Mandi Bersama?

1391 Words
Vanya hanya terdiam. Dia mengangguk kecil tak melontarkan sepatah katapun. Tapi, membantin. 'Menjadi penurut dan melaksanakan perintahnya. Apakah, aku juga akan melaksanakan perintah jika disuruh membunuh olehnya? Atau mungkin hal yang lebih berbahaya? Belum ada 48 jam, aku menjadi istrinya. Tapi, badan dan otakku telah lelah,' batinnya. Di luar, amplop cokelat berisi nasib keluarga Vanya tergeletak di samping kunci USB yang berisi bukti kejahatan Julian. Dua benda itu, rantai dan senjata, menunggu keputusan Ratu yang baru terbangun. Pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu eboni gelap tertutup dengan suara ‘klik’ yang tegas, memisahkan mereka dari dunia luar, namun mengunci Vanya di dalam penjara baru yang terbuat dari marmer hitam dan uap yang mengepul. Udara seketika menjadi lebih panas dan lebih padat, beraroma mewah dari produk mandi eksklusif yang bercampur dengan aroma mint segar milik Julian. Di tengah ruangan, sebuah area shower raksasa dengan dinding kaca transparan menanti, dilengkapi dengan pancuran hujan dan enam pancuran samping. Itu adalah altar kemewahan yang kini terasa seperti kolam pemandian untuk ritual pengorbanan. Julian berdiri tepat di belakang Vanya, panas tubuhnya menembus sutra tipis yang Vanya kenakan. “Pakaian itu adalah simbol. Dan di dalam batas-batas ini, kita menanggalkan simbol. Hanya ada diri kita sendiri, Vanya,” Julian berbisik di dekat telinganya, suaranya dalam, hampir menggeram. Vanya menahan napas. Ia merasakan jari-jari panjang Julian mencapai punggungnya, menarik tali pengikat sutra merah itu tanpa perlu melihat. Gerakannya begitu efisien dan terbiasa, seolah-olah ia sedang membuka paket yang sudah lama ia nantikan. “Lepaskan,” perintah Julian lembut, tetapi tanpa celah untuk negosiasi. "Aku ..." "Kenapa? Kau malu? Aku suamimu," sahut Julian dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. Vanya menarik napasnya, ia menurut dan membiarkan kain merah itu meluncur dari bahunya ke lantai, meninggalkan genangan warna yang melambangkan kekuasaannya. Rasa dingin udara menyentuh kulitnya yang terbuka, tetapi panas dari tatapan Julian lebih memabukkan. Ia berdiri tanpa sehelai benangpun, sepenuhnya rentan, namun kali ini, ia menolak untuk menyembunyikan dirinya. Julian maju sedikit, matanya yang sebiru es menyapu tubuh Vanya. Tatapan itu bukan nafsu murni; itu adalah evaluasi, sebuah pengakuan kepemilikan. Ia sedang mengukur asetnya. “Kau tidak akan lari, Ratuku?” tanya Julian, ada nada tantangan di suaranya. Vanya mengangkat dagu. “Aku sudah memberitahumu. Aku akan bertahan. Lari hanya akan memberimu alasan untuk memburuku, dan aku tahu betapa kejamnya pemburuanmu.” Julian tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya, tetapi menggerakkan otot-otot di wajahnya yang tegas. Ia menyukai ketidaktaatan yang terukur. Ia menyukai mangsa yang tahu cara melawan, selama perlawanan itu tetap dalam batas yang ia tetapkan. “Cerdas,” gumamnya. Julian kemudian mulai melepaskan pakaiannya sendiri. Celana pendek boxer yang ia kenakan. Setiap gerakan dilakukan dengan keanggunan yang terlatih, memperlihatkan pahatan otot yang tidak didapatkan dari meja kantor, melainkan dari disiplin yang brutal. Ketika ia berdiri tanpa sehelai benangpun, Julian tampak lebih berbahaya dan lebih nyata daripada ketika ia mengenakan setelan mahal. Vanya langsung mengalihkan pandangannya dari tubuh suaminya itu, walaupun jantungnya berdegup kencang. 'Aku normal. Jadi wajar, bila aku merasakan sesuatu melihat tubuh atletisnya,' batinnya. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh ketegangan yang mengancam untuk meledak. Vanya harus memalingkan wajahnya untuk mengatur detak jantungnya yang semakin tidak karuan. Dia bukan lagi pria yang membunuh Nightingale, dia adalah dewa yang baru bangun, siap menuntut upeti. Julian melangkah ke dalam bilik kaca dan menyalakan pancuran. Air mengalir deras, menciptakan tirai yang berkilauan. Uap menebal. "Masuk, Vanya.” Vanya melangkah maju, kakinya yang mulus menyentuh lantai marmer yang licin. Saat ia melangkah melewati Julian, ia merasakan sensasi kulit ke kulit, benturan pertama dari kehangatan dan kekejaman. Air panas menyambutnya, membasahi rambut dan wajahnya. Julian membalikkan Vanya menghadapnya, memegang kedua bahunya di bawah derasnya air. “Pelajaran pertama tentang hukumku, Vanya. Kesempurnaan adalah satu-satunya mata uang yang diterima. Kau harus selalu terlihat bersih. Tanpa cela. Kau adalah wajah publik dari korupsi pribadiku.” “Dan bagaimana aku bisa bersih, Julian,” Vanya balas menantang, air menetes dari bulu matanya, “Setelah aku melihat darah di tanganmu?” Julian menggesekkan ibu jarinya di tulang selangka Vanya. “Darah itu tidak akan pernah menyentuhmu, selama kau tetap berada di sisiku. Aku adalah perisaimu. Tugasmu adalah tersenyum di depan kamera, menjadi Nyonya Alistair yang dicintai dan naif. Tugasmu adalah memastikan tidak ada yang melihat celah di zirahku.” “Dan apa yang terjadi jika aku gagal?” Vanya bertanya, suaranya bergetar. “Apa yang terjadi jika aku memberitahu mereka tentang Nightingale?” Julian memajukan wajahnya hingga bibir mereka hampir bersentuhan. Air mengalir di antara mereka. “Maka kau akan mati, Vanya. Bukan hanya kau, tetapi setiap orang yang kau cintai. Kau telah melihat buktinya. Aku tidak mengancam dengan kata-kata kosong. Aku mengancam dengan realitas.” Julian menarik napas dalam-dalam, matanya gelap dan intens. “Namun, aku memberimu kesempatan untuk menjadi lebih dari sekadar sandera. Aku memberimu kesempatan untuk menjadi Ratu. Untuk memiliki kekuatan yang belum pernah kau bayangkan.” Julian mengambil sabun wangi yang mahal. Gerakannya kini berubah. Tidak lagi ancaman murni, tetapi tindakan kepemilikan yang dingin dan mendalam. Ia mulai mencuci rambut Vanya, jari-jarinya memijat kulit kepalanya dengan kelembutan yang kontras dengan kekejamannya. Keintiman ini lebih berbahaya daripada kekerasan. “Sentuhan ini adalah pengingat, Vanya,” Julian melanjutkan, suaranya lebih lembut, nyaris seperti belaian. “Setiap bagian dari dirimu kini ditandai olehku. Aku akan mencuci bersih sisa-sisa kehidupan lamamu. Kau akan menjadi versi yang lebih tajam, lebih kuat, dan lebih kejam dari dirimu yang dulu. Itu adalah hukum evolusi di dunia kami.” Vanya memejamkan mata, membiarkan Julian menguasai momen itu. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa melawan kendali fisik ini, tetapi di dalam benaknya, ia menyusun strategi. Julian ingin Vanya menjadi perpanjangan dirinya? Baiklah. Dia akan belajar bagaimana menjadi perpanjangan yang tak terduga. Setelah selesai dengan rambutnya, Julian menurunkan tangannya ke bahu, lalu turu ke bagian d*d*. Tapi, dia menghentikan aktivitasnya sejenak. "Kau berhenti?" tanya Vanya. Julian tersenyum tipis. "Kau mau aku melanjutkannya semuanya?" "Bukankah, aku tidak bisa menolak." Lagi-lagi Julian tersenyum tipis. Dia mengecup pucuk kepala Vanya. "That's right, my Queen." Julian melanjutkan aktivitasnya, Vanya menutup matanya menahan tangis. Julian pun mulai menggosok lembut di bagian d*d* lalu perut Vanya, menggosok kulitnya dengan sabun hingga bersih. Setiap sentuhan terasa seperti segel yang dicapkan pada barang berharga. Saat tangannya berhenti di pinggangnya, Julian mencondongkan tubuhnya ke depan lagi. “Pagi ini, kita akan menemui beberapa dewan direksi Alistair Group. Mereka adalah serigala, Vanya. Mereka mencium darah. Mereka ingin tahu apakah pernikahan kita hanyalah sebuah formalitas atau aliansi yang kuat.” Julian memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya menyiratkan perintah yang mutlak. “Kau tidak boleh menunjukkan keraguan. Kau harus bertindak seolah-olah kau telah mengenal dan mencintaiku seumur hidupmu. Kau adalah Nyonya Alistair yang bangga. Bisakah kau melakukan itu, Vanya? Bisakah kau berbohong dengan meyakinkan?” Vanya membuka matanya, menatap wajah Julian yang kini basah oleh air. Ia merasakan kekejaman dan daya tarik pria ini menariknya ke dalam pusaran yang tak terhindarkan. “Aku sudah berbohong pada diriku sendiri sejak aku memasuki rumah ini, Julian,” Vanya menjawab, suaranya tegas, tidak ada lagi getaran. “Aku bisa berbohong pada siapa pun yang kau inginkan.” Kepuasan terpancar di mata Julian. Ia mendekat, tidak mencium bibirnya, melainkan mencium bahu Vanya, sebuah janji kepemilikan. “Bagus. Karena pertemuan kita bukan hanya dengan dewan. Elias Thorne akan ada di sana.” Mendengar nama Tangan Kanan Julian, yang dikenal karena kekejamannya dan loyalitasnya yang ekstrem, Vanya merasakan alarm berdering di benaknya. Julian memperingatkannya, bukan hanya tentang musuh luar, tetapi juga tentang pengkhianatan yang mungkin berasal dari dalam. “Elias adalah mataku. Tapi dia juga penguji kekuatanku. Jika dia mencium kelemahan, dia akan menjadi yang pertama menusuk kita,” Julian berbisik, mematikan pancuran. Keheningan tiba-tiba kembali, hanya menyisakan suara tetesan air. “Ingat, Vanya. Di hadapan Elias, kau bukan hanya istriku. Kau adalah tamengku, dan pedangku. Tunjukkan padanya bahwa kau adalah Ratu yang layak untuk takhta ini, atau aku akan membiarkannya membersihkan kekacauan yang kau buat.” Julian melangkah keluar dari bilik kaca, mengambil handuk putih tebal, dan melilitkannya di pinggangnya. Ia memandang Vanya, yang masih berdiri di bawah tetesan terakhir air, tubuhnya terpancar di bawah cahaya. Wajahnya yang basah kini tampak dingin dan penuh perhitungan. “Bersiaplah. Pertunjukan dimulai sekarang.” Julian membuka pintu kamar mandi, meninggalkan Vanya dengan bayangan Elias Thorne dan tantangan baru untuk menghadapi serigala yang telah mencium bau darah, dan membuktikan bahwa dia tidak hanya sekadar mangsa, tetapi juga penguasa sangkar emas itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD