Bab 3. Hamil

1204 Words
“Semakin lo nolak gue ... Lo malah semakin bikin gue naf_su, Ra.” Suara Regantara semakin dalam, seperti sedang menahan sesuatu. Laura merinding. Ingin rasanya dia menangis, tapi entah kenapa air matanya kering. “Regan, gue ....” Laura tidak jadi melanjutkan ucapannya karena merasakan sesuatu yang anjim sekali. Belut raksasa milik Regantara sengaja ditempelkan ke paha Laura. 'Matilah gue!' rutuk Laura saat nafas Regantara kian memburu. “Tidur, Ra. Jangan sampek gue masukin nih belut,” bisik Regantara, setengah mengancam. “Regan breng_sek!” umpat Laura saat pertama kali membuka mata. Bagaimana tidak? Laura bangun dalam kondisi tidak memakai apa-apa. Sudah pasti Regantara kembali memperk*sanya. Namun aneh, kenapa Laura tidak merasakan apa-apa? Laura memijit pelipisnya. “Kenapa gue nggak bangun? Entah gue capek, apa karena Regan pinter nyolong. Aaaaarrrkkkhh! Si*l! Gue harus cari pil KB. Gue nggak mau h*mil!” ** ** Dua bulan berlalu… Laura menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tangan yang gemetar masih menggenggam testpack bergaris dua. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Ia ingat betul—bulan lalu ia masih datang bulan, meski hanya dua hari. Logikanya menolak, tapi kenyataannya berteriak sebaliknya. “Kenapa bisa…?” bisiknya lirih, hampir tak bersuara. “Gue bahkan nggak pernah ketemu dia lagi sejak malam itu…” Langkahnya terhuyung ketika keluar dari kamar mandi. Dunia seolah berputar pelan, menyisakan suara hatinya yang riuh. “Kalau terus begini, gue bisa gila…” gumamnya serak. “Gue harus cari klinik. Gue harus—” Belum sempat langkahnya menapak ke arah lemari, suara denting jendela terbuka memecah sunyi. Angin malam menerobos masuk, membawa aroma hujan dan... sosok yang paling ingin ia hindari. Regantara berdiri di sana—seperti bayangan masa lalu yang tak mau pergi. Mata mereka bertemu. Tegang. Dingin. Penuh dendam yang belum sempat dibalas. Laura mengepalkan tangan. “Pas banget. Gue lagi butuh samsak buat mukul!” Sudut bibir Regantara terangkat sinis. “Percuma, Ra. Lo udah hamil anak gue.” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan. Dada Laura bergetar, napasnya tercekat. “Setan…” “Jadi lo beneran hamil?” suara Regantara tiba-tiba melembut, tapi matanya berkilat—antara takjub dan marah. Laura mundur selangkah. Ia baru sadar… testpack itu masih di meja rias. Jika Regantara melihatnya—habislah. “Gue nggak tau lo ngomong apa,” ucapnya tergesa, suaranya bergetar namun berusaha tegar. Regantara melangkah pelan, matanya tak lepas dari wajah Laura. “Lo nggak bisa kabur dari gue lagi, Ra. Kali ini… nggak bisa.” Langkah mereka berhenti bersamaan ketika suara dari luar kamar terdengar. “Ra, kamu nggak makan?” Suara lembut sang Mami memecah ketegangan, membuat jantung Laura hampir meloncat keluar. 'Sial. Gue lupa ngunci pintu.' Laura mengumpat di dalam hati. Laura menahan napas, menatap Regantara dengan panik—sementara laki-laki itu hanya tersenyum tipis, seolah menikmati kekacauan yang baru saja ia ciptakan. “Mampuslah gue…” desis Laura dengan wajah pucat pasi. Jantungnya berdentum tak karuan, seakan siap meledak kapan saja. Pandangannya beralih cepat ke nakas. Testpack itu masih di sana—tergeletak terang-terangan, menjadi saksi bisu kebodohannya. “Kenapa tadi nggak langsung gue buang aja, sih?” bisiknya panik, tangan bergetar menahan cemas. Suara langkah pelan tapi mantap terdengar mendekat. Namun Regantara melangkah santai, seolah sedang menikmati pertunjukan. “Kalau Tante Wina tahu gue ada di kamar lo…” ujarnya ringan, dengan nada yang memancing. “Kira-kira gimana ya reaksinya?” Mata Laura memercik amarah. Giginya beradu, menahan luapan emosi yang hampir meledak. “Kalau sampai itu terjadi,” suaranya rendah, nyaris bergetar karena amarah dan ketakutan yang bercampur, “gue bakalan bun*h anak lo.” Langkah Regantara sontak terhenti. Tatapan yang tadi penuh tantangan kini berubah tegang. Ada kilatan takut di sana—bukan untuk dirinya, tapi untuk sesuatu yang kini tumbuh di rahim Laura. Suaranya menurun, lebih lembut, nyaris menyerah. “Oke. Gue pergi. Tapi jaga baik-baik anak kita.” Belum sempat Laura membalas, suara dari luar kamar kembali menggema. “Ra! Laura!” Tubuh Laura kaku seketika. Langkah kaki yang mendekat terdengar semakin jelas. Ia menatap Regantara dengan panik—mata mereka bertemu sesaat, saling mengirim sinyal dalam diam. Cepat! Sembunyi! Regantara mengangguk kecil, lalu melangkah ke sisi lemari besar, lenyap di balik tirai panjang sebelum pintu terbuka. “Ra… kamu ngapain?” suara lembut namun curiga itu mengalun dari ambang pintu. Laura berbalik cepat, hampir tersandung. “Hah? Aku… em…” Ekor matanya sempat melirik ke arah tirai—sunyi. Aman. “Lagi milih baju, Mi,” ujarnya tergesa, memaksakan senyum. Nyonya Wina menatapnya dengan alis sedikit berkerut, sementara di balik tirai, napas Regantara tertahan. Hening sesaat terasa seperti seabad. Nyonya Wina melangkah semakin dekat, membawa aroma lembut parfum mawar yang biasa ia pakai setiap pagi. “Kalau nggak ada yang cocok, shopping aja yuk,” ujarnya dengan nada ceria. “Mami sekalian mau beliin kado buat Papi.” Laura tersenyum kaku, wajahnya sedikit tegang. “Ide bagus kayaknya, Mi,” balasnya cepat, mencoba menutup kepanikan yang masih bergelayut di d**a. Tanpa memberi kesempatan untuk melihat sekeliling, Laura segera menggandeng tangan sang mami dan menariknya keluar kamar. Setiap langkah terasa seperti pelarian menuju keselamatan. Begitu pintu tertutup rapat, ia baru berani bernapas lega. Namun di balik keheningan itu, seseorang justru muncul dari bayangan. Regantara. Ia melangkah keluar perlahan dari balik tirai, gerakannya tenang tapi tajam, seperti predator yang tahu mangsanya baru saja lolos dari jebakan. Pandangannya menyapu ruangan, berhenti pada meja kecil di sisi ranjang. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum setengah sinis, setengah puas. “Ternyata… dia beneran hamil,” gumamnya pelan, suara rendahnya seolah bergema di antara dinding kamar. Jemarinya terulur, mengambil benda pipih itu dengan hati-hati seolah menyentuh sesuatu yang berharga sekaligus berbahaya. Garis dua yang tertera di sana menjadi bukti nyata—dan senyum di wajah Regantara berubah lembut, nyaris tak terdefinisi. Ia menyelipkan testpack itu ke dalam saku jaketnya, lalu melangkah ke arah jendela. Sebelum melompat keluar, ia menoleh sejenak ke arah pintu kamar yang baru saja ditutup. “Lo bisa ngelakuin apa aja buat ngindarin gue, Ra,” bisiknya lirih, “tapi kita udah terikat lebih dari sekadar sahabat.” ** ** Laura duduk di kursi kafe kecil di dalam mal, jemarinya gelisah menari di atas layar ponsel. Ia sudah menatap layar entah berapa kali, tapi balasan dari Regantara tak kunjung datang. Pikiran berkecamuk di kepalanya. Antara marah, takut, dan... bergantung. Ironis—karena dari semua orang di dunia, hanya pria menyebalkan itu yang bisa ia andalkan saat ini. Tadi, dalam keputusasaan, ia mengirim pesan singkat. [Buang testpack di atas nakas. Sekarang juga.] Ia tahu risikonya besar. Tapi lebih baik Regantara yang tahu, daripada Bibik yang tanpa sengaja masuk kamar dan melihatnya. Sekali saja benda itu ditemukan, tamat sudah hidupnya. “Ra,” suara Nyonya Wina memecah lamunannya. Laura buru-buru menatap. “Maminya Aris barusan nelpon,” lanjut sang mami sambil membereskan beberapa kantong belanjaan ke tangan sopir. “Katanya Aris mau ngajak kamu jalan. Jadi Mami suruh dia jemput kamu ke sini aja, biar sekalian.” “Hah?!” Laura sontak menegakkan tubuh, hampir menjatuhkan ponselnya. “Kenapa nggak disuruh nunggu di rumah aja, Mi? Lagian tumben banget dia ngajak jalan.” Nada suaranya berusaha terdengar santai, tapi getarannya tak bisa disembunyikan. Ia belum siap bertemu dengan tunangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD