Harta Karun Berdarah

1365 Words
Cangkang di Cayman harus terhubung ke perusahaan di Swiss, bukan langsung ke Grup Alistair,” Vanya berkomentar, suaranya sedikit bergetar, tetapi tegas. “Jika ada pemeriksaan silang, lompatan langsung dari suaka pajak tingkat satu ke perusahaan publik di New York akan memicu bendera merah, meskipun itu adalah jumlah yang relatif kecil.” Damian terkejut. Julian meluruskan duduknya, matanya menyipit penuh minat. Vanya telah menemukan celah dalam skema arsitek keuangannya. Vanya melanjutkan, “Jika Nightingale menyamarkan sumber pendapatan, lebih baik menciptakan lapisan perantara di yurisdiksi yang kurang transparan, seperti Malta atau Panama, sebelum menyuntikkannya ke Alistair Group. Jaringan perusahaan harus terlihat lebih organik, bukan seperti suntikan tiba-tiba.” Julian menyeringai, senyum bangga yang belum pernah Vanya lihat. “Kau mendengarnya, Damian. Istriku benar. Kau terlalu nyaman dengan metode lama. Sekarang, kita harus lebih kejam, lebih rumit.” Julian kemudian beralih ke Vanya, nada suaranya berubah menjadi ancaman yang terselubung. “Bagus. Kau memahami kerangka kerjanya. Sekarang, saatnya menerapkan pengetahuanmu ke area yang lebih pribadi. Malam tadi, aku memintamu menganalisis apa yang Ayahmu ketahui tentang kargo.” Vanya menelan salivanya. Ini adalah ujian kesetiaan yang sebenarnya. “Ayahku tahu tentang rute kapal tua dan kode kapal yang dibiarkan lewat. Dia mencatatnya dalam sebuah buku kecil. Aku tidak tahu di mana buku itu sekarang.” Julian mengambil pulpen. “Buku kecil. Informasi yang tidak penting bagi orang lain, tetapi berpotensi mematikan bagi kita. Tugasmu yang pertama, Vanya, adalah mengambil tindakan. Ayahmu adalah kelemahan yang perlu diatasi. Kita tidak bisa membiarkan catatan fisik yang menghubungkan kapal kargo ke 'The Crimson Hand' berada di luar kendali kita. Kau harus menemukannya. Dan kau harus memberikannya padaku.” “Dan bagaimana jika Ayahku tidak mau memberikannya?” tanya Vanya, suaranya hampir tidak terdengar. Julian tersenyum dingin. Ia mengetik pesan singkat di ponselnya. Lalu, ia menoleh ke Vanya, kelembutan yang lebih menakutkan daripada kekejaman terbukanya. “Aku sudah mengirimkan pengawal ke kediaman orang tuamu. Mereka akan memastikan Ayahmu aman. Tetapi jika buku itu ditemukan, dan Ayahmu mencoba melindunginya dariku. Maka aku tidak bisa menjamin bahwa ia akan tetap menjadi Ayah yang aman,” bisik Julian. “Pilihannya ada di tanganmu, Nyonya Alistair. Apakah kau akan menyelamatkan Ayahmu dengan mengambil buku itu, atau kau akan membiarkan ia menantang Pimpinan The Crimson Hand?” Julian tidak hanya ingin dia menjadi penjaga harta karunnya; dia ingin menjadi pengkhianat pertamanya. Ia harus memilih: kesetiaan pada darahnya yang lama, atau kesetiaan pada aliansi barunya yang kejam. “Beri aku alamat rumah orang tuamu, Vanya,” desis Julian. “Sekarang. Sebelum aku harus mengirim orang lain untuk menemukannya, oang yang tidak akan memberimu pilihan.” Vanya memejamkan mata, merasakan kepalanya pusing karena kesadaran yang menyakitkan. Ia mengambil pena dan selembar kertas, tangannya gemetar. Ia baru saja belajar pelajaran pertamanya: untuk menjadi Ratu di Neraka, ia harus membakar jembatan yang menghubungkannya dengan kehidupan lamanya. Ia menuliskan alamat itu, merasa seolah-olah sedang menandatangani surat perintah untuk masa lalu yang tak akan pernah bisa ia kembalikan. Vanya menatap alamat yang baru saja ia tuliskan. Tulisannya berantakan, seolah tinta itu sendiri menolak pengkhianatan ini. Saat pena terlepas dari jari-jarinya, meninggalkan gumpalan tinta hitam di atas kertas mewah, beban di dadanya terasa seberat lapisan baja. Ia telah memilih Julian. Ia telah menyerahkan Ayahnya kepada kegelapan yang menjanjikan keselamatan, bukan kebebasan. Ia mencoba berdiri, tetapi kakinya tidak merespons. Pandangannya kabur, dan bunyi dengung yang tajam mulai memenuhi telinganya. Ruangan itu, bunker berlapis baja yang menjadi ruang kerja Julian, mulai berputar dengan kecepatan yang menakutkan. “Nyonya Alistair?” Suara Damian terdengar jauh, terdistorsi. “Apakah Anda baik-baik saja?” Vanya membuka mulut untuk menjawab, untuk mengatakan bahwa ia hanya perlu udara, tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Ia merasakan gelombang panas yang tiba-tiba, diikuti oleh dingin yang menusuk tulang. Dunia meredup. 'Kepalaku sangat pusing,' batinnya. Sebelum ia sempat menyentuh lantai dingin, sebuah lengan yang kuat melingkari pinggangnya. Julian, yang sedetik sebelumnya tampak tenang memeriksa tabletnya, kini bergerak dengan kecepatan predator. Ia menarik Vanya ke d**a bidangnya, mencegah kepalanya terbentur meja. “Sialan,” desis Julian, bukan karena marah, melainkan karena frustrasi yang terkejut. Ia tidak menyukai gangguan, dan kelemahan fisik istrinya adalah gangguan yang serius. Julian menopang tubuh Vanya yang lunglai, matanya yang tajam segera menganalisis situasinya. Wajah Vanya pucat, bibirnya memutih, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia meletakkan punggung tangannya yang hangat di dahi Vanya. “Demam,” ujarnya singkat. Ia menoleh ke Damian, yang masih berdiri canggung di ambang pintu, tumpukan laporan pencucian uang di tangannya. “Batalkan semua jadwal pagi. Hubungi Dr. Heller. Jangan dokter keluarga biasa, Damian. Dr. Heller. Dan suruh koki menyiapkan sup bening. Segera.” “Baik, Tuan Julian,” jawab Damian, tergagap oleh pemandangan Pimpinan mereka menunjukkan kepedulian fisik. Julian jarang sekali membiarkan sesuatu mengganggu ketenangan profesionalnya. Julian membopong Vanya, mudah saja, tubuh Vanya terasa ringan dan rapuh di pelukannya. Ia berjalan cepat, melewati koridor marmer yang panjang, menuju kamar tidur utama. Kain celana krem Vanya kusut, kontras dengan kemeja sutra mahal Julian yang memeluk tubuhnya. Ia meletakkannya dengan hati-hati di atas seprai sutra hitam pekat, selaras dengan dekorasi kamar yang didominasi warna gelap. Julian tidak pergi. Ia menyisihkan handuk kecil dari meja nakas dan membasahinya dengan air dingin dari kendi kristal. Ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tidak lepas dari wajah Vanya yang kelelahan. “Kau memaksakan diri, Vanya,” bisik Julian, suaranya kini tidak lagi mengancam, melainkan berisi nada otoritas yang lebih tenang. Ia menyeka dahi Vanya, lalu menyingkirkan anak rambut yang menempel di pipinya. Vanya bergetar, matanya setengah terbuka. Kehangatan yang tidak terduga dari sentuhan Julian lebih mengejutkan daripada kekejamannya yang terbuka. “Mengapa… mengapa kau peduli?” bisiknya, suaranya serak. Julian menarik kembali tangannya, tatapannya kembali ke mode kalkulasi. “Tentu saja aku peduli. Kau baru saja memberiku kunci untuk mengamankan salah satu aset paling sensitif. Kau adalah Nyonya Alistair, Vanya. Kesehatanmu adalah prioritas operasional.” Jawaban itu terasa seperti tamparan dingin, mengingatkannya bahwa kepedulian ini hanyalah formalitas, bagian dari pengamanan aset. Namun, ia juga tahu ada sesuatu yang lebih. Orang sekelas Julian tidak akan menghabiskan waktu berharganya hanya untuk merawat pion yang sakit. “Kau tidak perlu berada di sini,” ujar Vanya, berusaha mendorong dirinya untuk duduk, tetapi Julian dengan lembut menekannya kembali ke bantal. “Aku harus berada di sini,” tegas Julian. Ia mengambil ponselnya, mengetik pesan lain. “Aku tidak bisa pergi. Kau telah mencapai titik puncak kelelahan. Jika aku meninggalkanmu sekarang, kau akan memimpikan kapal-kapal kargo, Ayahmu, dan neraka yang baru kau masuki. Aku perlu kau fokus. Bukan kacau.” “Aku sudah memilih,” Vanya bersikeras, merasakan demamnya mengikis pertahanannya. “Aku memberi alamat itu. Aku mengkhianatinya. Itu seharusnya membuatmu senang.” “Aku senang dengan pilihanmu. Tapi bukan cara kau melakukannya,” balas Julian, matanya menatap dalam, mencari kedalaman jiwanya. “Kau masih berpikir dengan hati, Vanya. Kau harus belajar bahwa di dunia ini, pengkhianatan harus dilakukan tanpa penyesalan. Setiap tetes air mata yang kau tumpahkan adalah kelemahan yang dapat digunakan musuh untuk menenggelamkanmu.” Vanya menelan salivanya yang terasa pahit. “Lalu mengapa kau memberiku pilihan? Mengapa kau tidak hanya mengambilnya dariku, seperti yang kau lakukan pada malam pernikahan?” Julian menyeringai, senyum tipis yang mengandung pengakuan. “Karena aku tidak hanya ingin kepatuhanmu, Vanya. Aku ingin kesetiaanmu yang dipaksa. Aku ingin kau memilih nerakaku daripada surga lamamu yang fana. Itu membuat ikatan kita jauh lebih kuat. Sekarang, jika kau jatuh sakit karena pilihan itu, artinya kau belum sepenuhnya mengeras. Itu yang perlu aku perbaiki.” Pintu kamar diketuk perlahan. Seorang asisten masuk dengan nampan perak berisi semangkuk kaldu ayam yang mengepul dan pil pereda demam. Julian mengambil pil itu, tanpa ragu membantu Vanya menegakkan tubuhnya sedikit. “Makan ini,” perintah Julian. “Lalu minum obatnya. Jangan membantah.” Vanya meminum kaldu itu perlahan, kehangatannya terasa menenangkan. Ia mengamati Julian. Ia terlihat gelisah, tetapi bukan karena pekerjaan. Ada ketegangan yang lebih pribadi dalam gerak-geriknya. “Apakah buku itu sudah ditemukan?” tanya Vanya setelah ia menelan obat. Pertanyaan itu keluar dengan sendirinya, menunjukkan betapa dalam ia telah tenggelam dalam drama 'The Crimson Hand'. Julian mengangguk. “Elias bergerak cepat. Dia menelepon tiga menit yang lalu. Mereka telah mengamankan rumah orang tuamu. Buku itu ditemukan tersembunyi di brankas kecil di bawah lantai perpustakaan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD