It's No Use To Crying Over Spilt Milk

1710 Words
Gio mengendarai Range Rover miliknya dengan tujuan Princess Alexandra Hospital. Matahari hendak meninggalkan bumi untuk hari ini, semoga saja ada Grace di rumah sakit. Setelah beberapa hari kemarin ia disibukan dengan photoshoot untuk VOGUE, hari ini Gio bertekad menjelaskan semuanya pada Grace. Ya, walaupun mungkin Grace hanya diam tanpa menanggapinya tetapi paling tidak Gio bisa bertemu dengan adiknya itu. Setelah mematikan mesin mobilnya Gio beranjak turun dengan tangannya mengambil sekotak donat yang ia beli tadi. Jujur Gio tidak tahu apa makanan kesukaan Grace, tetapi dulu semasa mereka kecil Grace suka sekali dengan makanan manis dengan lubang di tengahnya itu. Sepanjang koridor menuju ruangan Grace, Gio membalas sapaan beberapa orang yang mengenalnya. Dahinya sedikit mengernyit karena melihat kursi tunggu di depan ruangan Grace yang biasanya terisi beberapa orang hari ini terlihat kosong. Tanpa pikir panjang, Gio mengetuk pintu kaca ruangan Grace kemudian membukanya. Pria itu tidak melihat eksistensi Grace di sana dan justru menemukan seorang suster yang kini menatapnya ramah bercampur bingung. “Silakan, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Gio berdehem lalu membenarkan cap hat yang digunakannya. “Saya cari Dokter Grace, ada Sus?” Wanita muda itu mengangguk mengerti. “Dokter Grace sedang visite pasien, Pak. Mungkin tiga puluh menit lagi, Dokter Grace sudah kembali ke sini. Bapak bisa menunggu sebentar bila berkenan.” Gio mengangguk dan memilih pergi ke kantin setelah mengucapkan terima kasih. Dari pada nunggu di situ dan Grace malah kabur lihat gue, mending ke kantin aja kali ya? Haus juga. batinnya kemudian mulai mencari di mana letak kantin. Ia memang familiar dengan rumah sakit ini, tetapi Gio tidak tahu di mana kantin berada. Berkat petunjuk dari beberapa suster yang ia tanya, akhirnya Gio berhasil sampai di kantin rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari ruangan Grace. Memesan segelas matcha dingin untuk menyegarkan kerongkongannya yang kering sedari tadi. Sengaja Gio memilih duduk di pojok kantin yang menghadap ke arah pintu masuk. Kantin rumah sakit ini tidak memiliki batas tembok, melainkan hanya dibatasi oleh kaca besar di setiap sisinya yang memungkinkan Gio leluasa menatap luar kantin. Ia menyeruput minuman favoritnya itu dengan penuh kenikmatan. Lima belas menit menunggu, Gio hampir tersedak di sela-sela minumnya ketika melihat tubuh jenjang Grace melenggang dengan santai di depannya tanpa melirik ke arah Gio sedikit pun. Buru-buru pria itu menandaskan minumannya kemudian meletakan selembar uang berwarna biru di meja dan pergi mengejar adiknya. Gio sengaja hanya mengikuti Grace karena ia ingin menikmati waktu memandangi Grace dengan leluasa. Grace yang tidak dilihatnya semenjak sepuluh tahun yang lalu. Dari belakang, Gio dapat melihat banyak perubahan yang terjadi pada adiknya. Rambut hitam yang dulu sebahu kini menjuntai panjang dengan gelombang di ujungnya, tubuhnya tinggi menjulang untuk tinggi rata-rata wanita Indonesia, ditambah wajahnya yang semakin dewasa. Air muka perempuan itu selalu memancarkan ketegasan dan beberapa ekspresi yang tidak bisa Gio tebak. Pria yang suka mengenakan jaket kulit itu melirik IWC yang melekat di tangannya, sudah waktunya makan malam. Good time! Melihat Grace sudah masuk ke ruangannya, Gio memilih menunggu sebentar hingga suster yang tadi ditemuinya keluar. Langkahnya mendekat ke pintu dan mengetuknya pelan. Hati Gio sedikit tersentil menyadari raut muka Grace yang selalu datar ketika melihatnya berbeda ketika sedang bersama orang lain. Tangan wanita itu sibuk merapikan barang-barangnya karena jam kerjanya sudah habis. Grace hanya melirik Gio sekilas tak berminat untuk sekedar bertanya tujuan laki-laki itu ada di sini. Gio berdiri di depan meja Grace. “Abang mau kita bicara.” ujarnya tanpa keraguan. Gerakan tangan Grace terhenti, ia mengalihkan pandangannya pada Gio. Matanya menyorot Gio tenang dan tajam secara bersamaan. “Apalagi yang mau dibicarakan? Saya capek, nggak ada waktu buat ngeladenin drama kamu. Lagian semuanya udah selesai. We're nothing.” suara tajam Grace mengiringi gerakan wanita itu yang hndak meninggalkan ruangan yang didominasi warna putih ini. Gio menggeleng. Sorot matanya meredup menatap adiknya penuh harap. Sama seperti yang dilakukan Grace dulu. Entah ke mana keberanian yang tadi merajai Gio. “Please, Grace. Abang mohon sama kamu. We have to talk, abang janji nggak akan lama. Abang cuma mau jelasin yang sebenarnya sam kamu.” Grace menarik napas pelan. Dewasa Grace, lo nggak boleh childish di depan orang ini. Lo bukan Grace yang dulu, you're an adult Grace and not a child anymore. Berkali-kali ia merapalkan kalimat itu dalam hatinya. Dengan menarik napas, Grace akhirnya kembali duduk tanda ia ingin mendengarkan cerita yang katanya kebenaran itu. Gio menautkan tangannya yang berada di atas meja kerja Grace. Ia menatap Grace yang juga sedang menatapnya datar. Jujur Gio bingung memulai dari mana. “Abang minta maaf buat semua perilaku abang di masa lalu. Abang tahu kamu pasti marah, tapi abang mohon buka pintu maaf kamu buat abang kamu yang bodoh ini. Kamu boleh marah, kecewa sama abang, tapi jangan benci abang. “Abang sangat-sangat menyesal dengan semua yang terjadi di antara kita. Penyesalan itu selalu datang mencekik abang. Selama sepuluh tahun ini tidur abang nggak pernah nyenyak karena lagi-lagi penyesalan itu hadir seolah sedang menertawakan abang setiap abang memejamkan mata. Rasanya abang harus mendapatkan maaf dari kamu dan mami bagaimanapun caranya.” Grace masih setia mendengarkan isi hati Gio walaupun tanpa minat. Baginya itu semua hanya omong kosong seorang aktor yang sudah terbiasa bermain peran di depan kamera. Meski begitu, Grace dapat melihat penyesalan, kesedihan dan kerinduan terpancar dari mata Gio entah itu jujur atau hanya akting. Seraya menata kalimat Gio menelan ludahnya. “Waktu itu abang datang, Grace. Abang datang. But it's too late. Kamu udah pergi entah kemana. Sejak saat itu hidup abang selalu dibayang-bayangi rasa bersalah yang menyeret abang ke dalam jurang penyesalan. Abang cari kamu ke mana-mana, tapi kamu pergi tanpa biarin abang minta maaf.” Gio menggenggam tangan Grace merasakan kehangatan yang menyalur di tangannya. “Please, kasih abang kesempatan buat perbaiki semuanya. Abang sayang kamu, sangat. Biarkan abang menebus dosa-dosa abang sama kamu dan mami. Tolong kasih abang kesempatan, Dek. Abang mohon. Abang janji nggak akan kecewain kamu dan mami lagi. Please, give me a chance.” suara Gio semakin melirih ketika lagi-lagi rasa bersalah dan penyesalan itu kembali datang. Grace menarik tangannya kemudian bersilang d**a. Raut datar masih setia terpasang di wajahnya. “Kamu tahu, mendengar itu semua hanya membuka luka di hati saya. Luka yang sampai sekarang bahkan belum kering. Honestly, I don't know what to do when I see you. Bertahan-tahun saya pergi buat menyembuhkan luka hati saya, and it simply broke just by looking at you. Udahlah, semuanya udah selesai. Nggak akan bisa diperbaiki. Lebih baik kamu jangan ganggu saya lagi, dan cari orang lain yang mau dianggap ibu dan adik sama kamu karena saya nggak mau.” ujarnya dingin. Kemudian mengambil tasnya dan beranjak dari sana. Gio menggeleng tidak setuju. Ia mencekal tangan Grace yang akan pergi ke luar. Pria itu berlutut di hadapan Grace memohon maaf padanya. “Abang minta maaf, abang sangat menyesal begitu tahu semuanya. Abang nggak masalah kalau kamu marah sama abang. Tapi, please. Jangan bersikap seolah-olah kita orang asing, it’s hurts me.” Grace tersenyum sinis netranya menghunus netra milik Gio lekat. “Kamu pikir saya peduli?” wanita itu menggeleng kemudian berkata, “Enggak sama sekali. Klise banget ya kata-kata kamu. Semua ini saya lakukan karena kamu yang minta. Kalau kamu lupa, kita sudah selesai sejak bertahun-tahun yang lalu.” Gio menggeleng. Matanya mulai memerah ketika mengingat itu. “Waktu itu abang khilaf, Grace. Abang nggak berniat bicara gitu sama kamu.” “Are you kidding me?” Grace menganga tidak percaya. Emosi di dalam hatinya mencuat seketika begitu mendengar kata-kata pria yang saat ini menggunakan leather jacket itu. Jadi memutuskan hubungan persaudaraan itu termasuk khilaf menurut Gio? Grace berusaha menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh. Tatapannya mengarah langsung pada manik sendu Gio. “Memutuskan persaudaraan itu khilaf? Atau jangan-jangan dulu kamu bilang tidak sudi punya ibu seperti mami juga khilaf? Jawab Gio!” sentaknya penuh amarah. Bahkan ini pertama kalinya Grace memanggil Gio dengan namanya setelah hampir dua bulan kembali dipertemukan. Gio menggeleng. “Enggak, Grace. Enggak sama sekali. Abang sadar. Kalau aja abang mau temuin mami, mami pasti nggak akan pergi secepat itu.” lirih Gio. Pria itu menunduk merasakan penyesalan yang kembali menggerogoti hatinya. “BAGUS KALAU KAMU SADAR!!!” bentak Grace dengan air mata yang sudah menggenang. “Kamu nggak tahu betapa hancurnya aku saat harus mendengar mami menangis setiap melihat kamu! Kamu nggak tahu betapa sedihnya aku saat lagi-lagi harus melihat kekecewaan mami karena nggak bisa ketemu anak laki-lakinya, kamu nggak tahu betapa sakitnya aku saat mami harus menerima kebencian DARI ORANG NGGAK TAHU DIRI KAYAK KAMU!!!” bentak Grace seraya berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia menyentak tangan Gio dan berbalik duduk di meja kerjanya. Setetes air mata jatuh mengaliri wajah Gio yang terdiam dalam kubangan penyesalan. Rasanya menyesal pun tidak cukup. Cermin yang sudah hancur tidak akan bisa digunakan kembali walau sudah disatukan. Gio berjalan mendekati Grace yang tengah mengigit bibir dalamnya agar air mata yang ia tahan tidak jatuh. Gio memeluk Grace erat. “Maafin abang. Maafin abang.” ucap Gio. Tidak ada kata lain selain maaf yang ingin ia sampaikan. Berulang kali ia mengecup puncak kepala Grace. Grace tidak membalas ataupun menolak, hanya diam tak berkutik. “Kamu nggak akan pernah tahu. Nggak akan pernah.” getaran dalam suara Grace terdngar begitu nyata. Sungguh berat usaha perempuan itu untuk tidak menangis di hadapan Gio. “Iya, Grace. Abang nggak akan pernah tahu apa yang kamu rasakan. Maafin abang.” “Kenapa kamu dan ayah kamu harus kembali lagi setelah saya berhasil menata lagi hati saya yang hancur karena kalian? Kenapa saya harus dipertemukan lagi dengan kamu? Saya menyesal kembali ke sini. It's better to be there with my family.” tangan Gio mengepal erat seraya memejamkan matanya mendengar ucapan lirih Grace yang terasa seperti meremas hatinya. Ia sadar, kesalahannya memang sangat besar. Tapi tak dapat dipungkiri hatinya begitu sakit mendengar adiknya yang menyesal bertemu dengannya. Apa ia tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua? Dan kalimat terakhir Grace berhasil membuat pria itu dilanda ketakutan setengah mati. Di sana? Di mana maksudnya? Keluarga? Siapa maksudnya? Apa Grace memiliki orang lain yang disebut keluarga? Apa Grace memiliki orang lain yang dipanggil abang selain dirinya? Ia mengeratkan pelukannya pada Grace seraya berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa abangnya Grace hanya satu. Gio adalah satu-satunya abang yang dimiliki Grace dan begitu pula sebaliknya. ***             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD