“Setelah mami meninggal, Tante Laura-adiknya mami-bawa gue tinggal di Inggris sama keluarganya. Mereka bener-bener baik sama gue, mereka rawat gue, sekolahin gue. Lucunya pas gue mau balik ke Indo, mereka malah nggak izinin. Even Justin, sepupu gue malah mau ikut ke sini. Yah, gitu deh kehidupan gue.” tutup Grace setelah menjelaskan semuanya pada Rebecca yang sampai saat ini masih diam menyimak sambil menyuapkan pie yang tadi dibuatnya.
Rebecca diam. Bahkan gerakan tangannya menyuap pie sudah terhenti sejak tadi. Fakta apa ini? Kehidupan Grace di masa lalu begitu berat ternyata, atau mungkin hingga saat ini. “Gue speechless. To be exact, I didn't thought that you were Gio's little sister. Terus lo gimana sekarang?”
Grace mengangkat bahunya. Bagaimana? Ia juga tidak tahu. Tapi untuk memaafkan Gio, ia belum bisa. Entah sampai kapan, yang jelas Grace nyaman dengan hidupnya sekarang. “Gue nggak tahu. Rasanya masih terlalu sakit buat maafin dia. Yang jelas sampai sekarang gue belum bisa.”
Rebecca mengangguk mencoba memahami apabila ia berada di posisi sahabatnya. “Ya, gue ngerti. Itu hak lo. Tapi lo tahu gue di sini kalau lo butuh gue.”
Grace tersenyum menggoda Rebecca seraya merentangkan tangannya. “Ih, sweet banget sih anak orang. Sini peluk!”
Rebecca bergidik. “Jijik Grace!” pekiknya disusul tawa Grace.
***
“Gio ketemu sama Grace, Pi.”
Kalimat singkat itu mampu menimbulkan sensasi bahagia dalam diri Rahardian meski sudah beberapa hari yang lalu ia dengar dari mulut putra sulungnya. Akhirnya saat ini tiba, saat di mana Rahardian bisa melihat Grace lagi. Meski rasanya sudah sangat terlambat, tetapi tidak apa-apa. Ia sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bersama dengan Grace lagi. Jantung pria paruh baya itu berdebar menanti hari esok. Hari ketika Rahardian akan bertemu Grace lagi setelah berpuluh tahun tidak bertemu.
Senyuman selalu terukir membayangkan betapa cantiknya Grace saat ini. Bagaimana wajahnya, apakah lebih mirip dirinya atau Selena? Bagaimana sifatnya, apakah mirip Rahardian atau Selena? Bagaimana caranya tersenyum, apakah mirip dirinya atau Selena? Apakah Grace merindukannya? Atau justru…. Membencinya?
Rahardian takut. Ia sangat takut jika hal itu benar-benar terjadi. Wajar jika Grace membenci dirinya. Hanya saja Rahardian tidak siap. Orang tua mana yang mau dibenci oleh anaknya? Rahardian sudah bertekad akan menemui Grace besok. Bagaimanapun reaksi Grace, akan ia terima. Bahkan, jika Grace membenci aku? Batinnya ragu. Ya, bahkan jia Grace membenci Rahardian, dirinya siap. Kerinduan yang menumpuk di relung jiwanya tidak bisa terbendung lagi. Sudah terlalu lama mereka berpisah. Kini saatnya Rahardian menjaga Grace dengan seluruh kemampuannya.
“Tunggu papi ya, Nak. Besok papi temui Grace.”
***
Angin dingin selepas hujan tak membuat Grace gentar untuk duduk di balkon dengan mug berisi cokelat panas buatannya. Rebecca sudah pulang tiga puluh menit yang lalu. Ribuan lampu yang menerangi Jakarta Selatan pada malam hari menjadi pemandangan wajibnya setiap malam. Tak terkecuali malam ini. Walaupun sore tadi hujan mengguyur dan masih menyisakan rintik.
Grace duduk dengan menaikan kakinya di single sofa. Petrichor yang masih mendominasi justru menambah ketenangan. Deringan ponselnya membuat Grace menoleh. Senyuman kecil terbit di bibirnya. Liam, pria yang sudah menemaninya selama dua tahun ini. Ia menggeser layar hingga terpampang wajah Liam dengan guratan lelah di beberapa titik. Pria itu tersenyum hangat, senyum yang selalu menenangkan Grace ketika dulu ia sedang kalut.
“Hai, Love. Lagi ngapain?” suara lembut pria itu terdengar begitu indah di telinganya membuat Grace tersenyum.
“Hi, Bae. Nothing gonna do with a cup of coffee.” balasnya sembari memperlihatkan pada Liam ribuan lampu di depannya.
“Still at the hospital, huh?” tanya Grace karena melihat keadaan sekitar Liam.
Kekasihnya itu mengangguk. “G aku shift malem, makanya telepon kamu. Kamu gimana? Is there a story you wanna share with me?”
Grace menggeleng. “I'm totally fine. How about you?”
Liam tertawa geli. “I'm doing good, I just need to rest. But it's okay. Anyways, that someone somewhere is me, right? I miss you so much.” ujarnya tulus.
“I am still here waiting for you to come to me. Kamu betah banget di sana, kalau senggang kamu ke sini kek. Jangan bilang kamu lebih suka lihat cewek yang unyu-unyu di sana?” bibirnya mengerucut.
Liam ikut tertawa di seberang sana. “Aku cuma cinta sama kamu. Kalau masalah itu, belum tahu. Mungkin nggak di waktu dekat ini. Lagian nih Grace, cewek di sini kayak tiang listrik. Kurus banget. Pasti gak enak dipeluk.”
Grace tertawa. “Kamu mah suka out of the box. Di mana-mana itu cowok suka yang kurus.”
“Makanya habis ini kamu makan, biar nggak kayak girlgroup Korea.” setelah mengucap demikian, mereka berdua sama-sama terdiam. Saling menatap berusaha mengurangi rindu yang kian memuncak.
“Kamu lagi sedih ya, Grace?” tanya Liam tiba-tiba.
Dengan mengulum senyum Grace menjawab, “Iya nih, sedih karena LDR.”
Liam terdengar berdecak di seberang sana. “Tuh, bener. Di sini seharian hujan terus, langit ikut sedih karena kamu sedih. Jangan sedih-sedih dong, 'kan aku lagi nggak di sana. Nggak ada yang peluk deh kalau kamu lagi sedih.”
“Gombal aja kamu. Aku nggak beneran sedih kok. Cuma lagi suntuk aja.”
“Bentar ya Grace,” pamit Liam. Grace sempat mendengar seseorang berbicara pada Liam dengan Bahasa Korea yang tentu saja tidak dimengerti olehnya. Tak lama wajah Liam kembali terlihat.
“Bae, udah dulu ya. Ada pasien, korban kecelakaan. Miss and love you soo much.” Liam mengakhiri video call mereka dengan kecupan jarak jauh hingga ponselnya kembali ke tampilan default. Grace masih memandang ponselnya. Walaupun hanya saling bertukar kabar, namun bagi Grace itu sudah cukup.
Liam adalah tetangga apartemennya ketika masih berkuliah di Oxford dulu. Waktu itu Grace sedang sakit dan ia hampir saja pingsan apabila Liam tidak menemukannya. Kebetulan Liam seorang pria blasteran Indonesia-Korea yang tinggal di Indonesia-Ibunya warga negara Indonesia-dan menempuh pendidikan yang sama dengannya sehingga mereka menjadi dekat karena Liam yang merawat Grace kala itu. Liam yang memiliki selisih umur dua tahun dengannya sangat perhatian dan selalu bisa menjadi pelindung Grace.
Liam adalah pria yang berhasil membuat Grace terbuka mengenai masa lalunya. Liam adalah sosok pria sederhana yang mampu membuat Grace tertawa hanya karena lelucon garingnya. Liam adalah pria yang selalu membimbing dan membantu Grace dalam setiap kesulitan yang ia hadapi. Liam adalah pria sempurna bagi Grace. Semakin lama perasaan nyaman itu berubah menjadi sayang dan cinta. Beruntungnya perasaan gadis itu terbalas. Dua tahun yang lalu Liam menyatakan cintanya pada Grace di London Eye saat liburan musim dingin. Namun, setahun kemudian mereka harus long distance relationship karena Liam kembali ke kampung halamannya dan Grace yang menjalani adaptasi agar dapat bekerja di Indonesia.
Alunan musik yang terputar di stereo apartemennya berganti menjadi lagu Diary Depresiku milik band ketika masa kecilnya dulu. Lagu yang dengan mudah merubah suasana hati Grace. Bahkan ketika lagu baru di bait pertama air matanya sudah mulai menggenang. Ketika mendengar lagu ini Grace merasa seperti ikut larut. Walaupun tidak semua yang diceritakan lagu itu dialaminya, tetapi saat meresapi liriknya air matanya langsung menetes begitu saja.
Memang kehidupan remajanya dulu begitu kelam. Ia tidak merasakan apa yang seharusnya dilakukan oleh remaja seusianya. Dulu kegiatan Grace hanya dilakukan dengan belajar dan belajar untuk mengejar beasiswa agar tidak menyusahkan Selena yang bekerja keras untuk menghidupinya. Malam-malamnya tak jarang Grace habiskan untuk menangis mengalirkan rindu yang menyesakan.
Hujan disertai angin kencang dan petir tengah malam ini mengingatkan Grace pada Rahardian yang dulu-seingatnya-ketika Grace masih kecil dan ketakutan seperti malam ini akan memeluknya sambil menenangkannya di dalam kamar sampai ia terlelap. Air mata mulai berjatuhan dari matanya. Malam ini Grace harus kembali menekan kerinduannya yang meluap. Ia menekan dadanya berusaha mengurangi rindu pada Rahardian dan Gio yang sudah tidak pernah memberi kabar padanya sejak perceraian orang tuanya which means ten years ago.
“Grace kangen papi.” isaknya ditengah gelapnya suasana kamar.
Grace merasa seperti déjà vu sekarang. Ia memeluk lutut membiarkan air mata mengalir begitu deras di pipinya. Ia bahkan sudah tidak tahu bagaimana wajah Rahardian sekarang. Alamat tinggalnya pun tidak tahu. Sudah lebih dari dua puluh tahun mereka berpisah. Tidak munafik jika Grace seringkali merindukan sosok pria itu. Ada kalanya Grace iri melihat orang lain yang dekat dengan ayahnya, ia juga mau. Tidak jarang juga Grace menyalahkan hidupnya, menyalahkan takdir yang begitu jahat hingga tega membuat keluarganya hancur.
Apa boleh Grace berharap agar dirinya bisa melihat Rahardian meski hanya sebentar saja? Namun, ia juga bingung bagaimana harus bersikap ketika mereka bertemu suatu saat nanti. Bukan sekarang. Grace ingin ketika mereka bertemu semuanya sudah baik-baik saja termasuk luka di hatinya. Tidak apa jika lagi-lagi Grace harus menikmati kerinduan dan kesakitan ini sendirian. Tak dapat dipungkiri bahwa kebenciannya pada Rahardian dan Gio terkadang mengalahkan keinginannya untuk bertemu karena bagaimanapun mereka adalah keluarganya, jadi biarkan malam ini saja Grace meluapkan kerinduannya bersamaan dengan hujan yang kembali turun.
“Grace kangen papi.”
***
Seorang pria menatap nanar pintu di depannya. Jantungnya berdegub kencang disertai keringat dingin yang membasahi telapak tangan dan dahinya. Apalagi melihat papan nama yang terpasang di atas pintu kaca itu. Siang ini Rahardian memberanikan diri pergi ke rumah sakit di mana Grace bekerja. Tanpa diketahui Siska dan Gio. Putra sulungnya itu sudah memperingatkan Rahardian agar tidak menemui Grace dalam waktu dekat meski mereka tahu keberadaan Grace. Gio ingin mereka bertindak perlahan.
Dengan gemetar tangan Rahardian mengetuk pintu yang menjulang di depannya. Setelah meyakinkan diri, laki-laki dengan setelan Armani itu langsung membuka pintu dengan pelan. Tubuhnya seketika terpaku saat pandangan matanya bertubrukan dengan netra cokelat tajam seperti miliknya. Rahardian berusaha memasok udara sebanyak-banyaknya karena tiba-tiba dadanya terasa seperti terhimpit.
Begitu pula Grace, ia bingung karena tiba-tiba ada seorang pria paruh baya memasuki ruangannya ketika ia sedang membaca rekam medis milik salah seorang pasiennya. Apalagi ini sudah bukan jam kerjanya karena sudah berakhir dua puluh menit yang lalu. Mungkin ia adalah pasien yang kata Dina akan terlambat berkonsultasi. Grace berdiri dan tersenyum ramah pada pria yang masih diam saja. “Silakan, ada yang bisa saya bantu?”
“Grace.”
Alis Grace menyatu mendengar panggilan lirih itu. Apa ia pernah bertemu dengan pria paruh baya di depannya? Karena hanya orang-orang yang kenal dekat dengannya yang akan memanggil Grace, berbeda dengan para pasiennya atau orang yang baru bertemu dengannya akan memanggilnya Grizelle.
“Ini....” wanita itu mengangkat alisnya mendengar ucapan pria itu yang menggantung.
“Papi.” lanjut Rahardian.
***