1. Produsen Vitamin C

2538 Words
Ry berdiri ragu di depan pintu bertuliskan Kusmanto Kusumadiyono - Ketua Program Studi Desain Interior. Selama enam tahun menjadi mahasiswa di Universitas Pelita Persada, belum pernah satu kali juga Ry menginjakkan kakinya di area pejabat struktural. Hanya ada dua alasan yang membuat seorang mahasiswa bisa mendapat panggilan khusus seperti ini. Kalau bukan berprestasi ya bermasalah. Namun, Ry jelas bukan termasuk keduanya. Ketika Ina dari bagian sekretariat menghubungi untuk menyampaikan perihal pemanggilan ini, Ry sampai mengonfirmasi berkali-kali untuk memastikan kalau tidak ada kesalahan nama. Tadi pun, sebelum masuk ke area pejabat struktural, Ry masih memastikan sekali lagi hingga membuat Ina jengkel. Perlahan, diketuknya pintu ruang Kusmanto lalu melongok ke dalam. Di sana, duduklah pria berwajah mirip pelawak kondang Indonesia, Haji b***t yang legendaris.  "Selamat siang, Pak Kusmanto!" sapa Ry ragu. Kusmanto mengernyit melihat Ry, membuat wajahnya semakin mirip saja dengan Haji b***t. "Ivory Kirania?" "Iya, Pak." Senyum Kusmanto terbit. "Masuk, Kiran." Bukannya melangkah masuk, Ry malah melongo bodoh. "Kiran?" gumamnya. "Bukan itu panggilannya?” tanya Kusmanto ketika menyadari kebingungan Ry. Kusmanto kembali mengernyit untuk berpikir. "Oh, Nia mungkin? Ayo, masuk!" "Bukan juga, Pak," jawab Ry sambil melangkah menghampiri meja Kusmanto. "Pasti Kirania!" terka Kusmanto bangga. Ia mengangguk-angguk paham. "Harus lengkap ternyata." Ry menggaruk kepalanya sambil meringis. "Kepanjangan, Pak." Kusmanto mulai kehabisan ide. "Lalu? Ivory?" "Masih bukan juga." "Lantas?" Kusmanto menyerah. "Ry aja, Pak," jawab Ry penuh percaya diri. Haji b***t mengernyit bingung. "Ri?"  "Iya, Pak. Ry," ralat Ry sambil mengucapkan namanya dengan tepat. Pasti paham bedanya 'ri' dengan 'rii', bukan? Kusmanto mendengkus heran. "Nama cantik-cantik kok, malah disingkat sependek itu? Tidak ada kesan manis-manisnya juga." Dikomentari demikian oleh Kusmanto, Ry hanya cengengesan. Sudah biasa ia mendengarnya. Bukan hanya soal nama, soal wajah pun sering disinggung. Nama lengkap Ry yang terkesan cantik dan manis itu sama sekali tidak sesuai dengan wajah dan pembawaannya. Ry ini selengean, tomboi, dan cuek. Di keluarga saja ia selalu dibandingkan dengan Ivana Larasati, sang kakak yang begitu santun dan ayu, sempurna dalam penampilan pun akhlak. Maka jika ada komentar semacam ini, dengan santai Ry akan menanggapi. "Supaya sesuai sama wajah saya yang memang nggak manis, Pak. Singkat juga biar yang panggil saya nggak keburu capek, belum bicara sudah kepanjangan sebut nama." "Oke!" Kusmanto bergegas mengangkat tangan untuk mengakhiri pembicaraan yang dirasa tidak penting ini. "Cukup dengan masalah panggilan nama, mari kita bahas alasan pemanggilan kamu. Oke, Ry?" "Oke, Pak Kus." Ry mengangguk setuju. Kusmanto mengernyit tidak suka. "Cukup nama kamu yang disunat, nama saya tidak perlu." "Maaf, Pak." Refleks Ry menampar mulutnya yang sudah keceplosan. Cepat-cepat Ry menambahkan. "Jadi, kalau boleh tahu, kenapa saya dipanggil ya, Pak?" "Ada dua hal yang perlu saya sampaikan." Kusmanto meraih berkas yang sudah ia persiapkan khusus untuk pertemuan ini. Disodorkannya selembar kertas ke hadapan Ry. "Pertama, pengajuan cuti kamu ditolak." "Yah …, kenapa ditolak, Pak?" protes Ry ketika melihat cap merah di kertas pengajuan cutinya. "Sudah kebanyakan!" sahut Kusmanto galak. "Baru dua kali, Pak," bisik Ry. "Kalau makan, tambah dua kali itu sudah rakus," sindir Kusmanto. "Saya biasa tiga kali, Pak," sahut Ry sambil tersenyum lebar. Seketika Haji b***t kembali beraksi. Matanya melotot galak, memberi efek seram-seram imut. "Ry, kamu itu sudah jadi mahasiswa di sini selama 6 tahun. Apa kamu tidak mau cepat lulus?" "Saya nggak mau buru-buru, Pak. Biar mengalir sesuai waktunya aja," sahut Ry berlagak bijak. "Kalau sesuai waktunya, kamu itu sudah lulus dari dua tahun yang lalu, Ry!" Suara Kusmanto seketika meninggi. Emosi mendengar jawaban Ry yang tidak tahu diri, tanpa sadar gerutuan berlogat medok meluncur cepat. "Tepat waktu kok ya sampai enam tahun ndak lulus-lulus juga toh! Ndak malu sama adik tingkat opo sampean iki?" "Maaf diralat, Pak!" ujar Ry panik. Takut melihat wajah Haji b***t yang merah padam. "Maksudnya biar mengalir sesuai kemampuan otak saya aja, Pak." Untunglah Kusmanto segera menguasai diri dan kembali pada sikap normalnya. "Justru saya tolak cuti kamu karena mempertimbangkan kemampuan otak kamu." "Maksudnya gimana ya, Pak?" "Mari kita lihat rekam jejak kamu semester demi semester di sini." Ada kilat jahat dan seringai licik di wajah Haji b***t ketika mengatakannya. "Wah! Ada yang kayak begini ya, Pak?" Ry terpana melihat catatan perjalanannya sejak tahun pertama berkuliah di sini. Mata kuliah apa saja yang ia ambil tiap semester beserta nilainya, mata kuliah apa saja yang diulang serta waktunya, kegiatan apa saja yang pernah ia ikuti, waktu cuti, dan lain sebagainya. "Khusus untuk mahasiswa spesial," sindir Haji b***t.  Disindir demikian, Ry tetap santai. "Kita lihat!" Kusmanto menunjuk lembar pertama lalu mulai menjelaskan. "Semester 1 dan 2 bisa kamu lalui dengan lancar. Masuk Semester 3 dan 4, kamu mulai kewalahan. Ada beberapa mata kuliah yang harus mengulang, tapi untungnya Mayor Desain Interior 1 dan 2 masih lolos meski nilainya hanya pas-pasan." Mayor Desain Interior adalah mata kuliah utama di program studi ini. Nilai-nilai lain bisa sedikit diabaikan oleh Kusmanto, tetapi yang ini tidak. Lulus MDI adalah harga mati bagi mahasiswa desain interior. Ry hanya angguk-angguk saja mendengarkan ceramah Haji b***t sambil mengagumi prestasi yang ia cetak. Jika saja nilai-nilainya bisa dikonversi jadi vitamin, pastilah akan sangat berguna. Ry tidak perlu lagi mengonsumsi buah jeruk, Enderson C, Vitashort C, Vitamimin, SenSi, YouCanSeeMe1000, atau suplemen-suplemen sejenis lainnya, karena ia sudah kelebihan vitamin C. "Nah! Masuk Semester 5, ini mulai tanda bahaya!" ujar Kusmanto dengan nada mengejutkan. "MDI 3 kamu gagal. Semester 6 kamu harus mengulang MDI 3. Semester 7 kamu cuti, padahal itu waktunya ambil persiapan Tugas Akhir." Oh! Tidak perlulah mengingatkan Ry betapa ia jauh tertinggal dari teman-teman seangkatannya. Tak peduli reaksi Ry, Haji b***t terus beraksi. "Semester 8 kamu baru ambil MDI 4 dan gagal lagi saat teman-temanmu yang lain sudah ambil Tugas Akhir. Semester 9 kamu mengulang MDI 4, untungnya lewat. Semester 10 ambil MDI 5 dan ...." Sadar bahwa Kusmanto sedang menunggunya melanjutkan kalimat itu, Ry menyahut lesu. "Gagal." "Tepat!" sambut Kusmanto telak. "Lalu Semester 11 bukannya mengulang kamu malah cuti." Ry ingat sekali keputusan nekatnya untuk cuti ketika itu. Ia sudah stres tingkat maksimal sampai takut jadi gilà jika terus memaksakan diri. "Nah, semester depan, bukannya mengulang MDI 5 yang gagal, kamu malah berniat lanjut cuti!" Kini Kusmanto benar-benar terdengar kesal. "Habis saya mumet, Pak." "Saya tidak akan loloskan permintaan cuti kamu," tolak Kusmanto mentah-mentah. "Semester 12 kamu harus ambil MDI 5 dan Studi Mandiri. Keduanya jadi prasyarat untuk bisa lanjut Tugas Akhir. Sekalian bereskan lima mata kuliah lain yang masih harus kamu ulang." "Masa harus semua saya beresin di semester depan, Pak?" tanya Ry lemas.  "Ya, supaya kamu bisa ambil Tugas Akhir di Semester 13." "Saya TA di Semester 14 aja ya, Pak," tawar Ry. "Tidak bisa! Kamu tahu kan batas akhir kuliah di sini itu 7 tahun." "Iya saya tahu, Pak. Makanya saya minta ambil TA di Semester 14 aja. Biar pas." "TIDAK BISA!" sahut Kusmanto geram. "Harus di Semester 13! Jadi kalau kamu gagal, bisa mengulang di Semester 14." "Yah, Bapak. Kok, doanya jahat begitu?" "Bukan jahat, tapi realistis. Track record kamu sendiri yang menyatakan demikian."  Memang MDI 3-5 masing-masing punya saudara kembar karena selalu Ry ulang. Itu pun hasilnya hanya vitamin C.  "Pak, tapi saya nggak sanggup kalau ambil banyak begini di semester depan," desah Ry mau menangis. "Kamu bisa cicil mata kuliah pendampingnya di Semester Pendek." "Yah, Pak! Kapan saya liburnya?" protes Ry spontan.  Haji b***t mendelik kesal. "Kamu sudah cuti satu semester, Ivory." "Pak …," bujuk Ry penuh harap. "Apa nggak ada pilihan lain?" "Pilihan kamu hanya dua." "Apa, Pak?" "Pertama, bereskan semua sesuai saran saya." Kusmanto menatap tajam sebelum lanjut bicara. "Kedua, lakukan sesukamu dan saya yakin kamu tidak akan lulus setelah masa tujuh tahunmu habis." Ry baru sadar akan kemungkinan itu. Susah payah ia meneguk liurnya lalu bertanya ngeri. "Kalau sudah tujuh tahun dan saya belum lulus?" Kusmanto membuka kedua tangan di hadapan Ry. "Pilih drop out atau pemutihan." "Drop out berarti gagal dong, Pak?"  "Jelas!" "Kalau pemutihan?" "Silakan mengulang lagi semuanya dari Semester 1." "HAH?!" Ry menjerit tertahan. Mengulang semua lagi dari awal. Mengulang masa tujuh tahun penuh siksaan ini lagi? Yang benar saja! "Kejam amat, Pak!" "Jangan protes, Ry! Saya sudah beri solusi, kamu tinggal ikuti." "Pak, saya nggak sanggup." Ry menggeleng pasrah.  "Harus sanggup! Semua mahasiswa di program studi ini berhasil lulus, jadi kamu juga pasti bisa. Hanya butuh kemauan!" "Pak …." Ry masih coba membujuk Kusmanto. Tidak tanggung-tanggung, Kusmanto langsung menyodorkan lembar pengajuan Kartu Rencana Studi ke hadapan Ry. "Sekarang tanda tangani! Saya sendiri yang akan mengisi mata kuliahnya dan langsung saya proses." Pada akhirnya, tidak ada hal lain yang dapat Ry lakukan untuk meloloskan diri dari jerat Haji b***t. Ry sadar ia tidak akan bisa keluar dari ruangan ini sebelum membubuhkan tanda tangan di atas lembar pengajuan KRS. Setelah dibuat tak berdaya, Ry diizinkan meninggalkan ruangan Kusmanto.  Ry berjalan lunglai meninggalkan area pejabat struktural tanpa menyadari bahwa ada dua pasang mata yang tengah mengamatinya sedemikian rupa. Alsaki yang tengah berdiri santai dengan bersandar pada dinding ruangan Kusmanto mengangguk-angguk kecil. "Jadi dia orangnya." Girish yang berdiri berseberangan dengan Alsaki sambil bersedekap bergumam kaku, "pantas wajahnya tidak asing, terlalu lama di sini dan tidak lulus-lulus." "Lo pernah kebagian dia?" tanya Alsaki geli. "Pernah, waktu dia ambil MDI 1." "Lewat?" Alsaki penasaran. Apakah gadis bernama Ivory Kirania itu berhasil mencoreng rekor Girish Ismaya yang terkenal tidak pernah gagal menggiring mahasiswa di kelasnya untuk lulus dengan nilai minimal B. Girish memutar bola matanya. "Lewat meski nyaris gagal." Alsaki tergelak. Teringat sendiri pengalamannya bersama Ry. "Sama kalau gitu. Dia MDI 2 sama gue, dan nyaris juga." Obrolan mereka terhenti ketika pintu ruangan Kusmanto terbuka dan sosoknya muncul menyambut mereka. "Ayo, masuk masuk! Saya sudah selesai memanggil Ivory Kirania." Alsaki dan Girish masuk ke ruangan Kusmanto lalu duduk bersama, siap mendengarkan perintah dari kaprodi mereka. "Sudah lihat yang mana anaknya?" tanya Kusmanto pada keduanya. Alsaki hanya mengangguk, sementara Girish yang bersuara. "Sudah, Pak." "Nah, saya minta bantuan kalian dengan sangat untuk bantu dia melewati semester depan dengan mulus," pinta Kusmanto. "Kenapa kami, Pak?" tanya Alsaki penasaran. Kusmanto memang sudah pernah memanggil mereka berdua terkait tugas khusus ini. Misi penting katanya. Namun, Kusmanto belum menjelaskan alasannya secara rinci. "Karena hanya kalian yang bisa buat dia melewati MDI tanpa mengulang," jawab Kusmanto lelah. Alsaki mendelik tidak percaya sementara Girish menyatukan kedua alisnya.  "Yang lain hasil mengulang semua, Pak?" tanya Alsaki menahan tawa. "Benar." Kusmanto mengangguk dengan wajah sebal. "Nasib kita dipertaruhkan. Kalau dia gagal setelah tujuh tahun, akan jadi catatan buruk buat program studi kita."  Kembali Alsaki dan Girish bertukar pandang. "Jadi, bisa saya mengandalkan kalian?" pinta Kusmanto penuh desakan. Girish yang akhirnya mengangguk lebih dulu. "Akan kami coba, Pak." Seketika wajah Kusmanto sumringah. Cerah ceria bercahaya membayangkan akan segera meluluskan Ivory Kirania sang Mahasiswi Bangkotan. "Baiklah, saya percayakan Ivory Kirania pada kalian." Begitu pembicaraan selesai dan mereka meninggalkan area pejabat struktural, Alsaki langsung bertanya pada Girish. Nadanya terdengar sedikit sangsi. "Lo yakin bisa sukses menjalankan misi dari Pak Kus?" Girish menoleh tenang, senyum samar tercetak di wajahnya. "Harus berhasil. Anak itu kelihatannya hanya kurang motivasi." "Kurang terawat juga," celetuk Alsaki. Teringat bagaimana rupa Ry ketika meninggalkan ruangan Kusmanto tadi.  Di antara deretan mahasiswi interior yang terkenal berkilau, Ry terlihat butek. Postur tubuhnya standar, tidak tinggi, tidak juga pendek, tidak kurus, tidak juga gempal. Pas-pas saja. Rambut hitam sebahunya terlihat tidak terawat baik. Tidak berkilau lurus panjang, tidak bergelombang cantik. Hanya diikat satu dengan asal ke belakang. Seleranya berpakaian? Sekali lihat saja Alsaki sudah bisa menilai. Buruk! Hoodie kebesaran berwarna gelap dipadu jin hitam yang sudah pudar, ditemani sepatu basket yang menjelang usang, serta tas serut hadiah berlogo salah satu produk pembalut terkenal yang sama sekali jauh dari kata fashionable. "Itu bukan urusan kita," sahut Girish tidak peduli. Ia paling tidak suka menilai penampilan orang lain, meski sebenarnya Girish suka dengan kerapian. "Tugas kita hanya memastikan dia bisa ambil TA semester berikutnya." *** “Bengong, aja!” Vio menggebrak meja hingga Ry terlonjak. “Eh? Kenapa, kenapa?" ujar Ry gelagapan. Seharian ini otaknya memang seolah tidak di tempat. Melayang-layang kian kemari sebelum kembali berakhir pada percakapannya dengan Kusmanto. Cuti ditolak. Mata kuliah prasyarat TA. Semester Pendek. Drop out. Pemutihan. Lulus. Itu-itu saja kata yang terus menari-menari di kepala Ry. "Ditanya dari tadi bukannya jawab," ujar Mia. "Sori sori, Mbak. Tanya apa ya?" tanya Ry linglung. Vio menyikut lengan Ry yang duduk persis di sebelahnya. Saat ini mereka tengah berkumpul di rumah Mia, menemani wanita kesepian yang tengah ditinggal bertugas oleh sang suami.  Persahabatan mereka ini terbilang cukup unik. Latar belakang pendidikan berbeda, usia pun demikian. Kedekatan mereka terjalin karena sering sekali bertemu dalam acara wedding yang ditangani bersama. Ry sebagai fotografer dari Iridescent, Tita sebagai tim WO Luminous, Mia sebagai make up artist dan pengelola Lumiere, dan Vio sebagai penyanyi sekaligus pianis. Di antara mereka berempat Ry yang paling muda, sementara Mia tertua. Tahun ini Ry baru berusia 23 tahun, Vio 24 tahun, Tita 26 tahun, sementara Mia 33 tahun. Meski demikian, rentang usia tidak membuat gap di antara mereka. "Kamu ngelamunin apa, sih?" tanya Tita iba. Wajah Ry jelas menunjukkan gadis itu sedang gundah. Ry mengangkat bahunya. "Ngelamunin nasib sial, Mbak." "Emang nasib lo pernah bagus?" ejek Vio. "Emang banyakan sialnya sih." Ry mengakui dengan lapang d**a. "Sial kenapa, sih?" tanya Mia yang mulai ikut iba. "Tadi pagi dipanggil sama kaprodi." Vio mengernyit. "Urusan?" "Cuti Ry ditolak." Vio, Tita, dan Mia sontak saling lempar pandang. Akhirnya, Vio yang bersuara. "Emang lo mau cuti lagi?"  Ry mengangguk lesu. "Tadinya." "Kamu masih niat beresin kuliah nggak, sih?" ujar Mia gemas. Sudah berbusa mulutnya menasihati Ry agar segera menamatkan kuliah, tetapi tidak kunjung didengar oleh gadis itu. "Nggak," jawab Ry blak-blakan. Tita mengamati wajah Ry dengan ekspresi bingung. "Terus kenapa nggak udahan aja?" "Sayang." "Manusia nggak jelas ya, begini ini!" Vio mengacak gemas rambut Ry yang mulai berminyak karena sudah dua hari belum keramas. Ry menepis tangan Vio dari kepalanya tanpa berniat merapikan rambut yang ia tahu acak-acakan. "Kan kasian bokap nyokap yang udah ngarep banget Ry punya title." "Lah emang nggak kasian mereka keluar duit terus buat kuliah kamu yang never ending?" tanya Mia pedas. "Kan Ry bayar sendiri, Mbak." "Tetep aja sayang, Ry. Emang bener kata Mbak Mia, mending cepet kamu beresin itu kuliah," dukung Tita. "Tapi otak Ry nggak sanggup," rintih Ry pilu. Lebay memang! Disuruh menyelesaikan kuliah saja tingkahnya seperti disuruh melakukan pengorbanan besar. "Kamu bukan nggak sanggup, Ry! Kamu nggak niat!" omel Mia. Jangan kaget dan jangan heran! Mia ini bicaranya super pedas, tapi yang ia ucapkan memang biasanya benar. Itulah yang membuat Ry, Tita, dan Vio betah berdekatan dengan Mia. Mia itu ibarat pembimbing mereka agar tidak tersesat. "Ih, sama kayak omongan Pak Kus-Kus." "Kus-kus?" Vio mengernyit.  Ry menampilkan cengiran konyolnya. "Kusmanto Kusumadiyono. Kus-Kus. Kaprodi." "Sembarangan aja lo singkat nama orang. Gua kira binatang kuskus tadi," gerutu Vio. "Jadi kamu batal cuti?" tanya Tita memastikan. "Hm.” Ry mengangguk pasrah. “Plus ditodong ambil SP juga." Vio bersiul. "Mantap!" "Kapan SP?" Ini penting bagi Tita. Sebagai tim wedding organizer, ia bertugas mengelola jadwal mereka. Kalau Ry sibuk kuliah, ia tidak akan banyak melimpahkan pekerjaan pada gadis itu. "Bulan depan." Mia mengernyit cepat. "Akhir tahun bukannya banyak proyek?" Ry tertunduk lesu. "Makanya Ry stres." "Tenang. Urusan proyek kamu serahin sama aku." "Mbak Mia ini serasa bosnya si Ry aja.” Vio tertawa mengejek. Mia mengedik sombong. "Kan gue bos dari bosnya. Pada lupa kalian?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD