Luka 1

961 Words
Waktu yang Hilang - Luka Dari jendela kamarnya yang terbuka lebar, Saga menghirup udara segar menjelang senja. Hawa yang terasa sejuk di kulit. Di kejauhan ia bisa melihat kabut telah turun menyelimuti pemukiman penduduk dan perbukitan nun jauh di sana. Di langit barat, senja sudah semerah saga. Laki-laki itu mendesis menahan sakit di punggungnya tadi. Badannya juga mulai meriang efek dari luka. Dia tidak mandi dan hanya mengelap tubuhnya mengenakan wash lap. Suara tawa anak kecil membuatnya melongok ke luar. Moana duduk di bangku taman bersama sang kakek. Tampaknya ada hal lucu yang membuat bocah kecil itu tertawa puas. Dia cantik seperti ibunya. Imut dan menggemaskan. Matanya sebening milik Melati. Saga memandang Melati yang menghampiri mereka sambil membawa sebotol s**u untuk Moana. Perempuan itu menyapa sang mertua dan berbincang sejenak. Entah bicara apa, kemudian tertawa. Tawa perempuan yang jarang sekali dilihat oleh Saga sekarang. Mendung telah menyelimuti hidup Melati setahun belakangan ini. Ketika sang kakak menghadirkan wanita lain di antara mereka. "Kakakmu punya kekasih lagi." Melati memberitahunya dengan wajah sembab suatu siang di kantor perkebunan. Kala itu Saga yang baru pulang dari luar kota terkejut. "Kamu serius?" Melati mengangguk. "Bagaimana kamu tahu?" "Aku baca semua chat-nya dengan wanita itu." Suara Melati sangau menahan pedih. "Aku sudah menanyakannya. Masmu mengakui. Katanya sudah beberapa bulan ini menjalin hubungan dengan gadis itu. Dia seorang staf di PT Adi Karsa." PT Adi Karsa adalah perusahaan yang bekerjasama dengan perkebunan papanya. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" "Aku nggak tahu," jawab Melati dalam nada keputusasaan dan terluka. Matanya menampakkan kilat amarah yang terpendam dan hanya bisa dirasakannya sendiri. "Kalian butuh bicara serius. Mas Akbar harus melepaskan perempuan itu. Dukung dia, Mel. Supaya kembali ke pangkal jalan." Saga sedapat mungkin memberikan saran pada iparnya. Sebab bicara dengan Akbar jelas tidak mungkin. Selama ini mereka berdua tidak pernah ikut campur urusan pribadi masing-masing. Hingga permasalahan itu bagai api dalam sekam selama berbulan-bulan. Kemudian Melati kembali mengajaknya bicara. Di tempat yang sama. "Kamu bodoh, Mel. Kenapa kamu ngizinin Mas Akbar menikah lagi. Kamu akan menyesal nanti," ujar Saga dengan menahan geram. Melati tersenyum getir. "Daripada mereka berzina, Ga. Lagian Mama Rista juga mendukung Mas Akbar untuk menikahi Nara. Aku bisa apa? Apa mungkin aku akan bercerai diusia pernikahanku yang baru menginjak usia enam tahun. Jika cerai, aku nggak bisa bawa Moana. Aku nggak punya apa-apa. Pasti aku kalah dalam hak penjagaan anak karena aku yang meminta berpisah. Aku nggak bisa jauh dari Moa, Ga." Saga menarik napas dalam-dalam. Ingat tentang percakapannya dengan Melati. Ingat keluh kesahnya wanita itu. Dia bisa merasakan luka teramat dalam dari matanya yang bening. Dia tidak habis pikir dengan pemikiran sang kakak. Bagaimana bisa di pernikahannya yang baru berjalan enam tahun, Akbar menghadirkan perempuan lain dalam perkawinannya. Apa kurangnya Melati? Istri yang penurut, penyayang keluarga, baik, dan saleha. Kenapa kakaknya begitu tega? Di mana kobaran cinta yang membara ketika dulu? Cinta menggebu yang membuatnya nekat menikahi perempuan itu, meski jelas Akbar tahu kalau mamanya menentang keras. Kenapa sekarang begitu mudahnya menduakan. Apakah ini karma? Kutukan keturunan? Sebab papa mereka juga memiliki dua istri. Dan mirisnya, dirinya adalah anak dari istri kedua yang selalu dipandang hina. Perhatian Saga beralih pada pria berkemeja putih yang menghampiri mereka. Moana berlari menyambutnya. "Papa," teriaknya. Akbar langsung mengendong dan menciumi gadis kecilnya. Melati menghampiri untuk mencium tangannya. Melihat itu semua membuat Saga merasa sedih. Kebahagiaan yang tampak di depan mata hanya fatamorgana. Jelas hubungan yang retak itu tak lagi utuh seperti dulu. Meski katanya, perempuan bernama Nara telah memilih membatalkan pernikahannya dengan Akbar. Entah apa yang ada di otak sang kakak. Sadarkah dia, ibarat seenaknya saja melempar batu ke laut. Namun tidak memikirkan sedalam apa batu itu bisa tenggelam. Seperti luka Melati. Apa tidak terpikirkan sama sekali, sakit seperti apa yang dialami istrinya. Senja kian pekat. Senja pergi, kini malam telah menghampiri. Papa, kakak, Melati, dan Moana masuk ke dalam rumah. Sementara Saga masih setia menatap senja yang hampir lenyap. ***LS*** Di dalam kamar, Melati menyiapkan pakaian ganti untuk Akbar yang tengah mandi. Hanya berdua saja, karena Moana bersama neneknya. Moana memang sangat dekat dengan kakek dan neneknya sejak kecil. Sebagai cucu pertama, perempuan pula, makanya sang mertua sangat menyayanginya. Itulah kenapa, andai terjadi perpisahan, sudah jelas kalau Melati tidak akan pernah mendapatkan hak asuh putrinya. Akbar yang tampak segar telah keluar dari kamar mandi. Melati mengambil jepit untuk mengikat rambutnya. "Aku wudhu dulu, Mas!" Tiga rakaat dijalani dengan khusuk. Mereka melangitkan doa yang bisa jadi permintaannya pun bertolak belakang. Melati ingin kehidupan rumah tangganya kembali tenteram seperti dulu, tapi Akbar mungkin meminta hal lain. Minta agar Nara bisa ditemukan lagi dan mereka melanjutkan pernikahan yang pernah di rencanakan. Toh, Melati sudah menandatangani surat persetujuan untuk menikah lagi, berpoligami. Semakin ia berteriak dalam hati meminta suaminya kembali seperti dulu, tapi apakah sang suami juga berdoa hal yang sama? Bagi Melati sekarang, ia seperti menunggu tapi tidak tahu apa yang ditunggu. Sedang bertahan, tapi entah sampai kapan. Hubungan mereka tak lagi sehangat dulu. "Mas, dapat kabar tentang Nara?" tanya Melati lirih setelah mencium tangan suaminya. Pertanyaan konyol yang sebenarnya sangat menyakiti dirinya sendiri. Apakah dirinya sudah mendekati gila? Akbar menggeleng dengan wajah sendu dan kehilangan. Ternyata sudah sedalam itu perasaannya pada sosok gadis bernama Nara. Bahkan sampai istri yang mendampinginya selama enam tahun ini seolah tak punya hati dan perasaan lagi. Wanita di depannya itu dianggap apa? Patung? "Mas." Melati meraih jemari sang suami. "Carilah sampai ketemu. Jika dia ingin menjadi istrimu satu-satunya, aku ... aku siap mundur." Akbar kaget dengan perkataan sang istri. Ditatapnya lekat perempuan yang menggenggam tangannya. "Apa yang kamu katakan, Mel. Mas nggak pernah berniat menceraikan kamu. Sekalipun ada Nara di antara kita. Mungkin Mas memang egois. Tapi Mas nggak bisa kehilangan kamu." Melati tersenyum getir. Menunduk dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis supaya tidak pecah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD