Dia Bukan Anak Haram 2

1070 Words
"Makasih, Mel." "Kamu ini harusnya memanggilku dengan panggilan Mbak." "Kalau ada Mas Akbar saja aku manggil kamu Mbak." "Ish, jangan gitu. Bagaimanapun juga aku masih iparmu?" ujar Melati. "Masih ipar? Apakah kamu berencana untuk resign jadi iparku?" Melati bungkam. Saga membenahi duduknya. Rasanya dibuat bersandar di kursi terasa sangat sakit. Laki-laki itu mencondongkan tubuhnya pada sang ipar setelah menoleh sekilas pada Ana. Gadis yang sibuk dengan beberapa berkas itu masih kerabat jauh Melati. Sangat dekat dengan kakak iparnya. Untuk itu dia tidak khawatir jika apa yang dibicarakan dengan Melati akan bocor ke luar. "Mel, benarkah rivalmu itu benar-benar pergi. Baguslah kalau perempuan itu mengundurkan diri. Bisa tenang hidupmu." Melati tersenyum hambar. Apa setelah calon rivalnya pergi, serta merta hubungannya dengan Akbar langsung pulih? Tidak. Apa yang telah terkoyak tidak akan bisa kembali seperti sediakala. Siapa yang bisa menjamin perasaan itu masih utuh seperti dulu. Bukankah Akbar sangat terluka saat tahu calon istri keduanya membatalkan rencana pernikahan mereka. Di depan Melati berusaha menunjukkan dirinya baik-baik saja, tapi mana tahu lukanya separah apa. Hati yang telah retak, bagaimanapun juga akan sulit utuh seperti semula. Melati masih teringat jelas, saat Akbar mengenalkan perempuan itu padanya beberapa bulan yang lalu. Remuk redamnya perasaan masih membekas hingga sekarang, walaupun akhirnya dia menyerah dan memberikan izin pada Akbar untuk menikahi pujaan hatinya yang baru. Apalagi mendapatkan dukungan pula dari Bu Rista. Tanpa memperdulikan perasaan Melati. Kenapa wanita itu begitu tega? Membuat menantunya terluka seperti yang pernah dialaminya dulu? Memang dirinya bukan menantu yang dulu mendapatkan restu. Akbar yang ngotot menikahinya walaupun sang mama menentang. Tapi papanya sangat mendukung. Bahkan Melati yang disalahkan atas kepergian gadis itu. Mereka mengira Melati telah mengancamnya. Padahal tidak. Untuk apa membuang waktu mengurusi hal itu. Lebih baik menata hati dan mengobati luka sendiri. "Mel," panggil Saga ketika melihat sang ipar masih diam. "Ya." "Kalian masih baik-baik saja, kan?" "Jangan tanyakan itu, Ga," jawab Melati lantas kembali fokus pada berkas-berkas di mejanya. "Malam ini keluargamu dan keluarga Mbak Alita jadi mengadakan pertemuan, kan?" tanya Melati mengalihkan percakapan. Pemuda itu mengangguk. "Semoga acara kalian nanti lancar." Melati tersenyum getir. Bibirnya terlihat berkedut. Hanya sebentar bersitatap dengan laki-laki itu kemudian pandangannya kembali pada berkas di depannya. Saga tidak menanggapi, hanya memperhatikan perempuan disebelahnya yang berubah sendu. Mereka diam, dihinggapi kesunyian untuk beberapa saat. Hingga bunyi ponsel Saga membuyarkan lamunan. Lelaki itu merogoh ponsel di dalam saku celana. Tertera di layar, sang papa yang menghubunginya. "Ya, Pa." "Kamu di mana?" "Masih ada di kantor." "Pulanglah sekarang, papa tunggu." "Hmm, iya." Saga menyimpan kembali ponselnya di saku celana. Malas sebenarnya mau pulang. Rumah itu tak pernah nyaman untuknya. Namun tidak ada tempat untuk pergi. Hanya perkebunan yang sering menjadi tempatnya bermalam. Bukannya tak mau hengkang dari sana. Hanya saja kasihan sang papa yang sangat menyayanginya. Yang selalu melarangnya untuk pergi. Lelaki yang sering jatuh sakit akhir-akhir ini. Makanya urusan segala usaha di pasrahkan pada anak lelaki tertuanya. Setelah diam sejenak, Saga lantas memandang Melati. "Aku pulang, Mel." Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum. "Semoga sukses acaramu nanti." Kali ini Melati bicara dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Namun tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang tampak di matanya. Ia kasihan pada Saga yang tidak dianggap oleh ibu tirinya. Dirinya dan Saga terasa asing di rumah besar itu. Terlebih setelah Akbar menduakannya. Saga hanya mengangguk pelan. Kemudian bangkit menuju motor sport-nya yang terparkir di bawah pohon mangga depan kantor. "Mel, bunga melatimu mekar semua ini," tunjuk lelaki itu pada serumpun bunga mekar yang berada di dekat pohon mangga. Bunga yang ditanam oleh Melati. "Hu um," jawab Melati sambil melangkah ke arah pintu. "Putih bersih dan wangi seperti yang nanam. Sayangnya Mas Akbar tidak menyadarinya!" "Nggak usah ngegombal, deh. Buruan pulang sana. Entar kena omel lagi." Saga tersenyum kecut. Seperti anak kecil yang selalu kena omel setelah membuat kesalahan. Kalau bukan karena papanya, Saga tidak mungkin bertahan di sana. Lelaki yang selalu menatapnya penuh cinta. Sosok yang senantiasa mengingatkan Saga pada ibu yang telah tiada. "Aku pulang dulu. Makasih, ya. Udah ngobatin lukaku. Jangan bosan-bosan kalau aku terluka lagi." Melati berdecak lirih. "Setelah kamu menikah, istrimu yang akan ngurusi itu. Udah pulang sana! Aku masih banyak kerjaan." Perempuan itu berbalik dan masuk ke kantor. Di tutupnya pintu meski Saga belum pergi. Meski hari Minggu, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Walaupun papa mertuanya melarang, tapi Melatih memilih lembur. Toh Akbar juga tidak sedang di rumah. Sedang ke pabrik teh untuk membicarakan rencana perpanjangan kontrak kerjasama. ***LS*** Rumah sepi saat Saga sampai. Biasanya kalau tengah hari begini mamanya pasti tidur siang. Kadang juga bermain dengan cucunya yang baru umur dua tahun. Setelah menaruh motor di carport, Saga melangkah masuk lewat pintu samping. Luka di punggungnya terasa perih dan membuatnya mendesis menahan sakit. "Dari mana kamu, Ga?" tanya sang papa yang duduk di ruang santai yang menghadap langsung ke kebun sayur. "Benar kamu kelahi lagi?" Saga duduk di kursi sebelah sang papa. Tidak berani bersandar karena punggungnya terasa sakit luar biasa. Bahkan tubuhnya sudah mulai meriang. Laki-laki muda itu hanya mengangguk tanpa bersuara. Tak perlu dijelaskan lagi kenapa para preman itu selalu mengeroyoknya. Tidak mungkin dia yang sudah berumur dua puluh delapan tahun akan bersifat kekanak-kanakan dengan berkelahi tanpa sebab. Kalau dia terdesak, apa tidak boleh membela diri? "Nanti malam keluarga Alita pulang dari Jogja mampir ke sini. Kita mulai membicarakan tentang hubungan kalian. Usiamu dah matang untuk menikah. Hanya saja ubah perangaimu. Ubah kebiasaanmu. Kamu tahu kan apa tujuan papa menikahkan kamu sama Alita? Lagi pula kalian juga sudah kenal sejak sama-sama masih kuliah. Sudah akrab lama." Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Saga. Harusnya dia bahagia menikah dengan gadis itu. Terpelajar, anak orang berada, cantik, dan menarik tentunya. "Pa, aku ke kamar dulu!" Saga sudah tidak tahan dengan rasa nyeri di punggungnya. Lukanya kali ini mungkin lebih parah dari sebelumnya. Pria itu bergegas masuk ke kamarnya yang berada di bagian paling belakang. Kamar tersisih yang dipilihnya sendiri, walaupun banyak kamar luas dan lengkap perabot, tapi pilihan Saga jatuh ke kamar sederhana itu. Norman Hazami, seorang pemilik perkebunan teh yang sangat disegani di daerahnya. Selain terkenal baik hati, juga dermawan. Terlepas dari masa lalunya yang pernah memiliki dua istri. Saga melepaskan kemeja yang sudah terkoyak dan banyak bercak darah di sana sini. Darah kering yang sudah menghitam. Untungnya dia memakai kemeja warna gelap, jadi tidak begitu kentara. Dari cermin dia bisa melihat luka di dekat tulang belikatnya. Sabetan pisau itu cukup panjang rupanya. Nyawanya memang benar-benar diinginkan lenyap dari raganya. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD