Sepuluh tahun kemudian....
“Grace, jam praktik lo udah selesai 'kan?” Grace mengangguk sembari tangannya menyuapkan salad buah yang biasa ia beli di kantin rumah sakit tempatnya bekerja. Iya, sudah hampir satu tahun ini Grace bekerja untuk dua rumah sakit swasta di Jakarta. Setelah bekerja keras untuk menyematkan gelar di namanya, Grace kembali ke Indonesia dan memilih mengabdikan diri di tanah kelahirannya.
Rebecca—orang yang berperan sebagai sahabat Grace—tersenyum senang sampai menampakan giginya yang rapi. Rebecca adalah teman pertama Grace di Princess Alexandra Hospital. Kepribadiannya yang riang membuat hidup Grace ramai. “Temenin gue fanmeeting, ya? Masalah tiket tenang aja, semua udah gue urus. Gue kemaren harus benar-benar rebutan karena cuma buat lima puluh orang aja.” selanya cepat membuat Grace mengurungkan niatnya untuk protes. Ia kembali menyuapkan potongan anggur ke dalam mulutnya. “Fanmeeting siapa? Westlife? Gue dengar mereka bikin acara begituan juga.” katanya sambil melirik Rebecca.
Rebecca menggeleng. “Lo ingat nggak sih, sekitar sepuluh tahun yang lalu ada band yang ngehits banget pas kita SMA? The Alphabet Band. Nah, beberapa tahun setelah itu mereka jadi berpencar dengan karir masing-masing. Terus, bulan ini The AB bikin kayak reunion fanmeeting gitu buat mengenang masa kejayaan mereka. Kayaknya bakal seru banget, ya? Gue rela-relain pantengin laptop supaya kebagian tiketnya!” cerocos Rebecca dengan binar kebahagiaan.
Sedangkan Grace mendadak terdiam. Tangannya mengambang di udara hendak menyuapkan suapan terakhir saladnya. Tentu saja ia ingat, ingat sekali. Alphabet band yang salah satu personelnya adalah Gio, kakaknya. Ralat, mantan kakaknya karena dulu ia sudah memutuskan hubungan itu. Tangan kirinya mencengkram sendok dengan keras. Amarah dan benci yang sudah Grace kubur dalam-dalam kembali mencuat ke permukaan hanya karena mendengar grup band milik kakaknya. Tak terasa air mukanya mengeras membuat Rebecca heran dengan perubahan sahabatnya ini. Ia menyentuh lengan Grace hingga membuat wanita itu tersadar. “Lo kenapa deh, G? Lo nggak bisa nemenin gue ya? Kalau lo nggak bisa, it's okay. Gue bisa minta temenin adik gue.”
Grace menggeleng pelan. Ia sempat berubah pikiran, tetapi melihat betapa antusiasnya Rebecca Grace tidak tega membatalkannya. Lagi pula ini pertama kali Rebecca memintanya menemani pergi. Ia tersenyum tipis. “It's okay. Gue nggak keberatan kok. Cuma tadi gue ingat udah matiin kompor belum ya?” alibi Grace.
Rebecca tertawa renyah. “Lo itu nggak ada bakat ngelawak sama sekali, G. Bohong lo kelihatan banget.” ejeknya.
“Eh iya, si Liam gimana kabar? Masih sama lo, 'kan ya?” tambah Rebecca. Perempuan yang masih satu profesi dengannya itu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Grace mengangguk. Liam, pacar dua tahunnya yang sekarang sedang bekerja di Korea sebagai dokter juga. “He's okay, cuma ya dia sibuk banget. LDR kita juga okay. Anyways, acara lo jam berapa?”
Rebecca melirik Daniel Wellington yang melekat di tangannya sekilas. “Dua jam dari sekarang. Tapi mending kita ke sana sekarang aja. Yuk, gue bayar dulu.” Grace mengangguk lalu berdiri mengikuti Rebecca yang sudah berjalan di depannya.
***
Kali ini Grace benar-benar menyesali keputusannya untuk menemani Rebecca dalam acara fanmeeting ini. Ternyata pihak penyelenggara membuat tema privat gathering yang membuat idola dan penggemar dapat berinteraksi dengan bebas. Grace yakin Rebecca pasti merogoh kocek cukup banyak. Sebenarnya acara intinya sudah selesai, MC pun sudah menghilang dari panggung. Namun, sesuai dengan permintaan The AB mereka ingin ada sesi mengobrol dengan penggemar. Lagi pula apa yang bisa Grace harapkan dari sebuah fanmeeting? Ini bukan sejenis konser yang akan ada banyak gap antara idola dan penonton.
Wanita itu menghela napas dan memilih duduk di kursi yang sudah disediakan dari pada mengikuti Rebecca yang sedang mengobrol bersama Bagas, dengan beberapa orang lainnya. Lagu-lagu The AB yang dulu selalu ia dengarkan kini kembali memenuhi telinga Grace. Ponselnya lebih menarik daripada harus bertemu dengan mereka. Dan soal Gio, Grace sudah melihatnya tadi. Dia tampak lebih dewasa dan berkharisma. Menurut cerita yang ia dengar dari Rebecca, Gio sekarang beralih profesi menjadi seorang aktor sejak lima tahun yang lalu.
Grace menarik napas ketika sebuah pesan dari Rebecca masuk ke ponselnya. Ia bangkit kemudian mulai melangkah mendekati Rebecca yang terlihat sedang mengobrol dengan beberapa member The AB. Sepertinya keberuntungan sedang menghampiri Rebecca. Wanita itu terlihat mengobrol bersama dua orang member AB tanpa ada orang lain. Rebecca tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya begitu melihat Grace datang. “Ayo Grace, lo bisa.” lirih Grace berusaha menyemangati diri sendiri. Langkahnya tegap mendekat kepada Rebecca.
Dua pria itu berbalik dan seketika senyum yang terpatri di wajah keduanya langsung menghilang. Grace tersenyum sangat tipis walaupun dalam hati ia sempat terkejut karena Rebecca sedang mengobrol dengan Gio. “Grace, kalau senyum yang ikhlas dikit dong.” bisik Rebecca begitu Grace tiba di sebelahnya. Bibirnya mencebik kesal sementara yang dikomentari hanya mengangkat sedikit alisnya.
Senyuman kaku Rebecca berikan pada kedua pria di depannya yang masih memandang Grace. “Aduh, maaf ya. Sahabat aku emang gitu. Oh iya, namanya Grace, Grizelle Alexandra.”
Grace mencubit Rebecca kesal karena wanita itu langsung menyerobot memperkenalkan dirinya. Kadang ini yang kurang disukai Grace, Rebecca terlalu mudah berbicara pada orang sampai sesuatu yang menurutnya tidak penting pun ikut diucapkan. Sementara itu di sisi lain Gio masih terpaku pada salah satu wanita di depannya itu. Ia tidak mengira acara ini akan mempertemukannya dengan adiknya yang sudah lama ia cari. Iya, Gio mencarinya dengan segudang penyesalan. Pria itu menatap Grace yang sudah banyak berubah. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit putih bersih, persis seperti Selena. Rambutnya yang hitam legam masih sama seperti dulu, tetapi bedanya sekarang Grace mengikatnya dengan gaya ponytail.
“Edwin. You look so beautiful. Dan kayaknya kita pernah ketemu nggak sih?” ucap Edwin sembari mengulurkan tangannya, nada bicaranya terdengar tidak yakin.
Penampilan Grace hari ini memang sangat menarik walaupun terlihat sederhana. Ia memakai ripped jeans yang dipadukan dengan kemeja putih oversized by Zara. Tak lupa ia menggunakan Valentino rockstud dan Chanel classic flap favoritnya. Grace hanya tersenyum tipis, tentu saja mereka pernah bertemu. Tangannya membalas Edwin sekilas. “Mungkin kamu salah orang.” pungkas Grace.
“Oh iya. Kenalin, dia namanya Gio. Gi, ngelamun mulu lo. Ini ada yang mau kenalan.” ujar Edwin sambil tertawa. Ragu-ragu Gio mengulurkan tangannya pada Grace yang sudah menetralkan air mukanya. Menjabatnya pelan seraya memastikan bahwa kejadian ini bukan sekadar mimpi. Jemari besarnya menelisik tangan Grace yang sedikit kasar. Entah apa saja yang sudah dilalui Grace selama ini.
“Gio.” ucap Gio hampir berbisik. Dirinya bahkan tidak sanggup untuk mengucapkan namanya secara lantang.
Sementara di lain sisi Grace justru menjabat tangan Gio dengan percaya diri. Ia ingin menunjukan bahwa dirinya sudah berbeda. “Grace.” balasnya dengan memberi penekanan di suaranya. Ia sudah bukan Grace yang sama dengan Grace sepuluh tahun lalu. Bukan Grace yang terlalu cengeng untuk melawan kerasnya hidup. Yang ada sekarang hanyalah Grace dengan pendirian seteguh karang dan hati sekeras baja.
Tak terasa Gio meremas tangan Grace, tatapannya penuh kerinduan dan penyesalan. Bahkan tadi ketika ia melihat Grace pertama kali seketika kakinya lemas, terlalu shock menemukan fakta bahwa adiknya datang. Sama seperti bertahun-tahun lalu ketika mereka masih remaja, Grace selalu datang untuk membujuk Gio bertemu Selena. Matanya tak dapat berpaling dari sosok yang paling ia inginkan maafnya setelah ibunya. Mata itu, sudah tidak memencarkan kesedihan dan harapan yang besar. Kini hanyalah tatapan tajam yang selalu terpancar. Jelas, sepuluh tahun sudah dilewati. Tentunya banyak sekali perubahan yang terjadi seperti pada Gio.
Grace terlihat seperti wanita mandiri yang telah banyak ditempa. Gio yakin, Grace yang ada di hadapannya adalah Grace yang sudah lulus dalam banyak ujian untuk tiba di titik ini. Tuhan sepertinya sengaja membawa pergi Grace untuk sementara waktu agar ia kuat ketika harus dipertemukan kembali dengan Gio. Ia tahu persis itu meski baru bertemu lagi. Jangan lupakan satu fakta bahwa Gio adalah satu-satunya kakak yang dimiliki Grace. Edwin menepuk tangan Gio karena belum melepas jabatan tangannya dengan Grace. “Itu tangannya tolong dikondisikan, tahu aja cewek cakep.” katanya seraya tertawa diikuti Rebecca dan senyuman miring Grace.
“Kalau Grace lagi sibuk apa?” tanya Edwin begitu tawanya usai.
Grace baru akan membuka mulutnya saat Rebecca lebih dulu menyahuti, “Grace dokter juga. Cuma kalau dia dokter bedah, kita kerja di rumah sakit yang sama. Di Princess Alexandra Hospital.” Edwin terlihat tertarik.
“Wah, dokter bedah. Rada serem ya,” Rebecca tertawa menimpali hingga setelah itu mereka larut dalam pembicaraan mengabaikan Grace yang hanya diam menatap orang-orang yang tampak asyik mengobrol dan Gio yang sibuk memandangi adiknya setelah satu dekade tidak bertemu. “Maaf.” ucapnya pelan.
Alis Grace terangkat. “Buat apa?” sahutnya pura-pura tidak mengerti. Bibirnya terkatup rapat menandakan ia tidak mau jika perkataannya diketahui banyak orang.
“Kesalahan abang dulu. Abang minta maaf.” Gio menatap Grace dalam. Pancaran penyesalan terlihat jelas di kedua matanya yang meredup.
Wanita itu menatap lurus iris mata Gio. Wajahnya datar tanpa ekspresi. “Saya nggak ngerti apa maksud kamu. Dan kenapa kamu panggil diri sendiri abang?”
Tangan Gio terulur hendak menyentuh tangan Grace sebelum wanita itu mengangkat tangannya menghentikannya. “Don't touch me.” ujar Grace sebelum pergi dari sana.
Redupnya pandangan Gio yang mengikuti kemana Grace pergi seolah mewakili luka di hatinya karena penolakan dan sikap Grace tadi. Gio sadar, he deserves it. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja. Selama sepuluh tahun mencari Grace dan kini Gio sudah menemukannya. Ia berharap ini adalah jalan yang diberikan Tuhan untuk memulai perjuangannya. Dan Gio tidak akan membuang kesempatan ini sia-sia.
Gio bersyukur Grace-nya baik-baik saja. Walaupun sekarang ia bersikap tidak mengenal Gio, pria itu mengerti. Semua ini memang salahnya. Dalam hatinya ia sangat ingin memeluk Grace. Namun, hal itu sangat tidak mungkin mengingat ada banyak orang di sini. Setidaknya ia sudah tahu di mana Grace bekerja. Ya, ini waktunya berjuang.
***
“Gi, lo kenapa sih? Perasaan sejak ketemu si Grace lo ngelamun mulu. Naksir lo ya?” seru Edwin menggoda Gio. Fanmeeting sudah selesai satu jam yang lalu. Namun, Gio masih saja memandang kosong foto Grace yang diambilnya diam-diam dan langsung dijadikan wallpaper di ponselnya.
Melihat Gio yang hanya diam, Edwin ikut melihat ponsel Gio. Sontak ia berseru sampai membuat ketiga sahabatnya penasaran. “Wah! Gercep juga lo! Ternyata selera lo yang dokter-dokter gitu.” tawa Edwin menggelegar hingga mengundang perhatian ketiga temannya.
“Kenapa si Gio?”
“Cakep kagak ceweknya?”
“Berisik.”
Gio masih tetap tidak menggubris keempat temannya. Jempolnya mengelus lembut wajah Grace yang sedang serius menyimak cerita sahabatnya. Melihat mata tajam yang meneduhkan itu membuatnya teringat usaha Grace yang selalu mengikuti segala event The AB dulu hanya untuk bertemu dengannya dan memintanya menemui Selena walaupun sebentar saja. Pertengkaran hebat itu adalah kali terakhirnya berbicara dengan Grace. Kata-kata yang sangat tidak pantas keluar dari mulutnya meluncur begitu saja merusak semua hingga sekarang. Penglihatannya memburam mengingat Grace tadi.
“Eh, lo kenapa Gi?” tanya Bagas khawatir karena ia melihat Gio menyeka matanya yang memerah.
Gio tersenyum hambar. “Adik gue. She's my sister.”
Bagas, Cleon, dan Dante saling berpandangan. Sementara Edwin yang sedang minum langsung tersedak diikuti Dante yang langsung bergerak cepat menepuk punggungnya. “Maksud lo, adik lo yang dulu itu? Coba gue lihat fotonya yang sekarang.” tanya Cleon penasaran. Ia langsung merapat ke sebelah Gio. “Gue nggak punya. Ini gue ambil diem-diem saking nggak berani buat foto bareng. Gue pengecut banget, 'kan?” katanya tertawa hambar.
“Sorry nih, Gi. Sejak kejadian dulu kalian benar-benar nggak ada komunikasi sama sekali?” Edwin membesit ingus yang keluar karena tersedak hebat tadi. Lagi-lagi Gio menggeleng lemah. Pesimis. “Lo tahu sendiri dia langsung menghilang gitu aja.”
Dante berdecak. “Nah, 'kan. Padahal waktu itu si Cleon bilang jangan sampai lo nyesel. Eh, beberapa hari kemudian penyesalan menghantui lo sampai sekarang, 'kan?”
“What should I do? Tadi gue sempat minta maaf, tapi sikap dia bener-bener beda. Bukan Grace yang dulu.” ujar Gio tersenyum kecut.
Bagas menepuk pundak Gio memberinya semangat. “Nggak ada kata terlambat buat minta maaf. Masalah si Grace tolak lo atau usir lo, ya sekarang waktunya lo berjuang. Lo nggak inget apa, dulu dia selalu pakai cara apa pun supaya bisa ketemu lo. Nah, sekarang waktunya.”
Dante tersenyum miring. Pikirannya terlempar pada beberapa tahun lalu ketika Grace bertengkar hebat di backstage kala itu. “Gue jadi inget. Kalau nggak salah dulu pas kalian tengkar yang terakhir, gue denger Grace bilang semoga keadaan waktu itu nggak terbalik. Emang takdir nggak ada yang tahu ya.”
“Udah, sambil lo mikir gimana caranya mending kita hangout dulu. Terakhir jalan kita bulan lalu 'kan?” Edwin merangkul Gio seraya memainkan alisnya yang terlihat begitu menggelikan.
Gio bergidik mendengar ajakan Edwin. “Gue bukan homo, ya!”
***