3. Selengket Kerak Nasi

1854 Words
“Kelas hari ini berakhir, sampai bertemu minggu depan. Ingat! Pikirkan ide menarik untuk pengajuan proposal kalian. Buat saya terkesan. Jangan berikan saya ide pasaran, cari yang berbeda." Girish menutup kelas Studi Mandiri pagi ini setelah menyampaikan materi plus tugas berat pada para mahasiswanya. Memang, kelas-kelas di semester akhir itu tidak lagi menyenangkan. Tidak ada lagi humor kocak dan suasana santai, yang ada tinggal keseriusan penuh persaingan ketat. "Kalian semua boleh keluar kecuali mahasiswi yang duduk di baris kedua dari belakang, kursi ketiga dari kiri," ujar Girish lagi.  Mendengar kata 'boleh keluar', 34 mahasiswa di kelas itu segera bergerak dari kursi masing-masing, ingin secepatnya hengkang dari sana. Tidak terkecuali Ry. Ia berdiri gesit, menyambar cepat tasnya, lalu ikut dalam antrian keluar seperti yang lain.  "Kak!" Ry merasakan seseorang menepuk bahunya dari belakang dan menoleh. "Ya?" "Kenapa keluar?" tanya gadis yang tadi duduk di sebelahnya. "Udah selesai, kan?" balas Ry bingung. "Barusan kan Pak Girish bilang semua boleh keluar kecuali Kakak." "Hah?! Gue?" Ry menunjuk dirinya sendiri kemudian celingukan. "Perasaan nama gue nggak disebut." "Emang nggak disebut, Kak. Tapi dibilang baris kedua dari belakang, kursi ketiga dari kiri." "Lah? Kenapa gue?" Ry masih berusaha mengelak. "Kiri dari sana kali." Baru saja Ry berniat kembali melangkah, terdengar nama lengkapnya diteriakkan oleh sang dosen.  "Ivory Kirania, ke depan!" Sesungguhnya Girish malas menyebut nama gadis itu, tapi melihat gelagatnya yang berniat kabur, terpaksa ia memanggil juga. Sementara Ry, mendengar namanya disebut, sekujur tubuhnya mendadak lemas. Sejak dulu, Ry paling benci dipanggil dengan nada seperti tadi, apalagi oleh guru atau dosen. Firasatnya sudah buruk saja sebelum mendengar tujuan dirinya dipanggil. Akhirnya, dengan langkah berat Ry menghampiri meja dosen. "Ada apa ya, Pak?" "Kamu tahu kelas Studi Mandiri dimulai jam berapa?" "Jam tujuh, Pak," jawab Ry tenang tanpa menyadari maksud sindiran Girish. "Jam berapa kamu datang?" "Jam tujuh, Pak." Lagi-lagi Ry menjawab tenang, wajahnya sungguh polos tanpa dosa. Namun, ketika melihat Giris memicingkan mata, cepat-cepat Ry menambahkan. "Lebih, sih." "Lebih berapa lama?" Ry membuang pandang ke samping lalu menjawab sambil menggosok hidung, membuat suaranya terdengar tidak jelas. "Lebih satu jam." "Satu jam sembilan menit," koreksi Girish jengkel. "Iya, Pak." Dan dengan berani Ry menjentikkan jari ke arah Girish. "Segitu maksudnya." "Kamu tahu berapa lama kelas Studi Mandiri berlangsung?" "Dua kali 50 menit, Pak." "Berapa totalnya?" "Bapak seriusan nanya?" Ry mulai merasa tersinggung. Apakah dosennya ini menganggap tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata mentang-mentang dirinya bangkotan sampai-sampai menanyakan pertanyaan seremeh ini? "Jawab!" Girish mulai hilang sabar. "Totalnya 100 menit, Pak." "Kalau kamu terlambat 69 menit, berapa lama kamu mengikuti pelajaran?" Ry memasang wajah tidak percaya. Kok, kayak lagi dikasih soal cerita matematika SD sih?  "Ivory …." Girish semakin tidak sabar. "Eh, itu jadi 31 menit, Pak." "Mana yang lebih banyak? Yang kamu ikuti atau kamu lewati?" Kini Ry mulai merasa terpojok. "Lewati." Girish berdeham sebelum kembali bertanya. "Menurut kamu sia-sia atau tidak?" Ry diam. Bukan tidak tahu jawabannya, bukan tidak berani menjawab juga, hanya malas. Girish tidak bisa bersabar lagi. Ia memang terkenal sebagai dosen galak yang bicaranya nyaris selalu pedas. Sejak tadi ia sudah berusaha menahan diri, tapi tingkah ogah-ogahan Ry membuat batas kesabaran Girish yang memang hanya setipis rambut nenek-nenek langsung botak plontos. Girish membuka daftar kehadiran kelasnya dengan kasar lalu mengetuk keras di bagian nama Ivory Kirania. "Ivory, kelas Studi Mandiri di semester ini baru berjalan tiga kali dan selama itu juga kamu selalu datang terlambat. Sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Apa kamu memang tidak tahu batas keterlambatan masuk kelas, atau kamu meremehkan saya?"  Nada bicara Girish belum meninggi, tapi orang normal pasti sadar kalau pria ini sedang menahan dongkol. Sayangnya, Ry tidak termasuk kategori normal, jadi ia masih santai saja. "Jawab saya, Ivory!" gertak Girish. "Bukan dua-duanya, Pak." "Lalu?" "Saya enggak bisa bangun pagi tiap Senin, Pak. Mata saya kayak dikasih lem nasi, lengket-lengket berkerak." Girish mendelik mendengar jawaban Ry, tapi berusaha tidak terfokus pada tiga kata terakhir yang gadia itu ucapkan. "Kenapa harus setiap Senin? Memangnya apa yang kamu lakukan setiap Minggu malam?" "Kerja, Pak." "Hm?" Girish memicingkan mata dan menatap penuh curiga. "Eh?" Ry jadi salah tingkah dipandangi sedemikian rupa oleh pria tampan macam Girish. Meski Ry belum pernah pacaran, bukan berarti ia tidak pernah naksir kaum lelaki.  "Kamu kerja apa?" tanya Girish curiga. "Mending Bapak enggak usah tau, Pak." "Kenapa?" Semakin bertambahlah kecurigaan Girish melihat keengganan Ry menjawab. Ry tertunduk. "Bukan kerjaan yang membanggakan." "Kamu buat saya jadi berpikiran yang tidak-tidak, Ivory." "Bapak mikir saya kerja apa gitu, Pak?" "Kerjaan kamu halal?" Mata Ry melebar dan sepertinya ia paham maksud kecurigaan Girish. Cepat-cepat ia menggeleng panik. "Tenang, Pak. Kerjaan saya halal, kok." "Lalu kenapa tidak pantas?" "Ya, karena enggak nyambung sama kuliah saya, Pak." "Ivory, jangan berbelit-belit. Cepat beritahu saya, kamu kerja apa?" "Saya itu kerja di studio foto, Pak. Jadi fotografer dan videografer, kerjain editing juga." "Ternyata itu." Tanpa sadar Girish mengangguk lega. Bodoh! Mana mungkin juga anak ini jadi wanita bayaran? Secara penampilan saja tidak menarik! Tapi, bisa saja ini bagian dari kamuflasenya, bukan? Sudah, dasar gila! Fokus, Girish!  "Oke, saya tidak akan campuri urusan pekerjaan kamu, selama itu tidak mengganggu kuliah. Jadi mulai minggu depan jangan terlambat datang lagi. Perlu kamu tahu, selama tiga kali pertemuan kelas saya, kamu tidak terhitung masuk karena terlambat lebih dari 15 menit tanpa kabar. Jadi kamu sudah absen tiga kali, dan itu batas maksimal absen. Sekali lagi terlambat, kamu failed." "Yah, Pak!" seru Ry panik. "Saya mana bisa enggak telat?" "Harus bisa!" "Pak, tapi saya itu jam empat subuh aja baru tidur." "Itu urusan kamu," balas Girish kejam. "Pak, apa enggak bisa pindah jam kuliah?"  "Mana bisa! Tidak ada yang seperti itu!" "Pak!" rayu Ry. Girish tetap tidak tergerak. Ia malah mengibaskan tangan mengusir Ry. "Saya ada kelas lain, silakan kamu keluar."  "Pak …." Ry memasang wajah tersedih yang ia bisa. "Minggu depan terlambat, kamu failed." Lagi Girish mengibaskan tangan. "Pak!" rengek Ry. "Saya tidak mau tahu." Akhirnya Ry menyerah. Ia tertunduk lalu berbalik. Sebelum berlalu, ia masih bisa mendengar perkataan Girish.  "Ingat Ivory, kamu kuliah sudah terlalu lama. Cepat selesaikan kuliahmu, setelah itu kamu bebas bekerja sesuka kamu." Demikianlah sekilas kesialan Senin pagi milik Ry. Namun, ternyata kesialannya tidak berakhir sampai di Girish saja. Siang harinya Ry kembali dilanda masalah serupa tapi tak sama. Lagi-lagi kejadiannya tepat setelah kelas berakhir, tapi kali ini kelas MDI 5. Seperti normalnya hari-hari Ry, begitu kelas dinyatakan berakhir, tidak peduli siapa teman di sebelahnya, tidak peduli siapa yang mengajar, gadis itu pasti langsung melesat cepat meninggalkan kelas. "Ivory!" Ry mendengar seseorang berteriak, entah memanggil siapa. Namun, ia tidak merasa perlu berhenti apalagi menoleh. "Ivory!" Panggilan itu kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya. Kok, kayak nama gue ya? Ry geli sendiri memikirkan ada nama orang yang mirip dengannya. "IVORY KIRANIA!"  Kini teriakan itu benar-benar terdengar lantang. Bersamaan dengan itu Ry merasakan sesuatu menahan langkahnya, padahal ia sudah hampir mencapai pintu dan sedikit lagi terbebas dari studio penuh kepusingan ini. "Astaga! Siapa, sih?" Ry berbalik kasar dan melotot galak, tapi begitu menyadari sosok yang membuat dirinya tertahan seketika gadis meringis. "Eh, Bapak!" "Kenapa? Kamu mau marahin saya?" tanya Alsaki dengan nada menantang. Cepat-cepat Ry menggeleng panik. "Enggak, Pak. Kaget aja." "Salah kamu, dipanggil enggak dengar!" "Bapak salah panggil." "Bukannya itu nama kamu?" "Iya, Pak. Tapi enggak akrab di kuping saya." "Maksudnya?" "Saya biasa dipanggil 'Ry' aja, Pak. Kalo Bapak teriakin 'Ry', pasti saya langsung nengok." "Enggak ada lain kali, Ry. Emangnya saya kurang kerjaan teriak-teriak panggilin kamu terus?" sahut Alsaki jengkel. Anak bangkotan ini menyebalkannya seampun-ampun! "Iya, juga! Tapi, Pak!" Tiba-tiba Ry dilanda khawatir mengingat tali tas serut miliknya yang masih digenggam kuat oleh bapak dosen, padahal sekarang mereka sedang berdiri berhadapan. Jadi bayangkan! Tas serut Ry di belakang punggung, ditarik oleh Alsaki yang berdiri di hadapannya. Posisi tas itu saja sampai serong ke ketiak Ry.  Alsaki menaikkan sebelah alisnya. "Apa?" Ry menunjuk tali tasnya sambil meringis. "Ngomong-ngomong ini boleh dilepas? Nanti tas saya putus." Sadarlah Alsaki kalau ia masih menggenggam barang berharga milik Ry berlabelkan pembalut wanita terkenal. Dengan sebal dientaknya tali itu lepas. "Salah kamu juga pake tas model karung begini!" "Ih, Bapak! Ini bagus tau!" Ry segera membela barang kebanggaannya. "Bagus dari mananya?" Alsaki mendelik tidak percaya. Dia memang laki-laki yang tidak pernah dihantui vampir bulanan, tapi Alsaki punya ibu juga adik perempuan. "Bukannya ini cuma tas hadiah dari produk pembalut?" "Emang," sahut Ry tanpa malu. "Bukannya malu kamu malah bangga." "Ih, ngapain malu? Ini kan namanya bagus, Pak. Sesuai sama impian saya." "Impian gimana?" "Bapak baca, deh!" Ry melepas tasnya dan menunjukkannya ke hadapan sang dosen. "Carier. Ini tuh mimpi saya buat jadi wanita karier tau!" "Ngawur kamu!" Seketika Alsaki tergelak kencang, lalu mengeja penulisan yang benar di depan Ry. "Harusnya c-a-r-e-e-r, bukan c-a-r-i-e-r." "Bedanya apa, Pak?" Ry merengut bodoh. "Beda penulisannya, dong!" "Ah, buat saya sama aja, Pak!" "Okelah, sesuka kamu!" sahut Alsaki malas. "Makin ditanggapi makin enggak jelas pembicaraannya." "Oh, iya! Bapak kenapa panggil saya?" "Ada yang mau saya bicarakan." "Apa, Pak?" "Ikut saya!" Begitu mengatakannya, Alsaki langsung melenggang meninggalkan Ry, sambil tak lupa menarik tali tas wanita karier. "Ke mana, Pak?" "Ruang dosen." "Jangan, Pak!" tolak Ry seketika. "Kenapa?" "Takut. Saya enggak pernah masuk ruang dosen." "Kalau gitu di ruang bimbingan aja." "Jangan, Pak!" Lagi-lagi Ry menolak keras. "Ck!" Alsaki berhenti melangkah dan mendelik sebal. "Jadi mau di mana?" "Di foodcourt aja, Pak. Nanti saya traktir," usul Ry sambil memberi iming-iming. Akhirnya, Alsaki menuruti keinginan Ry. Bukan terbujuk iming-iming Ry, tapi karena ia malas berdebat. Baru Alsaki sadari, mahasiswi satu ini bisa menguras emosi secara berlebihan. "Silakan, Pak." Ry meletakkan minuman yang sudah dibelikannya untuk Alsaki di atas meja. "Cuma ini?" Alsaki melongo melihat sajian yang terhidang. Sebotol air mineral dingin duduk cantik di atas meja. Usahanya yang terbuang untuk berjalan kaki dari gedung Fakultas Desain menuju foodcourt, lalu menunggu hampir 15 menit hingga gadis ini kembali membawa traktirannya, terasa sangat sia-sia. "Iya. Ini baik untuk kesehatan, Pak. Untuk mengembalikan konsentrasi juga," jawab Ry santai tanpa rasa bersalah sama sekali. "Katanya mau traktir," sindir Alsaki. Ry mengerjap bingung. "Kan memang saya yang bayar, Pak." Alsaki mendengkus jengkel. "Kalau cuma air mineral, di ruang dosen juga banyak. Enggak perlu bayar. Saya bisa traktir kamu satu dus besar." Ry menodongkan tangan ke arah Alsaki. "Bapak mau gantiin? Ini harganya 4.500, Pak. Lumayan buat nambahin jatah saya beli bensin." "Parah kamu!" Alsaki menggeleng lelah. Cepat-cepat diteguknya air dalam botol sebelum ia jadi darah tinggi beradu debat dengan Ry lebih lama lagi. "Bapak mau bicara apa jadinya?" "Ini soal kelompok MDI 5 kamu." "Oh! Kenapa, Pak?" "Saya dapat laporan kalau kamu enggak pernah ikut kumpul dengan mereka?" "Maenannya ngadu …," cibir Ry pelan. "Bukan ngadu. Memang saya yang cari tahu." "Bapak sebagai dosen perhatian banget," sindir Ry berlagak terharu. "Bukan perhatian, tapi terpaksa. Kamu itu udah diciriin, Ry!" sembur Alsaki. "Wah, emang saya kenapa?" "Masih tanya kamu kenapa?" Alsaki mendelik dongkol. "Enggak sadar kalau kamu udah kuliah kelamaan dan belum juga lulus?" "Yah, Pak. Diungkit lagi," keluh Ry jengah. "Emang ini inti masalahnya! Semua orang udah gerah lihat kamu. Maunya kamu cepat lulus." "Jadi saya harus gimana, Pak?" "Ikut dengan kelompok kamu, sama-sama kerjakan proyek itu. Kamu harus lulus semester ini juga!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD