Sorakan the readers—sebutan untuk penggemar The AB—begitu memekakan telinga memenuhi seluruh penjuru studio di mana konser band yang tengah digandrungi di tanah air itu digelar. Di panggung sudah ada lima orang yang bersiap di posisinya masing-masing. Algio sebagai vokalis, Bagas sebagai bassis, Cleon sebagai Keyboardis, Dante sebagai drummer, dan Edwin sebagai gitaris. Karena nama mereka yang berurutan itulah sebabnya mereka disebut Alphabet Band atau biasa disingkat The AB.
Algio, yang biasa dipanggil Gio tersenyum takjub pada ribuan the readers yang menyerukan nama idolanya masing-masing dengan berbagai poster dan lightstick yang diangkat tinggi-tinggi. Ia memberikan aba-aba pada teman-temannya untuk segera memainkan lagu pertama mereka. Para penonton yang didominasi kaum hawa itu semakin menggila melihat idolanya tampil dengan penuh kharisma.
“Mami! Sini, nonton abang!” pekik Grace dengan mata yang terus menatap layar kaca di depannya tanpa berkedip. Ia dengan setia duduk di depan televisi demi menonton abangnya mendendangkan lagu-lagu yang memanjakan telinga. Tak lama sosok yang dipanggil mami, datang tergopoh dari dapur. Dengan mengenakan daster batik dan kain lap yang tersampir di bahunya. “Ada apa sih, Grace?”tanyanya meminta penejelasan.
Grace menoleh sambil tersenyum lebar kemudian menunjuk televisi dengan volume yang kencang. “Itu Mam! Ada abang! Ya walaupun kita belum bisa ketemu, tapi yang penting kangen kita udah terobati.” ujarnya penuh semangat.
Selena mengikuti arah tangan Grace, di sana ia melihat putra sulung yang selalu ia banggakan berdiri sambil mengalungi gitar dan bernyanyi merdu bersama keempat temannya. Senyuman haru terbit di wajah Selena, dengan gesit ia ikut memposisikan diri di samping Grace. Lengannya merangkul Grace hangat. Tanpa sadar sebulir air mata mengalir melihat Gio sudah sukses seperti sekarang di umurnya yang baru menginjak dua puluh satu tahun meskipun tanpa sosok ibu.
Selena dan Rahardian—suaminya—sudah berpisah sejak Gio berumur tujuh tahun dan Grace berumur empat tahun karena perselingkuhan Rahardian dengan mantan kekasihnya. Meski hak asuh anak ada di tangannya, Selena membuat kesepakatan agar mantan suaminya itu membawa Gio hidup bersama. Sedangkan Selena membawa Grace dan membiarkannya tumbuh tanpa figur seorang ayah. Terkadang ia menyesal karenanya, Gio tumbuh dengan ibu tiri dan Grace yang masih butuh bimbingan ayahnya justru tidak mendapatkannya. Namun, Selena bersyukur Grace tidak pernah menanyakan papinya. Meski kadang hatinya nyeri melihat putri bungsunya yang harus dipaksa untuk dewasa.
Selena menoleh saat merasakan usapan di punggungnya. Di sampingnya ada Grace yang tersenyum menenangkan. Ia tahu Selena pasti sedang teringat perceraiannya dengan Rahardian. “Mami jangan mikir yang macam-macam, nanti mami ngedrop lagi. Kita senang-senang nonton abang aja. Eh, ini jam berapa? Mami udah minum obatnya 'kan?”
Selena mengangguk, ia menjawil hidung Grace lembut denagn senyuman lembut yang selalu terukir ketika menatap Grace. “Udah, Sayang. Kamu ini cerewet banget, sih?”
Grace merengut, bibirnya mengerucut membuat Selena tertawa gemas. “Ih, Grace cuma nggak mau mami masuk rumah sakit lagi. Grace nggak suka kalau harus sendirian di rumah, lagian mami nggak izinin Grace jagain mami kalau di rumah sakit.” katanya membuat alasan.
Wanita yang umurnya telah menginjak angka empat itu mengusap punggung tangan Grace lembut. “Sayang, kamu harus mulai terbiasa. Nanti kalau mami udah nggak ada gimana?”
Secepat kilat Grace menggeleng. Lagi-lagi ibunya melontarkan kalimat horror itu lagi. Ia tahu sakit yang diderita ibunya merupakan penyakit yang bisa merenggut nyawa, tetapi Grace begitu benci jika Selena sudah membicarakan kematian. Gadis itu tidak akan pernah siap jika waktunya datang. “Mami apaan sih? Mami pasti sembuh! Grace nggak suka ya, mami ngomong kayak gitu!” protes Grace. Ia segera memeluk Selena erat, ia sangat menyayangi Selena lebih dari apa pun. Grace tidak bisa membayangkan kehidupannya tanpa Selena.
***
“Eh, tau nggak sih, The AB mau ngadain fansign buat promosi album baru mereka, astaga!” seruan heboh teman di depannya membuat Grace mengalihkan pandangan dari buku kedokteran yang dipinjamnya dari perpustakaan. Mendengar band milik kakaknya disebut, fokus Grace terpecah. Ia memilih untuk menutup buku dan mendengarkan dengan cermat.
“Masa sih?! Wah, gak mau tau gue wajib berangkat buat ketemu suami gue my love Edwin!” seru salah satu teman dengan antusias. Binar bahagia terlihat jelas di bola matanya.
Cherry—orang yang mengabarkan berita ini—mengusap wajah teman sebangkunya kasar. “Ngarep lo! Si Edwin yang manis sipit gitu ogah kali sama lo yang buluk gini.” katanya mencibir dengan senyuman miring yang tampak meremehkan.
“Ih, Cherry! Lo gak bisa apa, biarin temen lo ini seneng sebentar? Emang yakin banget kalau si Gio mau sama lo?” sungut Indah tak terima.
“Eh! Ya jelas dong Gio mau sama gue! Lagian kecantikan gue tak terkira!” balas Cherry sama ngototnya. Keduanya terlihat adu mulut setelahnya menedebatkan idola masing-masing.
Grace yang mendengarnya hanya tersenyum kecil seraya menggeleng maklum. Ia berpikir ini bisa menjadi kesempatannya untuk mewujudkan keinginan Selena bertemu Gio setelah lebih dari sepuluh tahun tidak bertemu. Ia langsung mencari tahu harga tiket di mesin pencarian. Grace sedikit mengelus d**a melihat tiket yang cukup mahal itu, namun tidak apa-apa. Grace dapat menggunakan uang tabungannya yang cukup untuk membeli satu tiket.
Ia penasaran bagaimana reaksi Gio ketika melihatnya. Apa Gio masih ingat kalau dirinya mempunyai seorang adik perempuan? Apakah Grace harus mengenalkan namanya dulu? Atau mungkin Gio masih ingat kenangan saat mereka masih tinggal bersama karena Grace sudah lupa semuanya mengingat ia berpisah dengan Gio saat umurnya baru menginjak empat tahun? Jika Gio mengingatnya, Grace ingin abangnya itu untuk tentang masa kecil mereka. Oh, dan jangan lupa sampaikan kalau Selena begitu merindukan Gio. Grace tersenyum lebar tidak sabar menunggu hari itu tiba.
Beberapa hari kemudian....
Di sinilah Grace. Berdiri di antara puluhan orang menunggu giliran untuk maju ke panggung dan bertemu dengan The AB. Di sebuah ruangan dengan lagu The AB yang mengiringi kegiatan mereka. Tinggal beberapa orang lagi di depannya dan Grace bisa bertemu secara langsung dengan Gio. Gadis dengan rambut sepunggung itu menautkan jemarinya yang dingin entah karena efek AC atau karena ia terlalu gugup. Ia berdiri dengan hanya membawa poster karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli album mereka. Acara ini diadakan dalam angka anniversary The AB yang ke tiga tahun.
Senyuman lebar selalu terpatri di bibirnya mengingat bagaimana kira-kira ekspresi Gio nanti melihat adiknya yang dulu masih kecil sekarang sudah tumbuh menjadi gadis berumur delapan belas tahun. Di atas sana mereka duduk sesuai urutan nama mulai dari A untuk Algio dan E untuk Edwin. Gio tersenyum lebar menyambutnya. Ia mengambil poster yang dibawa Grace kemudian membubuhkan tanda tangan di permukaannya. “Halo, namanya siapa?” tanya Gio sembari tangannya membubuhkan tanda tangannya.
“Grizelle Alexandra Maheswara, Abang.” Grace mengucapkan namanya dengan percaya diri tak lupa senyum yang masih terbit indah.
***
Semilir angin malam yang menusuk tulang tak menghalangi niat pemuda itu untuk duduk di bangku taman mengenang kehidupannya selama dua puluh satu tahun. Ia mengacak rambutnya kesal tatkala harus kembali mengingat perjalanan hidupnya yang ingin ia lupakan. Tiba saatnya ingatan Gio terlempar pada kejadian tadi siang. Gio tentu ingat sekali denan nama itu. Nama adik satu-satunya yang kini entah tinggal di mana Gio tidak tahu dan tidak ingin tahu. Siang tadi ia begitu terkejut melihat Grace yang terakhir dilihatnya masih berumur empat tahun tiba-tiba berada di depannya. Ia percaya kalau gadis itu adalah adiknya yang dulu. Namun, entah mengapa ketika melihatnya tadi, amarah dan kebencian langsung mencuat di hati Gio. Lelaki itu tahu Grace tidak bersalah, Grace tidak tahu apa-apa saat itu. Gio juga tidak tahu kenapa saat melihat wajah Grace ia ingin melampiaskan semuanya kepada gadis itu.
Dulu Grace adalah prioritas kedua setelah Selena begitu ia tahu Rahardian menyakiti ibunya. Gio berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melindungi Grace apa pun yang terjadi. Ia tidak mau Grace sampai tahu kehancuran keluarganya karena pada saat itu usia Grace masih sangat kecil. Gio ingin Grace hidup seperti teman-temannya. Namun, semua janji itu berubah ketika suatu malam Selena datang ke kamarnya.
“Abang, kenapa belum tidur?” tanya Selena saat menemukan Gio masih terjaga di kamarnya. Ia berjalan mendekati ranjang Gio dan ikut berbaring disana.
Gio menggeleng, rasanya malam ini kedua matanya sangat sulit terpejam. Bayangan pertengkaran orang tuanya tidak bisa hilang dari ingatan. Lelaki kecil itu takut, tetapi ia tidk mengerti akan hal yang ditakutinya. “Kita akan baik-baik aja 'kan, Mi?”
Selena mengangguk ragu. Ia memeluk Gio dan mencium puncak kepala Gio dalam. “Don't worry, Honey. Everything's will be okay.” lirihnya.
Ya, setidaknya ia ingin memastikan semuanya akan baik-baik saja untuk Gio dan Grace. Meskipun ada setitik bagian dari hatinya yang meyakini hal itu takkan terjadi. Selena tahu keputusannya akan menyakiti banyak orang dan menjadikan Gio dan Grace sebagai korban. Namun wanita itu sudah tidak tahan dengan semua ini. Perlakuan Rahardian yang semakin hari semakin tidak menghargai kehadirannya sebagai seorang isteri. Belum lagi fakta yang membuat Selena merasa dipukuli berulang kali oleh balok tak kasat mata. Fakta bahwa Rahardian memiliki putra lain dengan mantan kekasihnya. Memang pernikahan mereka terjadi hanya karena pejodohan balas budi, tetapi apakah Selena tidak boleh meminta Rahardian agar fokus kepadanya saja?
“Kalau mami sama papi berpisah, Grace gimana? Gio mungkin udah ngerti, tapi Grace?” Gio mendongak memandang Selena dengan sendu.
Saat itu juga air mata Selena mengalir deras. Ia tidak menyangka Gio yang masih berumur tujuh tahun dapat berbicara begitu dewasa. Rasa bersalah merambati hatinya, Gio yang masih berumur tujuh harus mengerti permasalahan orang dewasa. Ucapan Gio semakin membuat Selena tidak tega pada putranya. “Gio dengerin mami, semua akan baik-baik aja. Mami dan papi akan selalu menyayangi Gio dan Grace apa pun yang terjadi. Cukup itu yang harus Gio ingat kuat-kuat. Begitupun Grace, dia pasti akan baik-baik aja. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Everything's will be okay, Sayang. Gio percaya sama mami 'kan?” pesannya.
Gio mengangguk. “Hanya mami, tidak dengan papi. Sekarang Gio cuma punya mami. Gio benci papi karena udah buat mami nangis.” setelah itu Gio memeluk Selena dan tertidur disana. Selena tergugu dalam tangisnya seraya memeluk erat Gio. Tanpa diketahui Gio, niat Selena ke kamarnya malam ini adalah untuk membereskan keperluan Gio karena rencananya malam nanti Rahardian akan membawa Gio pergi ketika lelaki kecil itu tertidur.
Mengingat itu membuat Gio mengeraskan rahangnya. Kebingungan langsung menyeruak hatinya saat Gio terbangun dan ia tidak berada di kamarnya. Saat itu membangunkan Gio bukan Selena, melainkan seorang perempuan asing yang mungkin berusia sama dengan ibunya. Wanita itu mengaku sebagai ibu barunya. Wanita itu, Siska yang hingga kini menggantikan peran Selena di hidupnya. Selena yang tidak Gio ketahui sekarang berdiam di mana bersama Grace. Kecewa, marah, dan rasa terbohongi langsung menyelimuti hatinya. Ia merasa dikhianati oleh Selena. Sejak saat itu Gio berubah, ia merasa Selena tidak sayang kepadanya sehingga meminta Rahardian membawanya. Yang lebih buruk, semakin Gio dewasa kebencian itu justru kian memenuhi relung jiwa.
Kilasan masa lalunya terhenti ketika merasakan seseorang duduk di tempat sebelahnya yang masih kosong. Gio hanya melirik Abi—manajernya—sebentar kemudian kembali menatap taman di depannya. “Anak-anak bilang lo aneh setelah dari fansign. Lo tahu lo bisa cerita apa pun sama gue.”
Gio menyandarkan tubuhnya di kursi kemudian melipat tangan di d**a, membuang napas panjang seraya menatap hamparan rumput di depannya. “Di fansign tadi, adik gue jadi salah satu dari the readers. Kita terakhir ketemu waktu dia umur empat tahun. Dia tiba-tiba datang dan bilang gue harus ketemu nyokap.”
Abi berdehem. “Terus lo gimana?”
Gio mengangkat bahunya tak acuh. “Gue nggak peduli lagi sama mereka, Bang. AB lebih penting. Lagian gue nggak berniat ketemu mereka lagi, lo tahu sendiri ceritanya gimana, Bang.”
Abi menatap Gio lekat. Ia tahu semua cerita hidup Gio maupun anggota lainnya. Gio dan yang lainnya percaya bahwa Abi tidak akan menyebarkan kisah hidup mereka walaupun pada sesama anggota. Abi begitu menjunjung tinggi keterbukaan. Dan menurut Abi keterbukaan diawali dari kepercayaan. Lagi pula usia Abi yang hanya berjarak tujuh tahun dari mereka membuat Abi bukan hanya menjadi seorang manajer, tetapi juga menjadi seorang kakak yang selalu berusaha menuntun adik-adiknya agar tidak berada di jalan yang salah.
“Gue boleh ngomong?”
Gio menoleh lalu mengangguk. “Sure.”
“Gue mungkin nggak tahu gimana rasanya jadi lo. Tapi sebenci-bencinya lo sama nyokap, dia yang udah buat lo bisa liat dunia. Gue yakin, nyokap lo juga pasti punya alasan kenapa dia lakuin itu. Berdamai sama masa lalu bakal buat lo lebih menikmati hidup. Gue nggak mau lo nyesel nanti. Pikirin omongan gue baik-baik.” pria itu menepuk bahu Gio kemudian pergi meninggalkan Gio yang masih mencerna perkataan Abi.
***