A Careless Tongue Can Be Dangerous Than A Sword

2100 Words
Grace mematut dirinya di depan cermin. Peggedpants bermotif glen check dipadukan dengan turtle neck sweater cukup membuatnya terlihat menarik. Rambutnya seperti biasa hanya digerai dengan gelombang di ujungnya. Make up simple dengan sentuhan Dior Rouge 999 yang memberikan kesan seksi pada wanita berusia dua puluh delapan tahun itu. Grace menuntun langkah menuju walk in closet untuk mengambil tas dan memakai flat mules dari Gucci hadiah dari Laura, tantenya. “Perfect.” simpulnya kemudian bergegas pergi ke rumah sakit. Kepala Grace sesekali mengikuti alunan musik seraya mengemudikan Audi miliknya dengan kecepatan sedang, hari ini jadwal praktiknya di Princess Alexandra Hospital. Jarak dari apartemennya ke rumah sakit memakan waktu satu jam saat jalanan lancar dan satu setengah jam saat macet. Dan sepertinya kali ini Grace sedang beruntung karena jalanan ramai lancar. Hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit untuk sampai di rumah sakit. Setelah menyelesaikan masalah parkir, Grace bergegas menuju ruangannya. Dua jam dari sekarang ia ada jadwal *appendectomy. Jadi ia dapat menggunakan waktu satu jam untuk memakan caesar salad yang sudah dibuatnya tadi. Grace membalas sapaan suster atau sesama rekannya ketika berpapasan dengan mereka. Ia tersenyum tipis ketika melihat beberapa orang memerhatikannya secara gamblang. Langkah wanita itu memelan begitu melihat seorang pria dengan menggunakan cap hat dan masker sudah duduk di kursi tunggu depan ruangannya. Begitu pandangan mereka bertemu, pria itu segera berdiri dan berjalan ke hadapan Grace. Grace mengangkat kedua alisnya bingung. Tertawa kecil dalam hati. Mari kita lihat drama yang mau dia lakuin. Pria itu melepaskan maskernya hingga kini Grace dapat mengetahui siapa sosok di balik masker itu. “Grace, bisa kita bicara sebentar?” katanya basa-basi. Sudah hampir satu jam ia duduk di depan ruangan Grace menunggunya datang. Grace berdehem. “Kalau anda ingin berkonsultasi, jam kerja saya masih dua jam lagi.” ia segera pergi dari hadapan pria itu. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti karena Gio mencekal tangannya. Grace berusaha menyentak tangannya. Ia tidak mau Gio merusak moodnya. “Saya nggak bisa dan nggak mau. Better kamu pulang, saya nggak butuh dongeng kamu.” pungkas Grace kemudian berniat masuk ke ruangannya. “Please, Grace. Let me talk to you for just a moment. Abang janji nggak akan lama, Grace.” mohon Gio dengan tatapan sendunya. Grace menghela napas kemudian membuka pintu ruangannya. Ia memilih untuk mendengar penjelasan Gio. Ayo kita dengar karangan cerita aktor papan atas Indonesia. Batin Grace jahat. Ya, walaupun akan terasa sia-sia. “Masuk sebelum saya berubah pikiran.” Gio tersenyum lega kemudian langsung mengikuti Grace masuk. Mereka duduk berhadapan di meja kerja Grace. Masih sama-sama diam. Grace yang menunggu Gio dan Gio yang sibuk mempersiapkan kata-kata yang tiba-tiba menghilang. “How's life?” “Very good.” mendengar nada dingin dan gaya bicara Grace membuat Gio meremas tangannya yang dingin. Padahal ia hanya berhadapan dengan adiknya sendiri, tetapi Gio gugup setengah mati. “Maaf.” akhirnya kata itu keluar. Kata yang sejak sepuluh tahun sudah ia siapkan hanya untuk Grace dan Selena. Kata yang berulang-kali Gio rapalkan dalam hati hampir setiap malam selama sepuluh tahun belakangan ini. Kening Grace mengerut seolah bingung. “Buat apa?” sahutnya tanpa minat. Tembok ruangan lebih menarik minatnya dibanding paras tampan kakaknya yang diidamkan oleh perempuan-perempuan di Indonesia. “Abang mau minta maaf walaupun rasanya ini sudah sangat sangat terlambat. Maaf, buat semua yang udah abang lakuin. Abang nggak bisa ngomong apa-apa selain maaf. Abang cuma pengen minta maaf. I'm so sorry, Grace.” ucap Gio. Sorot sendunya yang benar-benar menyiratkan penyesalan sempat membuat hati Grace sedikit tergelitik. “Saya beneran nggak ngerti maksud kamu. Ngapain minta maaf kalau nggak salah?” ucap Grace dengan tenang. Kini Grace bukan lagi gadis cengeng yang tidak bisa menyembunyikan emosinya. Ia bisa menjadi setenang air, tetapi juga bisa menjadi setajam samurai di saat yang bersamaan. Gio menggenggam tangan Grace yang berada di atas meja. “Abang yakin kamu nggak mungkin lupa masa lalu kita. Please, jangan bersikap seperti ini. Maafin abang yang dulu. Abang yang bodoh dan t***l sampai membuat semuanya kacau. Abang minta maaf, Grace.” Grace menarik tangannya kemudian melipatnya di depan d**a, tatapan tajamnya menghunus tepat mata teduh Gio. “Ya, memang semua itu nggak akan pernah saya lupakan. Faktanya, semua perlakuan dan kalimat-kalimat kamu masih begitu segar dalam ingatan saya. Tapi maaf kamu nggak berguna sekarang. Atau kamu kayak gini karena nggak ada orang yang mau kamu panggil ibu?” ujarnya yang berhasil mengenai tepat di titik lemah hati Gio. Pria itu menggeleng. “Enggak, Grace. Posisi mami nggak akan terganti di hati abang. Abang hanya punya satu mami, Mami Selena. Mami kita.” sanggahnya dengan hati yang terasa diremas oleh setiap kata yang keluar dari mulut adiknya. Grace tertawa mendengar jawaban lucu Gio. Apa katanya? Mami kita? Apa pria itu sedang halusinasi? “Kalimat kamu tadi bagus, tapi sayangnya saya nggak peduli.” Grace menggeleng setelah meredakan tawanya. “Lagi pula Algio, perlu saya ulangi kata-kata kamu sepuluh tahun lalu di ruang ganti waktu itu? Kamu yang bilang tidak sudi punya ibu seperti Selena. Dan sekarang kamu bilang Selena adalah mami kamu? Mami kita? Sorry ya, beliau mami saya. Bukan ibu kamu. Saya yang nggak mau berbagi ibu sama kamu. “Dan kalau kamu lupa, kita nggak ada hubungan apa pun. Jadi kamu jangan mengaku abang sama saya karena kita bukan saudara. Ibu saya tidak punya anak lain selain saya. Jangan karena nggak ada orang lain yang mau dianggap ibu sama kamu, kamu jadi menganggap ibu saya sebagai ibu kamu juga. Saya nggak sudi kita saudaraan. So, jangan temui saya lagi. Okay?” *** “Kenapa lo Grace? Tumben kusut muka lo.” celetuk Rebecca ketika menemukan dirinya di kantin rumah sakit. Grace mengacak rambutnya singkat seraya mengangkat bahu. Tadi setelah berbicara dengan Gio, ia langsung pergi meninggalkan Gio yang terpekur. Mungkin omongannya terdengar sedikit pedas dan menohok, tapi semua itu terucap begitu saja dari mulutnya. Emosi di hatinya yang membuat Grace mengeluarkan kata-kata yang mungkin terdengar jahat. Namun, perkataan Gio berhasil membangunkan amarah, kecewa dan benci yang selama ini berhasil ia simpan. Grace pun bingung jika ditanya bagaimana perasaannya sekarang. Menyesal? Tidak mungkin! “Woi! Malah bengong lagi. Lo kenapa sih, Grace? Cerita deh sama gue.” Rebecca yang menjentikan jarinya di depan wajah Grace otomatis membuatnya tersadar kembali. Cerita ya? Rebecca memang belum mengetahui apa pun tentangnya dan Gio. Memang sih, Grace berencana memberitahu sahabatnya itu karena mau bagaimana pun sepintar-pintarnya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Dan ia juga merasa ini seperti bom waktu yang cepat atau lambat akan meledak. Tapi tidak di sini, di kantin rumah sakit yang terdapat banyak orang ini. “Ya ampun, Grace! Sumpah deh, lo kenapa sih? Galau banget elah.” desak Rebecca lagi. Perempuan itu sudah terlihat tidak sabar dengan sikap Grace yang hanya melamun kemudian tersadar karenanya dan kembali melamun. “Gue mau cerita, tapi di sini terlalu ramai.” ucap Grace akhirnya. Rebecca langsung membulatkan matanya kemudian mengangguk dengan semangat. “Gue ke apart lo ya nanti malem! Bikinin gue pie ya Grace? Gue ngidam pie blueberry lo yang super enak itu!” pintanya dengan puppy eyes yang langsung membuat Grace ingin melempar stiletto yang sayangnya sedang tidak ia pakai. ***             “Iya, tadi siang dia datengin aku ke rumah sakit. Sejak kemarin ketemu dia di fanmeeting dia selalu datengin aku buat minta maaf.” Grace menjawab pertanyaan Liam sembari memandang gemerlap lampu kota melalui balkon apartemennya.             “Terus kamu gimana?” tanya Liam lagi, ingin tahu seperti apa respon kekasihnya ini.             Grace menarik napas, tubuhnya menyandar pada tembok dengan pandangan lurus. “Kamu tahu jawabannya. Aku nggak mau dan nggak akan maafin dia. Apa dia nggak tahu seberapa sakitnya aku dulu?”             “Tapi, apa kamu nggak mau coba dengar penjelasan dia dan buka hati untuk maafin Gio, gitu?” Wanita yang rambutnya diikat rendah itu tersenyum sinis. Amarahnya bangkit lagi. Memaafkan, ya? Jawabannya tidak. Tidak akan Grace membuka hati untuk menerima maaf dari Gio. Sekeras apa pun usaha pria itu jawaban Grace tetap sama. “Okay, aku maafin dia. Tapi apa dengan maafin Gio lalu luka di hati aku dan mami akan hilang? Enggak. Apa dengan maafin Gio akan buat mami bangkit dari kubur dan hidup sehat lagi? Enggak. Apa dengan maafin Gio akan bikin aku lupa dengan kalimat-kalimat kasar yang dilontarkan Gio dulu? Enggak, Liam. Enggak.” Liam menghela napas di sana. Kekasihnya ini memang keras kepala jika berhubungan dengan sesuatu yang dibencinya. Ketika Grace sudah membenci, maka jangan harap ia bisa dibujuk. Liam bukannya tidak tahu dengan apa yang menimpa keluarga Grace, ia tahu dan paham sekali bagaimana sulitnya Grace dulu. Wanita yang sekarang menginjak usia akhir dua puluhan itu juga membutuhkan waktu yang lama agar bisa membuka hatinya untuk Liam. Banyak sekali keyakinan yang dibangun oleh Liam untuk bisa membuka hati Grace. “Iya, memang enggak bisa. Aku tahu dengan memaafkan Gio nggak akan bisa memperbaiki apa yang udah terjadi, tapi berdamai dengan masa lalu itu bikin kamu lebih menikmati hidup.” “Kamu nggak tahu rasanya, Liam. Kamu nggak tahu karena bukan kamu yang dengar kalimat-kalimat itu. Aku lagi marah, so dari pada kita berantem karena Gio, lebih baik aku matiin dulu, love you.” Putus Grace kemudian melempar ponselnya ke sofa. Napasnya memburu karena emosi yang membakar hatinya sejak siang tadi. Sorot mata Grace tajam seraya menetralkan napasnya. Tidak ada yang mengerti betapa rusak hatinya karena kata-kata itu. Lukanya belum kering hingga saat ini meski sudah bertahun-tahun. Semakin ia melihat Gio semakin Grace membencinya. “Lo itu budeg atau apa, sih? Jangan cari gue lagi!” “Selena itu bukan ibu gue!” “Gue nggak sudi punya ibu kayak Selena!” “Lebih baik dia mati!” “Dia udah buang gue, Grace! Gue yakin lo nggak bodoh untuk tahu hal itu!” Mata Grace terpejam tatkala suara Gio memenuhi kepalanya lagi. Jemarinya meremat besi balkon erat, lelah dengan keadaan ini. Grace ingin hidupnya tenang tanpa Gio atau apa pun yang berhubungan dengan pria itu. Namun, sejak pertemuan mereka di fanmeeting beberapa waktu lalu semuanya seakan runyam. “Sialan.” lagi, Grace memaki. Entah memaki apa. Mungkin memaki hidupnya atau memaki Gio. Ternyata benar kata orang, mengikhlaskan dan melupakan jauh lebih sulit dari pada hanya sekadar memaafkan. *** “Grace gue bantu doa aja ya.” Rebecca terkikik di stool sambil memandang Grace yang sibuk membuatkan pie blueberry permintaannya tadi siang. Tiga puluh menit setelah mengobrol dengan Liam, Rebecca datang menagih cerita dan pie blueberry buatan Grace. Dengan tangan yang sibuk melapisi loyang dengan pie crust, Grace mendengus. Kemudian ia mengambil blueberry, cinnamon powder, sugar dan lemon yang telah disiapkannya lalu disodorkan pada Rebecca. “Nih, daripada lo nggak berguna kayak gitu mending lo campurin mereka semua terus lo aduk aja pelan-pelan. Jangan sampai blueberrynya rusak.” perintahnya. Rebecca mengacungkan jempolnya lalu mulai menuangkan gula, bubuk kayu manis dan memeras setengah buah lemon. “Grace, masa Dokter Andreas nembak gue coba.” keluh Rebecca walaupun perhatiannya tertuju pada mangkuk berisi blueberry. Sementara Grace yang sudah selesai memilih memerhatikan gerakan tangan Rebecca. “Dokter Andreas yang dokter anak itu? Terus lo jawab apa?” tanya Grace yang dijawab anggukan oleh Rebecca. Sembari memberikan mangkuk kaca kepada Grace, ia berkata, “Gue bilang minta waktu. Ya, lo tahu 'kan Grace gimana track record dia selama kita di PA yang katanya dia itu playboy kelas ikan teri? Ya walaupun cuma dari mulut ke mulut sih.” Grace mengangguk. Tangannya berusaha menyingkirkan rambut yang menjuntai di wajahnya. “Tapi kok tiba-tiba banget? Maksudnya selama ini dia nggak terlalu sering berinteraksi sama lo, 'kan?” “Iya sih. Cuma belakangan ini dia lagi deketin gue gitu, tapi gue nggak expect dia bakal nembak gue. Gercep banget.” “Menurut gue mending lo kenalan aja dulu. Kalau lo nyaman sama dia, lo bisa lanjut. Atau kalau mau ya langsung aja tanya ke orangnya dia beneran playboy atau enggak.” Grace berucap panjang lebar seraya membereskan dapurnya dan menunggu pie yang sedang di oven matang. “Grace, lo kok jadi bijak sih? Grizelle Teguh ini sudah cocok jadi motivator loh,” ledek Rebecca dengan tertawa kecil. Menggoda Grace dalam salah satu hobinya. “Gini nih temen nggak tahu diri.” Rebecca tertawa kencang mendengar gerutuan Grace. “Eh iya, lo katanya mau cerita Grace? Gue kepo nih.” Setelah mencuci tangannya, Grace menarik kursi di sebelah Rebecca dan mulai menyusun cerita. “Apa pun yang mau lo tanyain, tunggu gue selesai. Jangan dipotong.” Rebecca mengangguk cepat. “Buruan Grace! Gue mati penasaran ini.” Grace menghela napas pelan. *** *Appendectomy adalah operasi yang dilakukan pada penderita usus buntu. Ketika diagonisis apendisitis telah dibuat atau memang dicurigai, maka perlu diadakan operasi apendektomi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD