2. Tempat Terbaik untuk Benalu

1380 Words
“Kenapa cuma diam saja di sini?” Alsaki menegur Ry yang duduk sendirian saja di saat para mahasiswa lain di kelas yang sama tengah riuh bersama kerumunannya masing-masing. Ry yang sedang duduk bermalasan sambil menyandarkan kepala di atas meja, menjawab malas pada Alsaki tanpa berniat memperbaiki posisinya terlebih dahulu. “Nggak tahu harus apa, Pak.” Alsaki memicingkan mata melihat tingkah Ry. Ajaibnya, gadis itu tidak terpengaruh meski sudah dipandangi sedemikian rupa oleh Alsaki. Jengkel juga diabaikan oleh Ry, Alsaki memutuskan menarik kursi terdekat lalu menempatkannya tepat di hadapan Ry. Ia duduk perlahan, ikut meletakkan kepala di atas meja pada sisi berlawanan agar bisa saling tatap dengan Ry. “Kamu nggak dengar tadi saya kasih perintah untuk bentuk kelompok?” Terkejut dengan kelakuan dosennya, Ry segera duduk tegak. Ia meringis saat menjawab. “Dengar sih, Pak.” Alsaki kembali mengikuti gerakan Ry yang sudah duduk tegak. Diletakkannya kedua siku di atas meja untuk bertopang dagu. “Terus kenapa bukannya gerak malah bengong?” Seketika Ry merasa ingin tenggelam saja di rawa-rawa belakang kampus. Cobaan apa lagi kali ini? Belum cukupkah ia tersiksa dengan liburan tersia-sia yang harus dijalaninya dengan mengambil Semester Pendek? Kini, di hari pertama perkuliahan Semester Genap, cobaan sudah kembali menyambangi. Tanpa kabar tanpa undangan, para dosen pengajar Mayor Desain Interior 5 meminta mereka membentuk kelompok. Ry memang sudah tahu, di MDI 5 mereka akan diminta membentuk kelompok untuk mengerjakan proyek bersama. Mereka akan mengerjakan proyek gabungan bersama anak-anak dari Program Studi Desain Komunikasi Visual juga, hasil akhirnya nanti mereka akan menggelar pameran bersama satu angkatan. Namun, yang Ry tidak tahu, dengan siapa ia harus bergabung? Di mana tempat terbaik untuknya jadi benalu? “Nggak tahu mau sekelompok sama siapa, Pak. Nggak ada yang kenal.” “Kalau nggak kenal ya, kenalan dong!” balas Alsaki santai. “Malu, Pak.” Alsaki tersenyum samar. “Karena kamu lebih tua dari mereka semua?” Ry mengerjap kagum. “Kok, bisa tahu, Pak?” “Karena saya ingat pernah mengajar kamu di kelas MDI 2 dan rasanya itu sudah sangat lama,” sindir Alsaki. “Gitu ya, Pak?” Ry menggaruk kepalanya malu-malu. “Tunggu apa lagi?” tanya Alsaki gemas karena Ry tetap duduk santai saja di hadapannya. “Ayo, bangun! Cari kelompok!” “Nggak ada yang masih available, Pak. Udah pada punya kelompok semua,” sahut Ry malas. “Tinggal join sama salah satu kelompok yang sudah ada. Apa sulitnya?” Ry mengedarkan pandang ke sekeliling studio berukuran besar yang mampu menampung 100 meja gambar untuk 100 mahasiswa sekaligus. Kelas Mayor Desain Interior memang selalu digelar bersamaan seperti ini dalam satu studio besar, dengan daya tampung kelas 100 orang. Kelas besar ini ditangani oleh lima orang dosen pengajar dan lima orang asisten dosen. Setiap dosen dan asistennya bertanggung jawab memegang 20 mahasiswa. Namun, dalam pelaksanaannya, setiap mahasiswa diizinkan berkonsultasi pada dosen mana saja yang diinginkan dan dirasa bisa memberi masukan.  “Kayaknya udah full semua, Pak.” Lagi-lagi jawaban bernada malas yang Ry lontarkan. “Bisa banget bikin alasan!” Alsaki berseru gemas. “Saya bilang bentuk kelompok antara lima hingga tujuh orang. Sekarang lihat baik-baik, ada enam kelompok yang anggotanya belum sampai tujuh. Datangi dan tanya apa kamu bisa bergabung. Yang begini saja kenapa masih perlu diajari, sih?” Ry mengerjap kaget. Alsaki Rajasa yang terkenal santai dan super ramah ini ternyata bisa jengkel juga, dan itu karena dirinya. Haruskah Ry merasa tersanjung? Alsaki menjentikkan jari di depan wajah Ry. “Ayo, bergerak!”  Kalau sudah begini, terpaksa Ry bangun juga. Melangkah gontai tanpa arah, kemudian menclok di salah satu kelompok yang sejak tadi terlihat adem ayem. Ry berdeham lalu bertanya canggung. “Hai! Sorry, masih bisa join?” Keenam gadis cantik itu tersenyum canggung, lalu salah satunya menjawab. “Maaf, Kak. Kami sudah bertujuh. Satu anak hari ini nggak masuk, tapi namanya sudah dicantumkan.” “Oh, oke!” Ry mengangguk mengerti lalu segera berlalu mencari kubangan lainnya. Ia mendekati sekelompok manusia yang terlihat cukup campur-aduk, tidak sesempurna kumpulan keenam gadis cantik tadi. Kali ini Ry mencoba bertanya dengan nada lebih luwes. “Misi, boleh nanya?” “Eh, Kak Ry! Kenapa, Kak?” Salah satu gadis di kelompok itu merespon dengan ramah. Ry mengerjap bingung. “Lo kenal gue?” “Kita ambil kelas Pengban bareng, Kak. Masa lupa?” “Kelas Pengban?” Ry tahu Pengban itu Pengetahuan Bahan. Mata kuliah ini mewajibkan mereka mengenal berbagai jenis material yang kerap digunakan dalam mendesain. Masalahnya, kelas Pengban kapan dan ke berapa yang ia ikuti bersama gadis ini? “Iya!” seru gadis itu lagi. “Lo ambil kapan?” “Dua tahun lalu kayaknya, Kak.” “Oh …, oke!” Ry mengangguk ragu. Jelas Ry sudah lupa wajah-wajah teman sekelasnya, karena tahun lalu pun ia masih mengulang Pengban untuk ketiga kalinya. Kenapa Ry terus mengulang kelas itu? Bolos? Tidak! Ry selalu hadir di kelas, duduk mendengarkan setiap kata yang dosen ajarkan, lalu begitu keluar dari kelas seketika dilanda amnesia lokal. Ketika tiba waktu ujian, Ry tertidur lelap di kelas. Lagi pula, bagaimana Ry layak diluluskan jika membedakan vitrase untuk gorden dengan lace untuk bra saja ia tidak mampu? “Kak Ry tadi mau tanya apa?” tanya gadis itu. Cepat-cepat Ry menggeleng. Ia takut ketahuan kalau setelah kelasnya bersama gadis ini, ia masih mengulang lagi kelas Pengban dan tetap hanya mendapat vitamin C. “Nggak jadi.” “Kok, nggak jadi?” Gadis itu terlihat penasaran. Ry harus cepat memutar otak untuk lolos dari situasi ini. “Tadinya mau nanya ada pembalut apa nggak, tapi gue tiba-tiba inget yang lagi mens kucing gue.” “Hah?” “Gue cabut, yak!” Tepat saat gadis itu terbengong bersama teman-temannya, Ry langsung melesat cepat dan mencari mangsa lain. Pilihan akhirnya jatuh pada kelompok berisi pemuda berwajah suram yang duduk di pojokan. Hening tanpa pembicaraan, beda dengan kerumunan yang lain. Seketika Ry merasakan ikatan batin yang kuat dengan mereka. “Guys, gue boleh gabung sama kalian?” Keempat pemuda itu menoleh, mengamati wajah Ry yang terlihat asing. Salah satunya akhirnya bertanya. “Mbaknya angkatan lama ya?” “Siyal!” umpat Ry dongkol. “Kenapa semua orang tau gue ini angkatan tua sih?” “Soalnya Mbaknya legend di sini,” celetuk pemuda lain yang wajahnya lucu-lucu menyebalkan. “Jadi gue boleh join nggak?” desak Ry jengah. Dari kejauhan ia bisa menyadari tatapan Alsaki yang tajam menusuk. “Gue sih no prob, kita baru berempat juga,” sahut pemuda ketiga yang terlihat sok pintar. “Kalo nggak ditambah Mbak ini, kita bakal diacak ke kelompok lain juga.” “Jadi boleh, nih?” sambut Ry senang. “Boleh aja, Mbak. Tapi jangan ngarep banyak, soalnya otak kita juga seada-adanya doang,” jawab si pemuda pertama yang terlihat paling konyol tingkahnya. “Malah bagus!” Ry terkekeh. “Kok, malah bagus?” tanya pemuda keempat yang terkesan paling pendiam. “Jadi gue nggak minder dan nggak merasa bersalah juga kalau nggak banyak kasih kontribusi buat kelompok ini. Kalau kelompoknya anak unggulan, beban mental duluan,” sahut Ry asal.  “Tapi Mbaknya nggak masalah sekelompok sama cowok semua?” tanya si konyol. “Emang kalian liat gue kayak cewek?”  “Nggak terlalu sih,” celetuk si lucu-lucu menyebalkan. “Jadi nggak ada masalah kecuali satu!” “Apa, Mbak?” sahut si konyol. “Jangan panggil gue mbak mbak, gue bukan pembokat kalian.” “Kan maksudnya sopan,” ujar si sok pintar. “Nggak usah.” “Kakak aja mungkin?” usul si lucu-lucu menyebalkan. “Gue bilang nggak usah, panggil gue Ry aja.” “Ry doang?” tanya si sok pintar. “Nama lengkapnya siapa?” tanya si konyol. “Nggak usah tau, nanti pada kaget.” “Ivory Kirania?” Si pendiam tiba-tiba bertanya. Ry terheran. “Kok, tau?”  Si pendiam mengangkat lembar absen yang kebetulan baru sampai ke tangannya. “Ini di daftar absen ada. Yang lain gue tau, cuma nama lo yang baru.” “Cantik bener namanya,” celetuk si lucu-lucu menyebalkan. Ry tergelak, sama sekali tidak tersinggung. “Nggak kayak orangnya, kan?” “Nggak usah baper,” celetuk si sok pintar. “Tenang! Gue ini no galau galau club dan no baper baper club!” sahut Ry bangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD