2. RENCANA PERNIKAHAN

1003 Words
Barra tertegun mendengar penuturan barusan dari Afifah. Itu artinya Afifah hamil anaknya. Barra semakin merasa bersalah. Ia menahan rasa sakit didadanya. Ia terus menatap wajah Afifah yang tampak terluka karena perbuatannya dimasalalu. "Lalu?? Dimana anak itu." Tanya Barra penasaran dengan sosok anaknya. "Anak.." Afifah tersenyum miring pada pria ini. "Ya.. bukankah kamu bilang hamil. Tentunya anak itu sudah besar." Ujar Barra semakin perasaan dengan kehidupan Afifah setelah pemerkosaan. Afifah terkekeh pelan. "Ya.. aku memang hamil tapi ketika empat bulan aku gugurkan." Terbelalakan mata Barra. "Gugurkan, sama saja kau membunuh anak itu." "Ayahku yang memaksa. Aku telah membuat keluarga malu." Timpal Afifah. Barra ingin meraih tangan Afifah. Namun dengan cepat Afifah mengetahui niatnya. "Jangan mencoba menyentuhku." Terdengar suara dingin Afifah. "Kak, Mas Barra, dipanggil Ayah." Azizah menghampiri kedua orang tersebut. Kedua orang itu pun bangkit, mereka berjalan beriringan sedangkan Azizah sudah terlebih dahulu pergi. "Lebih baik kau pikirkan lagi untuk menikah dengan seorang yang tidak suci. Aku akan hanya tak ingin kau menyesal nantinya." Lirih Afifah sambil berjalan menuju ruang tamunya yang sudah terlihat mereka terbahak bahagia. "Sudah mengobrolnya." Ucap riang Riana. "Bagaimana Barra kamu suka dengan Afifah." Tanya Nita berharap Barra mau menerima putrinya. "Siapkan pernikahannya." Tutur Barra. Afifah tentu terkesiap mendengar penuturan Barra barusan. Wanita itu tak percaya jika Barra bisa menerimanya, padahal dia telah mengatakan masalalunya. "Wah.. Barra, ini berita baik." Sorak riang Dirga menepuk pundak putranya pelan. "Aduh.. Bunda tak sabar mempersiapkan Hari pernikahan kalian." "Bagaimana seminggu lagi." "Terlalu cepat." "Sebulan lagi, sepertinya cukup untuk mempersiapkan semuanya." Itulah antusias mereka mendapat kebahagiaan dari Barra. Sedang Afifah menatap Barra, ia memandang pria itu seksama. Ada suatu beda dari tatapan Barra. Entahlah fifah tak tahu. Barra menatap fifah dengan rasa bersalah dihatinya. Pria itu benar-benar menyesal. Kesalahan terbesar dalam hidupnya. *** Setelah rencana Pernikahan mereka ditentukan yang hanya sebulan lagi, Afifah dan Barra belum pernah bertemu lagi, bahkan kedua masih bersibuk hal masing-masing. Barra masih disibukkan dengan pekerjaannya sedangkan Afifah sibuk dipengadilan membela kliennya. Huft.. Lelah setiap hari itu yang dirasakan Afifah. Entah bagaimana caranya ia tanpa sengaja bertemu calon suaminya. BRUK.. Afifah tanpa sengaja menabrak seorang pria gagah dan berperawakan begitu tampan. "Maaf.. Maaf.. Maaf.." Ucap Afifah tak enak pada pria tersebut. Barra sedang berbicara pada seorang, ia menoleh ketika mendengar suara berayun lembut memohon maaf padanya. "Afifah." "Barra." Afifah terlihat canggung bertemu Barra tanpa sengaja. Wanita itu meremas-remas kedua tanbanya karena grogi. "Afifah, kamu kok bisa disini." Ujar Barra dengan suara lembut. "Kamu lupa aku pengacara, sudah harusnya aku disini." Jawab kikuk fifah. "Oh.." Desah Barra. "Dan kamu." "Perusahaanku kemarin dilanda masalah, tapi sudah selesai. Aku kemari hanya mengambil berkasnya." Terang Barra tersenyum pada Afifah. "Sudah waktunya makan siang, mau makan bareng." Tawar Barra. Afifah seolah berpikir. Ia ambigu menatap Bara. "Tidak mau ya." Ucap Bara sekali lagi. Afifah pun mengangguk malu-malu. Mereka pergi bersama kesebuah restoran di Brunei. Hanya keheningan yang terjadi dalam perjalanan mereka. Sesekali Barra melirik Afifah yang sibuk membaca novelnya. Kagum.. Barra begitu kagum pada Afifah. Bagaimana tidak, begitu banyak ia menorehkan luka.dihati Afifah tapi wanita Itu tetap.tegar menghadapi masalalunya. Tidak ada penyesalan untuknya menerima pernikahan ini. Jika saja, ia tahu takdir membawa Afifah padanya mungkin ketika Itu Barra tidak akan melakukan hal bodoh itu. Tak lama kemudian mereka sampai ditempat makan yang tak terlalu jauh. Kini mereka berdua telah duduk manis saling berhadapan. "Afifah." Panggil Barra mencairkan suasan yang hening itu. Afifah memandang Barra, tatapan yang berbeda membuat Afifah sedikit grogi pada pria tersebut. "Ya." Sahut Afifah. "Aku boleh bertanya." Lirih Barra setelah menyesap minumnya. "Tentu." Singkat Afifah. "Apa kamu masih terluka dengan masalalumu." Tanya Barra berani. Afifah menghembus nafas panjang. "Aku tidak tahu." Jujur Afifah. Ya.. benar, ia tidak tahu lukanya telah sembuh atau masih begitu dalam. Selama kejadian Itu Afifah tidak pernah berusaha untuk dekat pada pria mana pun atau membiarkan pria mana pun masuk dalam kehidupannya. Satu-satu pria yang pernah memasuki kehidupannya telah meninggalkan dirinya, ketika mengetahui wanita itu telah diperkosa. Tragis buka..!! Tapi Itu lah kenyataan pahit yang didapat Afifah. Ya.. sudahlah toh Afifah pun sedang berusaha mengubur segalanya. "Sekarang ceritakan tentangmu." Barra terdiam, pikirannya melayang seperti asap rokok yang terbang entah kemana. 'Pria Itu sungguh dilema, Apa yang harus diceritakannya, haruskah dia menceritakan jika dia lah pemerkosa Itu. Seorang pria yang pengecut tak berani menampakan wajahnya' Seperti itulah kira-kira pemikiran Barra saat ini. Matanya kembali melirik wajah teduh Afifah. Mengingat bagaimana peristiwa yang membuat dirinya nekad memperkosa wanita Itu. Saat Itu, Afifah masih bersekolah menengah keatas. Kebetulan sekali kampusnya tak jauh dari sekolah Afifah yang masih beranjak gadis. Sore Itu, turun hujan deras. Barra melihat dari kejauhan dihalte sosok Afifah yang menunggu jemputannya. Gadis yang membuatnya jatuh cinta pertama kali. Gadis cantik dengan rambut ikal hitam pekat. Semenjak hari Itu Barra selalu mencuri pandangannya pada Afifah dari kejauhan, ia tak berani mendekati Afifah. Apalagi ia sering melihat Afifah dengan seorang pria yang selalu menemaninya. Sekali pun Barra tak berani untuk sekedar menyapa, Hampir dua tahun ia selalu melakukan hal yang sama, tidak ada kemajuan dirinya mendekati Afifah. Sampai Akhirnya ia mendapat berita jika Papanya Dirga harus mengelola perusahaannya di Brunei. Ia berusaha bertahan namun kedua orang tuanya bersih keras untuk dia ikut bersama mereka. Dengan terpaksa Barra mengikuti kemauan orang tuanya. "Barra." Panggil Afifah membuyarkan lamunan Barra. "Eh.. Maaf." "Sepertinya ada suatu yang menyakitkan dimasalalumu." Celetuk Afifah memandang wajah Barra terlihat tegang. "Ada apa, Barra." "Tidak, Lupakan." Putus Barra lalu menyesap cepat minumannya hingga tandas. "Barra, kau belum menjawab pertanyaanku." "Tentang." "Masalalumu." Seru Afifah dengan suara lembutnya. Afifah seperti menunggu jawaban Barra seraya kedua tangannya terletak didagunya. Barra menghembus nafas pelan. "Aa--aaku." Tergagap Barra. "Aku pernah mencintai wanita tapi aku tidak berani mengungkapkannya, hanya melihatnya dari kejauhan." "Kenapa." "Dia sudah memiliki pria lain." "Hah?!? Dan kau menyerah." Kata Afifah. Barra mengangguk tegas..'Aku tidak menyerah, aku justru memperkosanya.' Gumam Barra dalam hati. "Kurasa itu yang membuat wajahmu frustasi." Komentar Afifah. "Mungkin." Singkat Barra. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu, mereka.memutuskan kembali. Barra mengantar Afifah ke tempatnya bekerja lalu kembali ke kantornya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD