengan siapapun selama masa liburanku. Aku butuh waktuku sendiri.” Claire mengabaikan mata predator Christian yang mengawasi tingkah lakunya. Persetan dengan si Christian Aiden itu! “Oh—honey, apa salahnya menemani Aiden jalan-jalan? Dia juga saudaramu.” Brother? What the hell, Christian Aiden bukanlah siapa-siapa kecuali iblis yang sulit dimengerti, sok berkuasa dan sedingin pucuk salju. Claire memutar bola mata dan saat itu juga Ayahnya turun tangan. “Oke, oke, cukup Gaby, tak usah dilanjutkan. Claire mungkin ingin seharian bersama kamera kesayangannya,” lelaki itu mengelap sudut mulutnya, melirik Christian agar anak sobatnya itu tidak salah paham atas perkataannya. “Kau tahu, Aiden—memotret gunung-gunung dan kepingan bunga salju seperti biasanya. Tapi karena sekarang musim panas, agaknya Claire ingin berkunjung ke La Terrasse dan mengabadikan foto pilar-pilar di sana yang masih kokoh.” Gavin mengedip ke barisan kanan, di mana Claire duduk dan Christian agaknya tak keberatan gadis itu menolaknya terang-terangan. Bagus, Ayahnya memang jenius nomor satu setelah Einstein—puas Claire dalam hatinya. Well, dan salah satu kegemaran Claire selain travelling memang fotografi, benar kata Gavin. Claire mencintai lensa kamera lebih dari apapun, maka jangan heran jika dalam tasnya selalu ada Leica S2-P kesayangannya. Dan menghabiskan sisa liburan musim panas di Swiss menjadi momentum terbaik sepanjang 2 minggu terakhir—oh, Claire sudah tidak sabar naik kereta gantung dan memulai petualangannya sendiri. “Tapi tidak sendiri, sweetheart—Mum tidak mengizinkan.” Mengapa Gabrielle jadi tiba-tiba menyebalkan? Bibir Claire mengerucut, “oh ayolah Mum! Ini bukan pertama kalinya aku berlibur di Swiss. Dan apa perlu aku ingatkan? Aku pernah pergi sendirian ke San Fransisco!” “Ya, dan alhasil tasmu dijambret orang.” Tekan Gabrielle. Claire meniup rambut-rambut halusnya dari atas dahi. “Errrhh—itu hanya kecelakaan kecil. Kenapa diungkit terus? Aku sudah dewasa, Mum! Dewasa!” Claire balas menekan, usianya sudah 21 tahun dan apakah Gabrielle masih harus mengatur-aturnya? Demi Tuhan, ini ‘kan hanya liburan, Claire tak sedang minta izin buat travelling ke hutan belantara. “Gabby, biarkan saja, apa kau tidak percaya pada puterimu sendiri?” “Kau selalu membebaskannya, dia itu anak perempuan.” sungut Gabrielle pada suaminya, sembari membawa piring dan mangkuk-mangkuk ke dalam villa. “Apa kau tidak takut sesuatu yang buruk terjadi padanya saat berjalan sendiri?” omelannya masih terdengar jelas. “Kau tahu anak itu selalu saja ceroboh, pelupa, tidak teratur, lama mengikat tali sepatu, dan masih banyak lagi hal-hal jelek yang bisa kusebutkan!” Claire dan Gavin saling lirik di atas meja makan, di luar villa milik Richie yang menyuguhkan latar alam luar biasa indah. “Takut apa sih, Dad? Dia selalu saja cemas berlebihan begitu.” Claire berbisik, dua sepupu lucunya berusaha mencuri dengar. Gavin angkat bahu. “Mungkin seperti ada yang bakal menjahilimu di jalan. Paranoid setelah tasmu diambil orang.” Ibunya tidak keren ketika mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu. Claire merengut, lalu memundurkan kursinya dan berdiri. “Uncle, I need your car today—“ gadis itu memeluk Richie, suaranya merajuk. “kau bilang akan meminjamkan satu mobilmu untuk kupakai ke mana saja.” Richie tertawa. “Baiklah, Uncle tidak mau ikut-ikutan membuat moodmu buruk, jadi pakailah yang manapun kau ingin,” pria tambun itu merogoh saku celananya, tak menemukan apa-apa. “Ah, astaga—aku mulai pikun seperti Gavin rupanya. Kunci mobil ada di ruang rekreasi, laci nomor dua, dan jangan pakai mobil yang—hei Claire!“ Richie geleng-geleng, gadis yang menggemaskannya itu sudah meluncur, hilang ditelan tembok villa untuk segera menemukan apa yang diinginkannya. Yah, semoga Claire cukup jeli membedakan mana mobil yang siap digunakan, dan mana mobil yang butuh perbaikan dari tukang. *** Yuhu! Mobil ini adalah hasil pertimbangannya matang-matang. Claire tak jadi pilih VW Beetle putih Richie karena kurang match dengan cuaca Swiss hari ini yang terang bagai orange juice. Alhasil, pilihan Claire jatuh pada Crossover Nissan Juke yang merah mentereng diterpa sinar mentari. Hari yang sempurna, Claire menyenderkan punggung sembari mendesah lega. Kacamata Franc Nobel bertengger di atas hidungnya yang bangir. Mobil itu menikung di kanan jalan, melewati papan petunjuk dan sebuah plang besar berisi peringatan bahwa di depan sana—akan ada tumpukan dinding karang yang musti dilalui pengemudi dengan hati-hati. Claire membacanya selintas, dan abai pada peringatan lanjutan yang menuliskan batas kecepatan maksimum yang diperbolehkan di wilayah ini. Gadis itu tancap gas dengan percaya diri. Ah, andai setiap hari di London bisa sesepi ini, Claire bakal betah menjelajah jalan seharian. “Tak ada Mum, Dad, tugas kuliah dan tentu saja—Christian Aiden yang baru pulang dari Amerika Serikat malam tadi.” Gadis itu tertawa mencemooh. Well, mungkin kedengaran tidak adil kau membenci orang tanpa alasan. Jadi biarkan Claire mendiktekan ketidaksukaannya pada pria itu satu persatu. Pertama, Claire tidak suka cowok arogan, sombong, dingin, berwajah tembok macam Christian Aiden yang irit omong, tapi sekali bicara membuat ia naik pitam. Oh yeah, ini terjadi beberapa tahun silam, saat Claire ingin mencoba vodka pertamanya dengan seorang cowok keren dalam kencan buta mereka. Tiba-tiba Christian datang dan mengacaukan semuanya, menyeretnya pulang dan marah-marah! Bilang ia gadis murahan dan gampang ditipu, bah! Jangan harap Claire bakal lupa kata-kata kasar itu selama ia masih bernapas. Kedua, Christian Aiden adalah pria paling b******k yang pernah ia temukan dalam hidupnya. Bukan hanya sekali dua kali Claire memergoki pria angkuh itu kencan dengan sederet wanita-wanita seksi. Claire bahkan menjadi saksi ciuman panas antara pria itu dengan seorang perempuan berambut pirang di dalam lift kantornya. Christian Aiden punya banyak penthouse dan berani taruhan, para kekasih gelapnya pasti sering diajak bercinta di sana. Tunggu. Apa sepanjang jalan yang ada di otaknya hanya Christian Aiden? Claire mengeryit, menggeleng dan matanya mendadak bersibobrok dengan belokan yang tak diduga-duga. Bayangan pria alpha itu lenyap, Claire siaga menginjak remnya tapi tak ada reaksi. What the fuckin’ situation? “Oh s**t! Ada apa dengan mobil merah sialan ini!” gadis itu menggebrak stir dan mobil meluncur semakin cepat—pemandangan di luar kaca menjadi tak beraturan. “oh God! No, no, no!” Claire panik, turunan semakin curam sementara di depan sana ada belokan ke kiri yang nampak mengerikan. Jika mobilnya tidak bisa berhenti, maka ia dengan tragis akan masuk ke jurang dan mati di sana tanpa ada yang tahu. “Oh please! Somebody help me!” Claire mencoba membuka kuncian kaca mobilnya namun tak berhasil. Sembari menginjak remnya kuat-kuat, ia menggedor badan mobil bagian dalam. Lebih baik mendadak terlempar daripada harus masuk jurang. Senyum mengejek Claire beberapa waktu lalu menguap. “Siapa saja yang ada di sini tolong aku!” Bego! Tak ada kendaraan yang akan melintas, jalan yang ditempuhnya jelas-jelas bukan jalanan umum. Claire pasrah, ia memegang stirnya erat-erat. Menghitung detik-detik dalam pejaman mata yang terasa lambat. “Oh Gavin! Gabrielle! Richie, Carolineku sayang dan kedua putera tampannya, maafkanlah aku! Aku tak bisa mengucapkan permintaan maaf ini secara langsung karena sebentar lagi—aku akan mati.” Sedu-sedannya dramatis. Tak sempat melihat ke spion luar yang menampilkan siluet Lamborghini Veneno Roadster berusaha menyalipnya di balik punggung Nissan Juke yang tak terkendali. Claire menahan napas, matanya berputar di dalam kegelapan. Dan benturan itu akhirnya terjadi. Tubuhnya berkali-kali menghantam kanan dan kiri badan mobil. Claire berusaha menyelamatkan kepalanya dari kemungkinan geger otak karena tubrukan. Tubrukan hebat! Hei, tubrukan? Tapi mobil Nissan Juke itu tidak mengalami jungkir balik. Tidak masuk jurang. Claire memberanikan diri membuka mata dan oh—ada mobil sport mendesaknya sampai terhimpit di antara batuan karang yang tinggi. Pengemudinya keluar dan Claire susah payah menelan ludah. Tabrakan, mobil dan jurang tersingkir dari kepalanya. Oh Tuhan itu—Christian Aiden. Claire merintih di hatinya. “Gadis bodoh! Apa kau sudah bosan hidup, hah?” Christian membuka pintu kemudi Nissan Jukenya sembarangan, kasar dan tak tahu adab. Lalu dicengkeramnya pergelangan tangan Claire, ditarik dan dipaksanya gadis itu keluar. Tak peduli meski raut Claire masih shock. Mata Christian menyala-nyala penuh amarah. “ceroboh! t***l! Dungu! Apa isi kepalamu sesempit itu sampai tak bisa merasakan mobil yang kau bawa mengalami kelonggaran rem?!” napas pria itu pendek-pendek, lensa matanya yang cokelat gelap seperti sinar laser yang mematikan. Kelopak mata Claire mengerjap, jantungnya terasa merosot ke dasar perut dan hancur lebur. Tubuhnya masih gemetar, sisa dari adrenalin hampir jatuh ke jurang yang tak teruraikan. “Kau benar-benar gadis tak punya perhitungan! Apa otakmu turun ke lutut dan tak bisa digunakan lagi?!” telapak tangan Christian berada di pinggulnya, menopangnya dan sesekali membuat remasan-remasan kecil yang mengganggu. “atau kau sengaja ingin menjatuhkan diri ke dalam jurang, huh?” “Aku—“ Claire menggigit bibir, memejamkan mata dan membukanya berulang lagi dan lagi. Sampai Claire sadar di mana posisinya berada. Nissin Juke merah di belakang punggungnya, menahan tubuhnya yang lemas, di hadapannya ada Christian Aiden dan di belakang punggung kokoh pria itu menjulang tembok putih yang tak tergoyahkan. Sementara Lamborghini Christian memblokade jalan keluar di antara mereka. Claire terjebak dalam tiga hal yang sama-sama keras. Tapi ia lebih gentar memandang mata Christian yang dipenuhi amarah. Karakternya yang tak bisa dibantah dan daya tarik seluas samudera itu menguar dari setiap sisi tubuhnya. Daya tarik—appeal yang menggoda saat jari-jari nakal pria itu menangkup bokongnya begitu terasa. Claire bergetar dalam rasa takut. “Kau bodoh, Claire Lore! Kau perempuan terbodoh yang pernah kukenal!” “Berhenti memaki-maki, aku hampir mati!” Claire tak paham mengapa ia terisak lugu di hadapan pria itu, menunjukkan air matanya yang berharga. “aku hampir mati terperosok ke dalam jurang dan kau masih bisa memarahiku seperti itu!” suara Claire meninggi tanpa alasan yang jelas, ia muak dihakimi saat otot-otot tubuhnya masih tegang. Memangnya siapa juga yang mau mati bunuh diri?! “lagipula siapa yang memintamu untuk menolongku? Tak ada yang memaksamu! Tidak ada! b******k, lebih baik kau pergi daripada buang-buang energi membentak-bentakku!” jiwa Claire kembali, gadis itu berusaha melepaskan diri dari kungkungan Christian. Sulit, kurungan pria itu seperti lilitan tali. “b******k, kau! Lepas—“ “Claire!” suara bariton itu membekukan, Christian menenangkan tubuh Claire yang masih mencoba memberontak, membisikkan kata-kata apa saja di telinga gadis itu yang sibuk menggeliat. “Look at me and listen, Claire, so listen—” “NO! LET ME GO!” Claire memukul-mukul bahu Christian, “kau hippo sialan! Apa dari dulu kerjaanmu hanya mau menyakiti hatiku saja? Apa dengan memaki-makiku di tempat umum berhasil membuatmu senang? IYA?!” “Claire,“ Christian mengunci wajah gadis itu dengan kedua tangan, menelusuri warna mata Claire yang hijau, polos dan tentu saja, menggairahkan. Mata yang mampu menyulut hormon seksualnya ke tingkat paling tinggi. Oh Tuhan, Claire yang marah dan acak-acakan seperti ini begitu menggoda. Christian tergoda untuk menelanjanginya atau paling tidak, mencium bibir lembutnya yang merah karena digigit-gigit kecil. “Aku tak mengerti,” gadis itu terisak. “kau tidak pernah tidak memusuhiku. Semua yang kulakukan salah di matamu. Aku bodoh, aku t***l, dan aku dungu. Sejak dulu kau selalu saja mengataiku seperti itu. Aku tahu aku masuk ke dalam tiga kategori yang kau sebutkan, tapi apa kau tak punya diksi lain untuk dikatakan kepadaku?” Christian membungkam, dia dengan sabar mendengarkan keluh kesah dan ketakutan Claire. Saat dirasanya tubuh Claire mulai merileks, Christian menempelkan kening mereka dan membuat gadis itu setengah tidur di atas Nissin Juke yang penyok. Tak dapat menahan diri lagi untuk tidak mencium leher Claire Lore yang terbuka. Mengecup dan menggigitnya gemas saat oxytocin mengatur segala kendali syaraf-syarafnya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.3K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

Dependencia

read
187.1K
bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.4K
bc

Love You My Secretary

read
242.9K
bc

A Secret Proposal

read
376.6K
bc

PLAYDATE

read
118.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook