Pelajaran Raja

1302 Words
Julian melihat Vanya yang tertidur pulas, terbungkus warna organisasinya, untuk menyadari: ia telah menciptakan sesuatu yang lebih berbahaya daripada musuhnya. Ia telah menciptakan kerentanan. Dan kerentanan itu. Istrinya yang lugu, kini memegang kunci untuk menghancurkan, atau menguasainya. "Aku tunggu, dirimu menjalankan peranmu, Vanya," ucapnya dengan mengusap lembut pipi Van ya. ***** Vanya terbangun perlahan, bukan oleh alarm, melainkan oleh keheningan yang tebal dan berat. Kelopak matanya terbuka, dan hal pertama yang ia sadari adalah sensasi dingin dari sutra merah yang merayap di kulitnya. Kain itu, warna organisasinya, kini terasa seperti seragam yang dipaksakan, mengkhianati kepolosan yang ia coba pertahankan. Kepalanya berdenyut samar. Log komunikasi yang ia lihat semalam terukir di benaknya: 'Bersihkan jalur. Jangan biarkan Nightingale bersuara.' Julian adalah seorang algojo, terbungkus jas mahal dan citra CEO yang sempurna. Ia menggerakkan tangan kirinya, merasakan sentuhan kertas. Di sampingnya tergeletak amplop cokelat tebal yang diikat pita hitam, dan di atasnya, kartu kecil. Ia mengambil kartu itu. Tulisan tangan Julian yang elegan, namun dingin, seolah memancarkan ancaman. “Hadiah pernikahan. Pelajari hukumnya.” Vanya menelan salivanya. "Hukum apa? Hukum kontrak? Atau hukum 'The Crimson Hand'?" Ia yakin isinya adalah dokumen yang mengikatnya ke Julian, mungkin selamanya, dengan klausa-klausa yang kejam. Saat ia hendak duduk, matanya menangkap gerakan di sebelahnya. Julian. Ia tidur telentang, namun kini berbalik, menyamping menghadap Vanya. Sehelai selimut sutra tipis hanya menutupi pinggang ke bawah, memperlihatkan bagian atas tubuhnya yang atletis dan sempurna terpahat. Vanya seketika menahan napas. Pundaknya lebar, lengan kekarnya tampak rileks, dan otot perutnya terlihat samar di bawah kulitnya yang bersih. Ia tampak jauh lebih muda, tidak terbebani oleh gelar Raja Hantu yang baru ia temukan semalam. Kehadirannya memancarkan kekuatan, bahkan dalam tidur. Vanya menatapnya, detak jantungnya yang normal kini mulai berpacu liar. Ia membatin betapa tampannya pria itu, sebuah paradoks yang menyakitkan. Bagaimana bisa kegelapan seperti itu dibungkus dalam wadah yang begitu mempesona? Ia adalah racun paling mematikan yang disajikan dalam cangkir emas. 'Tampan. Aku akui dia memang tampan,' batinnya. Dengan sangat hati-hati, ia mulai beringsut keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak menggesekkan kain sutra merah itu ke linen, takut suara sekecil apa pun akan membangunkannya. Ia harus menjauh, berpakaian, dan mempersiapkan diri untuk pertarungan kata-kata yang pasti akan terjadi. Ia berhasil menggeser kedua kakinya ke lantai. Ia mulai berjingkat menuju kamar mandi, punggungnya tegang, berharap ia bisa menghilang sebelum Julian menyadari kepergiannya. “Kau pergi ke mana, Vanya?” Suara Julian rendah, serak, dan penuh kekuasaan. Suara itu menghantam punggungnya seperti cambuk. Vanya seketika membeku, berdiri di tengah karpet tebal, tidak berani berbalik. Julian Alistair tersenyum sinis, senyum yang hanya sedikit melengkungkan sudut bibirnya. Matanya terbuka sepenuhnya, tajam dan cerdas, jelas menunjukkan bahwa ia tidak tidur nyenyak, melainkan hanya berbaring, menunggu. “Punggungmu sangat kaku, Nyonya Alistair,” Julian melanjutkan, nadanya santai, namun setiap kata terasa seperti ancaman. “Kau seharusnya tahu, tidak ada yang bisa lepas dariku di ruangan ini. Terutama dirimu.” Vanya menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya, dan berbalik menghadapnya. Julian masih berbaring, bertumpu pada satu siku, memamerkan fisik yang membuatnya kesulitan bernapas. “Selamat pagi, Julian,” balas Vanya datar, memaksakan senyum yang gagal mencapai matanya. Julian membiarkan pandangannya menyapu Vanya, dari ujung kaki hingga kepala. Ia berhenti lama pada pakaian sutra merah yang ia kenakan. Warna itu, yang begitu terlarang dan penuh simbolisme, sangat kontras dengan ekspresi ketakutan di wajahnya. “Aku lihat kau menemukan pakaian yang kupersiapkan,” kata Julian, suaranya dipenuhi kekaguman yang tersembunyi. “Aku selalu tahu warna itu akan cocok dengan kulitmu. Sempurna. Kau terlihat... milikku.” Vanya merasakan pipinya memanas, tetapi ia menolak untuk tersipu karena pujian yang berbahaya itu. “Aku memakainya karena aku tidak menemukan yang lain yang bisa menutupi tubuhku di lemari itu,” dustanya, suaranya sedikit bergetar. Julian tertawa pelan. Tawa yang jarang dan terdengar seperti gemuruh yang terpendam. “Jangan meremehkan dirimu sendiri, Vanya. Kau memilih warna The Crimson Hand. Itu adalah pernyataan yang kuat.” Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya di kasur. “Kemarilah. Aku belum selesai mengklaim hadiah pernikahanku.” Vanya tidak bergerak. “Aku sudah melihat hadiah pernikahanmu,” katanya, menunjuk ke amplop cokelat di tempat tidur. “Kontrak yang mengikat seluruh keluarga dan asetku padamu. Apakah itu yang kau sebut hukum?” Julian mengangguk, tanpa menunjukkan rasa penyesalan. “Tentu saja. Dalam dunia kita, hukum adalah kontrak. Itu memastikan kau tidak memiliki tempat untuk lari. Itu adalah rantai emasmu.” Vanya melangkah maju, keberaniannya didorong oleh amarah atas pengkhianatan keluarganya. “Dan kunci USB itu? Apakah itu juga bagian dari hukum? Tentang 'Nightingale' dan ‘membersihkan jalur’?” Senyum Julian menghilang. Matanya menjadi sekeras baja. Ia bangkit dari tempat tidur, bergerak cepat melingkari kasur. Kini, ia berdiri hanya beberapa inci dari Vanya. Postur tubuhnya yang menjulang membuat Vanya harus mendongak. “Kau memang mempelajari pelajaranmu dengan cepat,” desis Julian. “USB itu adalah senjata, Vanya. Aku memberikannya kepadamu untuk melihat apakah kau cukup bodoh untuk menggunakannya secara sembarangan, atau cukup cerdas untuk memahaminya.” “Kau membunuh orang, Julian,” Vanya berbisik, suara kejujurannya memecah keheningan. “Aku menjaga ketertiban,” koreksi Julian, memegang dagu Vanya dengan jari-jarinya yang panjang. Cengkeramannya tidak menyakitkan, tetapi penuh d******i. “Aku adalah Raja Hantu. Dan Raja harus memotong dahan yang membusuk untuk melindungi pohonnya. Sekarang, kau telah melihat ke dalam kegelapanku. Apa yang akan kau lakukan?” Julian mendekatkan wajahnya, matanya menembus Vanya. Jantung Vanya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit di dadanya. Ia bisa merasakan aroma mint dan keringat yang samar dari tubuh Julian. “Aku akan bertahan,” jawab Vanya, suaranya sedikit lebih mantap kali ini. “Aku tidak akan menjadi mangsa.” Bibir Julian melengkung puas. “Jawaban yang bagus, Ratu-ku. Sekarang, mari kita lanjutkan pelajaran ini. Kita punya pertemuan penting pagi ini. Citra publik kita harus sempurna.” Ia melepaskan dagu Vanya, lalu dengan gerakan cepat, ia merangkul pinggangnya, menariknya erat ke d**a bidangnya. Panas tubuh Julian yang memabukkan langsung menyelimuti Vanya. “Kita mandi bersama,” perintah Julian, tidak meminta izin. "Aku harus memastikan setiap inci tubuhmu bebas dari bau tempat tidur, dan hanya menyerap aroma milikku. Kau harus belajar, Vanya, bahwa di balik pintu ini, setiap detik kita adalah tentang kepemilikan dan kontrol.” Julian mencium lembut keningnya, lalu berbisik, “Dan kau harus tahu, setelah kau melihat apa yang kulakukan pada Nightingale, kau akan tahu bahwa aku tidak akan pernah melepaskan apa yang telah menjadi milikku” Julian memimpinnya menuju pintu kamar mandi marmer yang luas. Vanya tidak melawan. Ia menyadari bahwa perlawanan fisik saat ini akan sia-sia. Ia harus menggunakan senjata yang ia dapatkan semalam: kecerdasan dan rahasia. Vanya menghentikan langkahnya sejenak. Jelas, itu membuat Julian menatapnya. "Kenapa?" "Em, kau yakin kita mandi berdua?" tanyanya berusaha tak takut. Julian tersenyum tipis di sudut bibirnya. "Kenapa? Kau mau melanggar aturanku?" Vanya menggeleng kecil, lalu mereka masuk ke kamar mandi, merasakan uap mulai mengisi ruangan, dan menyadari bahwa ia baru saja melangkah dari satu sangkar ke sangkar emas yang lebih kecil, yang kini beraroma bahaya dan gairah. “Baiklah, Julian,” kata Vanya, menatap pantulan dirinya di cermin, melihat sutra merah di tubuhnya dan api baru di matanya. “Ajari aku hukummu. Aku akan menjadi murid yang cepat.” Julian tersenyum, senyum yang menjanjikan rasa sakit dan kenikmatan yang tak terbayangkan. Ia menutup pintu, mengunci mereka di dalam keheningan yang mewah dan mematikan. "Ya, itulah ratuku. Menurut dan laksanakan tugasnya. Begitu mudah kan, tugasmu, Vanya." Vanya hanya terdiam. Dia mengangguk kecil tak melontarkan sepatah katapun. Tapi, membantin. 'Menjadi penurut dan melaksanakan perintahnya. Apakah, aku juga akan melaksanakan perintah jika disuruh membunuh olehnya? Atau mungkin hal yang lebih berbahaya? Belum ada 48 jam, aku menjadi istrinya. Tapi, badan otakku telah lelah,' batinnya. Di luar, amplop cokelat berisi nasib keluarga Vanya tergeletak di samping kunci USB yang berisi bukti kejahatan Julian. Dua benda itu, rantai dan senjata, menunggu keputusan Ratu yang baru terbangun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD