Bab 1. Kukungan Sahabat
“Regan, anj*ng! Lepasin gue!” Laura berontak, memukuli d**a bidang pria di hadapannya dengan gemetar.
Namun genggaman Regantara justru makin menguat.
“Nggak akan,” suaranya parau, nyaris seperti desis tertahan. “Gue nggak bakal ngelepasin lo sampe lo batalin pertunangan lo sama si Bandot itu.”
Laura menggeleng keras, dengan mata berkaca-kaca. “Lo tahu secinta apa gue sama dia, Regan. Jadi jangan suruh gue ninggalin dia.”
“Cinta?” Regantara tertawa getir, tapi matanya menyala penuh amarah dan luka. “Dia nggak cinta sama lo, Ra. Dia cuma manfaatin lo. Nama lo, ketenaran lo, semua yang lo punya. Gue udah bilang dari awal, dia nggak tulus!”
Laura mencoba mendorong tubuh Regantara, tapi pria itu tetap kokoh seperti tembok. “Gue rela dimanfaatin, Regan. Karena gue cinta sama dia,” suaranya pecah, lirih tapi tegas.
Regantara menatapnya lama, tatapan yang menyimpan ribuan luka yang tak pernah sempat diucap. Rahangnya menegang, dadanya naik-turun menahan sesuatu yang nyaris meledak.
“Gue tahu,” katanya akhirnya, suaranya serak dan nyaris bergetar. “Gue tahu lo secinta itu sama dia… tapi gue juga tahu gimana rasanya nyaksiin orang yang lo cintai milih jalan buat nyakitin diri sendiri.”
Ia menunduk sedikit, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Laura.
Sementara Laura tampak bingung. Ia tak salah dengar kan? Apa maksud ucapan Regantara barusan?
Regantara mencintainya? Sungguh hal yang sangat mengejutkan bagi Laura.
“Maafin gue, Ra. Tapi kali ini… gue nggak akan diem aja.”
Dalam sekejap, jarak di antara mereka lenyap. Gerak Regantara cepat, tapi bukan sekadar karena nafsu—ada luka, ada putus asa, ada cinta yang selama ini dipendam terlalu dalam hingga akhirnya meledak jadi keputusan gila.
Laura membeku. Antara marah, kaget, dan tak berdaya. Ia ingin menolak, tapi detak jantungnya berlari tak karuan, membentur dinding d**a seperti ingin meledak keluar.
Regantara menahan kedua tangannya, tapi di balik kekasaran itu ada getar yang jelas—getar dari seseorang yang terlalu lama menahan diri.
Di kepalanya hanya satu pikiran berputar: kalau ini satu-satunya cara untuk menjauhkan Laura dari lelaki itu, maka biarlah semua kebencian jatuh padanya.
Asal bukan Laura yang terluka.
**
**
Tubuh Regantara terhuyung ke belakang, bibirnya pecah, namun ia sama sekali tak berniat menangkis.
Laura menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi, seolah setiap hantaman itu bisa menghapus rasa jijik dan hancur di dadanya.
“Setan lo! Gue benci sama lo, Regan!” suaranya serak, parau, tapi penuh bara.
Air mata bercampur keringat di pipinya, menandai betapa dalam lukanya.
Regantara tetap diam. Hanya senyum miring yang muncul di wajah lebamnya, senyum yang lebih mirip keputusasaan daripada kesombongan.
“Sekarang lo benci sama gue,” ucapnya pelan, suaranya serak dan parau, “tapi suatu saat, lo bakalan cinta mati sama gue.”
Laura menatapnya dengan tatapan tajam penuh kebencian. “Najis! Mulai sekarang lo bukan sahabat gue lagi!”
Regantara mengangguk pelan, senyum getir masih melekat di wajahnya. “Ya. Gue juga setuju. Karena kalau nanti lo… hamil, kita harus nikah.”
Suara itu membuat Laura membeku sesaat. Rahangnya menegang, tinjunya mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih.
“Lo pikir lo sehebat itu?” katanya dingin, menahan tangis dan amarah sekaligus. “Sekali lo ngelakuin itu, langsung jadi?”
Regantara menarik napas panjang, lalu perlahan bangkit dari lantai. “Gue anterin lo pulang,” ucapnya datar, tanpa nada.
“Nggak usah sok baik, Regan!” Laura menyambar tasnya dengan gerakan kasar.
Tangannya gemetar ketika meraih ponsel, mencoba menekan nama Aris di layar, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Regantara menatapnya. Senyum pahit terbit lagi di wajahnya yang penuh luka. “Lo yakin mau minta dia jemput? Lo pikir ... dia nggak bakal curiga lihat cara jalan lo sekarang?” katanya pelan, setengah berbisik. “Apa lo mau ngaku… soal yang barusan?”
Laura terdiam.
Napasnya tersendat.
Tatapan matanya kosong, kehilangan arah. Ponsel di tangannya perlahan ia turunkan.
“Gue juga nggak mungkin pulang sekarang,” ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. “Kalau bokap gue tahu… gue bisa mati.”
“Ya udah, nginep sini aja,” ujar Regantara.
Nadanya datar, seolah kejadian beberapa jam lalu tak meninggalkan jejak apa-apa di antara mereka.
Laura mendongak dengan mata merah dan rahang mengeras. “Mending gue tidur di jalan, Regan. Gue nggak sudi nginep di sini.”
Regantara hanya tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip luka daripada percaya diri. Ia tahu betul apa yang telah ia rusak malam itu.
Ia tahu risikonya: kehilangan Laura, satu-satunya orang yang dulu bisa membuatnya merasa hidup. Tapi semua itu sudah ia timbang… dengan hati yang sudah terlalu bengkok oleh cinta yang salah.
Laura menggigit bibir bawahnya, menahan amarah dan ketakutan yang sama-sama mencekik.
Ia ingin pergi, tapi langkahnya tak tahu arah.
Dunia yang tadinya sederhana kini terasa sesempit ruang di apartemen itu.
Dalam diam, ia mengutuk Regantara dalam hati, 'Gue doain lo sengsara seumur hidup. Lo udah ngerusak gue, Regan. Sahabat gila.'
“Lo istirahat aja di sini,” suara Regantara kembali terdengar, lebih tenang dari sebelumnya. “Gue ada pemotretan sampe lusa. Apartemen ini aman buat lo.”
Ia bangkit, melepas kaosnya, lalu melangkah menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.
Laura terdiam, menatap punggung lelaki itu lenyap di balik pintu. Untuk sesaat, hanya bunyi tetes air dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.
Pergi ke hotel? Tidak mungkin. Kalau ayahnya tahu, habislah dia. Pulang ke rumah? Sama saja bunuh diri.
Apartemen Regantara… ironisnya, tempat ini dulu selalu jadi pelarian mereka berdua.
Tempat di mana mereka belajar, bercanda, menonton film sambil berebut popcorn. Tempat yang dulu terasa aman, kini berubah jadi penjara sunyi penuh kenangan yang ingin ia hapus tapi tak bisa.
Regantara memang tinggal sendirian sejak diusir dari rumah karena menolak bekerja di perusahaan ayahnya. Ia lebih memilih hidup seadanya daripada tunduk pada kehendak keluarga.
Dan di masa lalu, Laura selalu bangga pada keteguhan itu. Kini semua yang dulu ia kagumi… berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.
Ia menatap sofa di sudut ruangan dengan napas berat. “Gue tidur di sana aja,” gumamnya pelan.
**
**
Keesokan harinya, pesta pertunangan itu berlangsung megah.
Lampu-lampu kristal berkilau lembut di langit-langit, menyelimuti ruangan dengan kehangatan semu. Semua orang tersenyum, seolah tak ada luka yang pernah ada.
Termasuk Laura.
Gaun pastel yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tapi di balik senyum manisnya, dadanya bergetar hebat. Ia terus meyakinkan diri, Aris tidak akan tahu apa pun. Semua akan baik-baik saja.
“Bang Aris ganteng banget malam ini,” bisiknya pelan sambil menyembunyikan senyum gugup.
Ia mengangkat ponsel diam-diam, memotret lelaki itu tanpa berani menatap langsung.
Seperti biasa, Aris tampil menawan dengan jas abu dan tatapan teduh yang selalu membuat jantung Laura berpacu tak karuan.
Di hadapannya, Laura bukan gadis keras kepala yang selalu bicara lantang—ia berubah jadi versi paling lembut dari dirinya sendiri, pemalu dan kikuk. Seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.
“Ra,” suara Aris memecah lamunannya.
Entah sejak kapan pria itu sudah duduk di sampingnya, jaraknya terlalu dekat hingga aroma parfumnya terasa menenangkan.
“Besok bisa bantu Abang?” Sedetik kemudian mengernyit. "Lagi chat sama siapa?"
“Hah?”
Laura sontak kaget, hampir menjatuhkan ponsel yang sedari tadi ia genggam.