Harta karun yang dibangun di atas darah,” koreksi Vanya, suaranya tanpa emosi. Rasa takut telah digantikan oleh rasa lelah yang dingin.
Julian tertawa pelan, sebuah suara yang sangat jarang dan membuat bulu kuduk Vanya merinding. “Tentu saja. Semua kekaisaran dibangun di atas darah. Tapi aku membutuhkanmu untuk menjadi darah baru yang bersih, yang bisa menyamarkan jejaknya.”
Ia membungkuk lebih rendah, begitu rendah hingga Vanya harus menengadah. Setetes air dari rambut Julian jatuh ke bahu Vanya, panas dan tajam. Tatapannya kini intens, lebih intim daripada kecupan mereka sebelumnya.
“Jangan pernah lupa, Nyonya Alistair,” katanya, suaranya hampir menyerupai ancaman manja.
"Di sini, di sangkar ini, kau hanya aman jika kau bersamaku. Dan kau hanya bersamaku jika kau berguna. Sekarang, selesaikan mandimu. Aku akan menunggu di luar. Aku butuh laporan rinci tentang Ayahmu dan apa yang ia ketahui tentang jaringan pengiriman kargo.”
Julian tiba-tiba meluruskan tubuhnya, berbalik, dan mulai berjalan menuju pintu, meninggalkan Vanya dengan perasaan terekspos, dingin, dan bingung. Dia baru saja menginvasi ruang pribadinya, mempertanyakan integritasnya, dan kemudian memberinya pekerjaan rumah kriminal. Semua sambil hanya mengenakan handuk.
Tepat sebelum ia melangkah keluar, Julian berhenti di ambang pintu, tidak berbalik, tetapi berbicara ke udara tipis.
“Vanya,” panggilnya, suaranya menjadi lebih gelap. “Mulai sekarang, aku tidak ingin ada rahasia. Aku ingin kau terbiasa dengan fakta bahwa aku bisa masuk kapan saja. Di mana saja. Kau milikku. Total. Pahami itu.”
Pintu itu tertutup dengan bunyi 'klik' yang pasti. Kali ini, Julian yang mengunci Vanya di dalam, bukan untuk melindunginya, melainkan untuk memastikan ia tidak bisa lari. Vanya tetap tenggelam dalam air, menatap pantulan dirinya di dinding onyx. Ia tidak lagi melihat Janella yang lugu. Ia melihat bayangan ratu yang basah kuyup, yang baru saja menerima mandat pertamanya di Neraka.
Vanya menyeka air mata yang tak sempat menetes. Udara di dalam kamar mandi mewah itu terasa tebal, membebani paru-parunya. Setelah Julian pergi, ia tetap berendam di dalam bak pualam dingin, airnya kini sedingin tekad yang mulai mengkristal di hatinya. Ia bukan lagi gadis lugu yang bisa menangis.
Kata-kata Julian bergema. "Kau milikku. Total. Pahami itu."
Kepalanya pusing, tapi ia memaksakan diri untuk bernapas dalam-dalam. Ia masih berendam, membilas sisa-sisa malam yang traumatis itu, mencoba memejamkan mata sejenak, mencari ketenangan yang mustahil didapat.
Tiba-tiba, suara gesekan engsel memecah keheningan. Pintu kaca toilet terbuka. Vanya tersentak, jantungnya berpacu, kengerian kembali menyeruak. 'Apa Julian masuk kembali?' batinnya.
Ya, ternyata. Di ambang pintu, berdiri Julian Alistair. Ia baru saja keluar dari kamar mandi terpisah, atau mungkin ia telah menunggunya. Sama seperti tadi, hanya mengenakan handuk putih melilit pinggangnya yang ramping dan keras. Rambutnya basah, meneteskan air ke bahu yang bidang. Ia tampak lebih berbahaya dan mentah tanpa lapisan setelan jasnya, aura kekuasaannya telanjang dan menusuk.
Julian menyeringai, senyum yang sama sekali tidak hangat. Matanya yang biru gelap menyapu tubuh Vanya yang hanya tertutup handuk tipis. “Kau masih di sana Vanya. Belum usai dan sengaja memancingku ?” tanyanya, suaranya rendah dan mengancam.
Wajah Vanya memerah, bukan karena malu, melainkan karena kemarahan yang tertahan. Ia meremas handuknya erat-erat. “Tidak. Ini, sebentar lagi aku akan keluar,” jawabnya, suaranya berusaha keras terdengar stabil, namun terselip getaran ketakutan yang nyata.
Julian maju selangkah, membuat Vanya mundur secara refleks. “Aku peringatkan padaku, Vanya. Lain kali, jangan lupa. Atau aku akan menganggapnya sebagai undangan.”
Ia tidak menyentuhnya, tetapi tatapannya adalah sentuhan paling kuat yang pernah ia rasakan. Julian kemudian berbalik, mengambil jubah sutra yang tergantung, dan meninggalkannya dalam kekalutan. Julian tidak butuh persetujuan. Ia hanya butuh kepatuhan. Malam itu, ia telah menegaskan bahwa sangkar emas ini tidak memiliki pintu keluar, dan ia harus beradaptasi.
Vanya keluar dan berganti pakaian. Ia tidak tidur. Ia menghabiskan sisa malam di ruang ganti yang dipenuhi gaun-gaun haute couture. Ia menyingkirkan semua gaun renda dan sifon yang melambangkan kepolosan lamanya.
Ia memilih setelan celana berwarna krem yang tajam, dengan blazer yang dipotong sempurna. Pakaian yang memproyeksikan kompetensi, bukan kelemahan. Ia harus menjadi Nyonya Alistair yang diharapkan Julian: cerdas, dingin, dan tidak mudah dihancurkan.
*****
Pagi hari. Di ruang makan yang mewah, di mana sarapan disajikan di atas piring perak murni, Julian sudah menunggunya. Ia duduk di ujung meja, mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang dirancang khusus, memancarkan aura kekuasaan yang sunyi. Di sebelahnya, ada sebuah tas kulit yang tampak biasa saja, tetapi Vanya tahu, isinya mungkin lebih berbahaya daripada sepucuk pistol.
“Kau terlihat seperti tidak tidur,” komentar Julian, tanpa mengangkat pandangan dari tabletnya. Nadanya datar, observasi yang tak terbantahkan.
Vanya mengambil tempat duduknya, matanya terasa kering dan berat, tetapi pandangannya fokus. “Aku sedang meninjau ulang catatan Ayahku. Tentang jaringan kargo yang kau sebutkan. Mereka bergerak cepat, dan selalu menggunakan jalur kapal yang sangat tua. Sulit dilacak tanpa akses ke sistem pelabuhan internal.”
Julian akhirnya mendongak, matanya yang biru tajam menyisir wajah Vanya, mencari tanda kelelahan atau air mata. Ia menemukan nyala api yang keras. “Menarik. Kau mengumpulkan data, bukan merengek. Itu kemajuan.”
“Aku sudah melewati batas air mata,” balas Vanya, mengambil sepotong buah tanpa selera. “Sekarang hanya ada batasan yang harus aku hapus.”
Senyum tipis, nyaris menyeramkan, muncul di bibir Julian. “Itu Nyonya Alistair yang aku nikahi. Siapkan dirimu. Damian akan tiba sebentar lagi. Dia akan memberimu orientasi. Aku ingin kau menyerap setiap detail, Vanya. Ini bukan hanya tentang angka; ini tentang menjaga kerajaan tetap berdiri.”
Tepat pukul 09.00i. Damian Thorne tiba. Berbeda dengan kakaknya, Elias. Tangan kanan Julian yang menakutkan dan penuh otot. Damian adalah arsitek keuangan yang ramping, rapi, dan matanya secepat kalkulator. Namun, aura bahaya yang sama mengelilinginya, hanya saja terselubung di balik kemeja berkerah kaku.
Pertemuan itu diadakan di ruang kerja pribadi Julian, sebuah ruangan yang lebih mirip bunker berlapis baja daripada kantor CEO. Dindingnya ditutupi oleh peta digital besar yang menampilkan data real-time, grafik, dan yang membuat Vanya merinding, beberapa titik merah yang berkedip di lokasi-lokasi strategis global.
“Damian, ini Nyonya Alistair. Istriku, dan sekarang, penjaga keuangan kita,” kata Julian, suaranya mengandung otoritas absolut. “Vanya, Damian adalah orang yang merancang rute uang The Crimson Hand. Tidak ada yang lebih tahu tentang aliran darah ini selain dia.”
“Merupakan suatu kehormatan, Nyonya Alistair. Saya telah menyiapkan materi pelatihan awal,” kata Damian, matanya yang cokelat gelap menilai Vanya. “Tuan Julian ingin Anda segera memahami cara kami mengamankan kekayaan keluarga ini.”
Materi pelatihan itu bukanlah buku teks ekonomi. Itu adalah tumpukan folder yang dicetak di atas kertas tebal, ditandai dengan kode dan singkatan yang asing. Di tengah tumpukan itu, terdapat sebuah laptop yang dirancang khusus, dengan keyboard yang tidak memiliki huruf, hanya simbol-simbol aneh.
“Vanya, Damian akan mengajarimu dasar-dasar pencucian,” Julian menjelaskan, bersandar. “Bukan untuk mencuci uang, tetapi untuk memastikan bahwa jika otoritas mana pun mencium bau kotoran, mereka hanya menemukan jejak kaki yang bersih. Kau adalah 'darah baru yang bersih' yang aku sebutkan.”
Vanya membuka folder pertama. Di dalamnya, ada grafik kompleks yang menunjukkan bagaimana keuntungan dari perdagangan komoditas legal disuntikkan ke dalam perusahaan teknologi Julian, disalurkan melalui serangkaian perusahaan cangkang di negara-negara dengan perlindungan data ketat.
“Perhatikan transfer dari 'Proyek Nightingale' di Kepulauan Cayman,” jelas Damian.
“Ini adalah salah satu jalur paling sensitif, menutupi 40% dari operasi kargo non-legal kita. Tuan Julian ingin Anda menganalisis celah apa pun dalam struktur perlindungan pajak ini. Apakah ada potensi kebocoran identitas yang tersembunyi?”
Mual itu datang, tajam dan dingin. Nightingale. Nama yang indah untuk transaksi yang dibayar dengan nyawa. Vanya memaksa dirinya untuk fokus pada angka, mengabaikan moralitas. Ia mengingat pelajaran yang didapatnya tadi malam: untuk bertahan hidup, ia harus melihat dunia melalui mata Julian.
Cangkang di Cayman harus terhubung ke perusahaan di Swiss, bukan langsung ke Grup Alistair,” Vanya berkomentar, suaranya sedikit bergetar, tetapi tegas.
“Jika ada pemeriksaan silang, lompatan langsung dari suaka pajak tingkat satu ke perusahaan publik di New York akan memicu bendera merah, meskipun itu adalah jumlah yang relatif kecil.”
Damian terkejut. Julian meluruskan duduknya, matanya menyipit penuh minat. Vanya telah menemukan celah dalam skema arsitek keuangannya.