“Ini....” wanita itu mengangkat alisnya mendengar ucapan pria itu yang menggantung.
“Papi.” lanjut Rahardian.
Ucapan lirih itu sukses membuat Grace membeku di tempatnya. Ini tidak benar, ayahnya yang sudah dua puluh tahun lebih tidak menemuinya tiba-tiba datang ketika dirinya sedang bekerja? Grace tersenyum hambar, lelucon macam apa ini? Apa ia sedang diprank?
Sedangkan Rahardian masih terpaku melihat Grace yang terakhir kali dilihatnya masih delapan belas tahun. sekarang sudah menjadi seorang gadis dewasa. Ia berjalan pelan mendekati Grace yang masih terlihat shock. Rahardian tahu ini terlalu tiba-tiba untuk Grace. Namun, ia sudah tidak dapat menahan kerinduan ini lebih lama lagi begitu mendengar cerita Gio tempo hari. Grace masih terdiam dengan tangannya yang mengepal kuat. Melihat pria itu berjalan mendekat membuat ia menggeleng tidak percaya. Grace tertawa hambar, ia jatuh terduduk di kursi kerjanya. “What did you say? I haven't dad anymore.”
Seketika itu juga hati Rahardian seperti dijatuhi bongkahan balok. Sangat sakit rasanya tidak dianggap oleh putrinya sendiri. Tatapan mereka saling beradu hingga akhirnya Rahardian menubruk tubuh Grace, memeluknya erat. Air mata Rahardian mengalir seketika. Tembok kerinduan yang sudah menjulang tinggi hancur begitu saja. Pria paruh baya itu sangat merindukan gadis kecilnya. Malaikatnya yang selalu merengek kepadanya, malaikatnya yang akan menangis ketakutan ketika listrik padam, malaikatnya yang akan menjerit ketika Gio menjahilinya, malaikatnya yang akan memekik kegirangan ketika mendapatkan cokelat darinya, malaikatnya yang sekarang sudah berubah menjadi wanita hebat. Wanita hebat yang berguna bagi orang-orang disekitarnya.
Pelukan dari orang yang mengaku papinya itu tak dapat dipungkiri memberikan kehangatan dan kenyamanan yang selama ini Grace rindukan. Ia tidak mau munafik dengan mengatakan pelukan ini mengganggunya. Namun, semuanya terasa membingungkan untuk Grace. Banyak emosi yang menyatu di dalam hati. Tangannya mengepal erat merasakan tubuh ayahnya yang bergetar hebat. Rahardian berlutut di hadapan Grace berusaha menggenggam tangannya yang terkepal. Ia mencium tangan itu berkali-kali, tidak sanggup berkata apa pun lagi. “Maafin papi, Sayang.” mendengarnya, Grace memilih mengalihkan pandangan merasakan tenggorokannya tercekat hingga membuat lidahnya kelu.
“Maafin papi, Sayang. Papi lupa beli es krimnya untuk kamu. Kita beli sekarang ya?”
Suara itu…. Suara yang pernah Grace dengar dulu sekali. Suara yang biasanya hanya terputar di memorinya kini terasa begitu nyata. Jadi pria tua di hadapannya ini benar-benar Rahardian?
Grace bingung, kemana kebencian yang selama ini menyelimuti hatinya? Bahkan hanya mendengar suaranya, semua itu sirna. Ia masih diam saat Rahardian kembali memeluknya erat. “Papi kangen sekali sama Grace, Grace apa kabar?”
“Maafin papi. Sorry for everything i've done, Honey. Semuanya salah papi, bukan salah siapa-siapa. Papi akan jelaskan semuanya. Boleh papi minta waktu Grace sebentar untuk jelaskan semuanya?” Rahardian mengecup kening Grace dalam. Grace tetap diam. Ia mengusap bekas air matanya kemudian berdiri menatap Rahardian datar lalu pergi tanpa mengatakan apa pun meninggalkan Rahardian yang menatapnya sendu.
Rahardian tahu, ini semua terlalu gegabah. Beberapa hari yang lalu Gio baru saja menemui Grace, dan sekarang dirinya yang bahkan terakhir mereka bertemu ketika Grace berumur empat tahun. Dan hari ini Rahardian menyesal menuruti keinginan Selena yang tidak membolehkannya bertemu Grace.
“Setelah kita pisah, jangan harap kamu bisa ketemu Grace lagi.” Rahardian menatap Selena tidak percaya. Apa katanya?
Emosi Rahardian langsung tersulut. “Nggak bisa gitu dong, Selena! Grace anak aku, aku ayahnya. Kamu jangan egois!” sentaknya.
Selena menatap Rahardian tajam. “Biarkan aku egois! Aku nggak mau Grace sampai tahu masalah ini. Aku nggak mau Grace tahu kelakuan kamu!”
Rahardian menarik napas seraya memejamkan matanya dengan kedua tangannya terkepal. Ia harus menekan emosinya jika tidak mau hal buruk terjadi. “Kamu nggak bisa seenaknya kayak gitu, Selena! Grace masih kecil! Dia butuh figur seorang ayah, kamu juga akan aku bebaskan bertemu Gio. Dia juga butuh sosok ibu. Aku nggak mau anak-anak aku kurang kasih sayang dari orang tuanya!” desisnya.
Selena tersenyum sinis. Ia berdiri dengan kilatan amarah di matanya. “Kita, nggak akan kayak gini kalau kamu nggak ada affair sama mantan kamu itu.” ujar Selena menunjuk Rahardian tepat di depan wajahnya.
“Aku tahu pernikahan ini cuma atas dasar perjodohan, tapi kita udah punya Gio dan Grace, Mas! Aku tanya, pernah sekali pun kamu lihat aku? Enggak, ‘kan? Aku capek.” suara sumbang Selena memenuhi seluruh sudut kamar mereka. Di depannya Rahardian hanya terdiam menatap wanita yang merupakan istri sahnya itu. Tak dapat dipungkiri perasaan bersalah timbul di relung hatinya.
“Jangan pernah temui Grace lagi, atau aku akan bawa dia pergi sejauh mungkin.” ancam Selena penuh penekanan lalu mengambil tasnya dan bergegas pergi.
Seandainya dulu ia tidak menuruti kemauan Selena, Grace pasti tidak akan seperti ini, seandainya dulu ia memaksa untuk menemui Grace pasti sekarang hubungan mereka baik-baik saja, seandainya, seandainya dan seandainya. Nasi telah menjadi bubur, tidak akan ada yang bida dirubah dari masa lalu. Sekarang Rahardian hanya harus berusaha keras untuk membuat Grace pulang kepadanya.
Rahardian meraup wajahnya kasar. Padahal dalam hatinya ia ingin sekali Grace tinggal bersamanya. Mengganti semua waktu yang telah dilewatkannya selama Grace tumbuh sampai seperti ini. Ia tidak boleh menyerah begitu saja, Grace harus tinggal bersamanya. Terdengar egois memang, tetapi Rahardian sudah kehilangan waktunya bersama Grace selama bertahun-tahun. Jadi, biarkan ia egois kali ini.
Di sisi lain Grace berjalan cepat ke mobilnya. Ia ingin segera melarikan diri dari pria itu. Tidak, Grace tidak bisa seperti ini. Ingin rasanya ia masuk ke dalam mobil dan mengendarainya secepat mungkin, menghindar dari orang yang mengaku sebagai papinya atau memang benar itu papinya. Wanita itu terus berjalan cepat nyaris berlari mengabaikan sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia masuk ke mobil kemudian membanting pintu. Jemarinya mencengkram erat roda kemudi, tatapannya kian menajam meski pandangannya berkabut. Setetes, dua tetes, disusul bulir-bulir berikutnya turun satu persatu membasahi wajah ayunya. Grace menunduk dengan tubuhnya yang bergetar hebat terisak tanpa suara.
Isakan Grace yang tertahan akan menciptakan sayatan tak kasat mata bagi siapa pun yang mendengarnya. Sama sakitnya seperti apa yang dirasakan Grace sekarang. Nelangsa, teringat betapa keras hidupnya di masa lalu sementara Rahardian dan Gio bisa hidup dengan nyaman dan aman. Kecewa, marah, benci, sedih, lelah, rindu. Grace bahkan tidak tahu perasaan mana yang valid. Semuanya terlalu abu-abu. Yang jelas kelelahan akan hidupnya menjadi faktor utama. Luka hati Grace yang selama ini terpendam akhirnya mencuat ke permukaan menciptakan emosi yang tidak dapat diungkapkan oleh Grace selain melalui tangisan.
“Argh! Mami, kenapa Grace jadi gini?” lirih Grace frustasi.
***
Semenjak kejadian di rumah sakit tadi di mana ada seorang pria paruh baya yang mengaku ayahnya tiba-tiba datang, Grace hanya diam tak bersuara. Ia terlalu bingung dengan semua kejadian yang datang bertubi-tubi di hidupnya. Hidupnya mulai tertata kembali, tetapi dengan mudahnya mereka datang menghancurkan semua kerja kerasnya menutup luka yang bahkan sampai saat ini belum kering.
Bertahun-tahun hidup di negeri orang sembari menuntut ilmu Grace lakukan hanya untuk menata kembali hatinya yang hancur berantakan selama di Indonesia. To be honest, Grace hanya bingung. Ia bingung harus bagaimana menghadapi semua ini. Gio yang tempo hari memohon-mohon maaf darinya padahal dulu ia begitu membenci Grace, dan Rahardian yang tiba-tiba datang menemuinya setelah lebih dari dua puluh tahun tidak bertemu.
Di satu sisi hatinya Grace senang bisa bertemu papinya, namun di sisi lain wajah Selena selalu muncul ketika ia melihat Rahardian atau Gio. Bagaimana ia mendapati Selena yang setiap malam menangis diam-diam di kamarnya, Selena yang harus bekerja sangat keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya, Selena yang bahkan sampai akhir hidupnya hanya ingin bertemu Gio. Semua kesedihan dan kesakitan Selena terputar tak henti-hentinya.
Perempuan itu tertawa miris. Kadang Grace berpikir, kenapa hidupnya seperti ini? Kenapa ia harus menanggung semua beban ini? Bahkan seumur hidupnya, Grace tidak pernah bernapas lega. Dadanya selalu terasa seperti terhimpit yang membuat dirinya tidak bisa bernapas bebas.
Grace memilih bersiap pergi ke rumah Selena. Sudah lama ia tidak ke sana. Akhir-akhir ini juga Selena sering datang dalam mimpinya dengan senyum sendu yang selalu membuat Grace berpikir, apakah Selena tidak bahagia di sana? Atau masih ada sesuatu yang belum selesai? Namun setiap Grace ingin bertanya, bayangan Selena langsung menghilang terbawa angin dan ia terbangun dalam keadaan menangis.
Grace turun dari mobilnya kemudian berjalan memasuki area pemakaman di mana Selena beristirahat. Ia meletakan sebuket bunga mawar putih kesukaan Selena di atas sebuah makam yang selalu rapi itu. “Hai, Mam. How are you? I'm totally fine.” Grace mengusap pelan nisan yang tertulis nama ibunya di sana. Senyuman tipis terbit di bibirnya.
“Mami kenapa sering datang ke mimpi Grace, tapi kenapa mami kelihatan nggak bahagia? Apa ada sesuatu yang masih mengganjal hati mami? Apa yang harus Grace lakuin?”
Sejenak Grace menarik napas kemudian membenarkan kaca mata hitam yang bertugas menutupi mata sembabnya. “Kalau mami bisa lihat Grace, Grace sudah jadi seperti apa yang mami mau. Grace sudah jadi dokter, seperti yang mami mau sama Grace.”
Tanpa disadari Grace, seseorang memerhatikannya dengan tangan terkepal menahan gejolak yang ingin keluar dari dalam hatinya. Tatapan sendunya mengekor Grace yang sudah berjalan kembali ke mobilnya.
***
Rahardian duduk termenung di taman samping rumahnya. Malam itu menjadi malam terindah dalam hidup Rahardian setelah bertahun-tahun kehilangan Grace. Putra sulungnya datang membawa kabar gembira yang sangat dinanti-nanti oleh Rahardian. Dirinya bahkan tidak bisa tidur nyenyak kala itu setelah mendengar berita Gio bertemu dengan Grace. Rahardian ingin cepat-cepat melihat bagaimana rupa putri kecil yang telah ia tinggalkan sejak kecil. Putri kecil yang pasti dalam hidupnya mengalami banyak kesulitan karena tidak adanya sosok ayah yang akan melindunginya.
Saat itu memang sepenuhnya kesalahan Rahardian. Apa yang terjadi sekarang memang murni kesalahannya. Andai saja dulu Rahardian menempatkan seseorang untuk memantau Grace, andai saja dulu ia berusaha lebih keras untuk mencari Grace, andai saja dulu ia datang lebih cepat ketika mendapat kabar Selena meninggal. Terlalu banyak andai saja yang tidak ada gunanya sekarang. Rahardian sangat memaklumi sikap Grace tadi siang, ia pun sudah tahu Grace akan bersikap seperti itu. Hanya saja ketika ia mngalaminya langsung kenapa rasanya begitu sakit? Ternyata kata siap yang sudah ia tekadkan tadi malam memudar begitu saja.
Rahardian menyesap kopi yang sejak tadi dianggurkannya hingga mendingin. Tidak apa-apa, yang terpenting ia sudah tahu di mana keberadaan Grace saat ini. Mereka hanya perlu waktu lagi untuk membawa Grace dalam dekapannya. Ia yakin suatu saat mereka akan duduk berdua di bangku ini. Dan Rahardian tidak sabar menanti waktu itu datang. Waktu di mana sang pelengkap keluarga hadir di sini.
“Papi kangen kamu, Grace.”
***