Mata Sang Penjaga

1349 Words
Vanya menarik selimut tipis ke dadanya, merasakan panas di pipinya. Ia menatap Julian yang menghilang bersama Elias, meninggalkan bau parfumnya dan janji yang mengerikan di udara. Malam pernikahannya belum selesai. Ia adalah ratu di sangkar emas, dan sang Raja Hantu baru saja mengumumkan bahwa klaimnya hanya ditunda, bukan dibatalkan. Ancaman di luar pintu itu jauh lebih menakutkan daripada ancaman sindikat itu sendiri. Julian menginginkannya. 'Dia hampir menodaiku? Tidak, bukan menodai. Tapi, aku istrinya. Dan dia menginginkan aku,' ba tinnya. Kelegaan yang dingin membasuh Janella Vanya saat pintu suite pernikahan itu tertutup di belakang Julian dan Elias. Ia bangkit dari tempat tidur, sutra di gaun pengantinnya bergesekan dengan kulitnya, meninggalkan sensasi gelisah. Julian telah pergi, ditarik kembali ke dalam kegelapan takhtanya, dan untuk saat ini, Vanya bebas dari cengkeraman obsesif yang hampir mengklaimnya. Ia berjalan menuju kamar mandi utama, sebuah ruangan yang lebih besar dari kamarnya yang dulu, seluruhnya dilapisi marmer putih Carrara dan dihiasi perlengkapan emas murni. Gaun itu terasa seperti jerat, setiap permata menindihnya dengan janji-janji kemewahan yang kini ia tahu adalah racun. Dengan gemetar, Vanya melepaskan ikatan gaun itu. Beratnya kain dan hiasan jatuh ke lantai beludru dengan suara mendesah, meninggalkan Vanya hanya mengenakan korset renda dan stoking sutra. Ia menatap pantulannya di cermin berbingkai emas. Di sana berdiri seorang wanita yang rapuh, kulitnya seputih porselen, matanya yang besar masih melebar karena syok. Ia adalah lambang kepolosan yang baru saja dicemari oleh bayangan kejahatan yang sangat nyata. Ia menyentuh tulang selangkanya, memikirkan sentuhan dingin jari Julian. Itu bukan cinta, itu adalah pernyataan perang. "Aku masih tidak percaya, kalau ternyata aku telah menikah dengannya. Raja hantu, yang di takuti semua orang," gumamnya. Vanya menyalakan keran bathtub, menunggu air hangat dengan aroma lavender dan garam laut mahal memenuhi cekungan kristal raksasa itu. Ini adalah pelariannya. Ia melepaskan sisa pakaiannya, membiarkan tubuhnya yang ramping dan mulus terekspos dalam cahaya lembut lampu gantung kristal. Ia melangkah ke dalam air, dan desahan panjang keluar dari bibirnya. Kehangatan itu memeluknya, menghilangkan sisa-sisa adrenalin dan ketakutan. Di dalam pusaran gelembung yang wangi, Vanya menenggelamkan dirinya hingga ke dagu. Ia mengapung, memejamkan mata, mencoba membersihkan dirinya dari aura Julian yang posesif. Ia harus menstabilkan dirinya. Ia tidak boleh membiarkan Julian melihat ketakutannya, apalagi ketertarikan aneh yang sempat ia rasakan. Julian ingin ia menjadi istri yang patuh dan ikonik. Ia akan memberikannya itu, tetapi ia tidak akan memberikannya jiwanya. "Aku istri dari Julian Alistair," gumamnya. Dengan cepat Vanya menggeleng. Sulit. Rasanya meyakinkan dirinya sendiri kalau dia adalah saat ini sudah menjadi istri dari Julian Alistair. Air memeluk lengkungan lembut pinggulnya, mengalir di sepanjang perutnya yang datar. Dalam kemewahan yang keterlaluan ini, Vanya merasa sangat rentan. Di luar, ia adalah Nyonya Alistair, ratu yang dijaga ketat. Tetapi di sini, ia hanya Janella, yang baru saja dijual ke takhta bayangan. Ia menyentuh lehernya, di mana Julian hampir menorehkan cap kepemilikan. Ia harus mencari tahu. Mencari tahu tentang The Crimson Hand. Ia harus mencari tahu tentang 'Zona Lima' dan 'Kesepakatan Blackwood' yang begitu mendesak hingga mengganggu malam pernikahan Raja Hantu. Tiba-tiba, keheningan di kamar mandi itu pecah oleh suara yang sangat lembut, tetapi begitu jelas hingga Vanya langsung menegang di dalam air. “Nyonya Alistair,” suara itu datar, seperti marmer dingin di bawah kakinya. Itu adalah suara Elias Thorne. Vanya membuka mata. Ia terkejut. Bagaimana Elias bisa masuk? Ia menoleh dan melihat Elias berdiri di ambang pintu kamar mandi, memegang baki perak berisi teko teh dan beberapa kue kering. Matanya tidak tertuju pada Vanya, tetapi pada dinding di belakangnya, mempertahankan kesopanan yang formal tetapi menghina. “Tuan Julian meminta saya memastikan Anda tidak kekurangan apa pun, dan bahwa Anda tetap di kamar,” kata Elias, meletakkan baki itu di meja rias dengan gerakan mekanis yang presisi. “Saya juga ditugaskan untuk menyampaikan aturan tambahan, yang tampaknya Anda lupakan.” Vanya segera duduk tegak di bathtub, air tumpah sedikit. Ia meraih handuk besar yang terlipat rapi di dekatnya dan menutupi dadanya, meskipun ia tahu Elias pasti sudah melihat apa pun yang ia ingin lihat. Kemarahan yang dingin menggantikan kelegaan sesaatnya. “Anda tidak berhak masuk ke sini!” Vanya menuntut, suaranya bergetar karena amarah dan rasa malu. Elias menoleh, dan tatapan mata cokelatnya kini tertuju padanya. Itu adalah tatapan seorang pelayan yang setia yang melihat istri baru majikannya sebagai duri. “Hak di kediaman ini adalah fiksi, Nyonya. Hanya Tuan Julian yang memiliki hak. Saya hanya menjalankan perintah. Dan perintahnya adalah memastikan Anda tidak mengganggu. Apakah itu jelas?” Elias melangkah maju sedikit, cukup untuk menekankan kehadirannya, tetapi tetap menjaga jarak formal. “Saya mengganggu?! Hei, Saya Janella Vanya. Istri dari Julian Alistair, jadi—” Vanya menghentikan dirinya. Tidak ada gunanya menjelaskan keintiman yang dipaksakan kepada bawahan Julian. Elias tersenyum tipis, senyum yang sama dinginnya dengan Julian, tetapi tanpa daya tarik gelap. “Tuan Julian selalu tahu apa yang ia inginkan, Nyonya. Jika ia mengklaim Anda, itu bukan gangguan, itu adalah kepemilikan. Gangguan adalah ketika seorang wanita baru menyebabkan Raja Hantu menunda operasi penting demi menyelesaikan ‘naskah’ pernikahan yang seharusnya hanya menjadi formalitas.” Vanya merasa pipinya memanas. “Saya tidak meminta pernikahan ini! Saya tidak meminta menjadi pion dalam sindikat kriminalnya!” “Tentu saja tidak. Tetapi Anda menerimanya. Dan sekarang Anda adalah aset. Aset yang rapuh. Julian mungkin melihat kepolosan Anda sebagai senjata, tetapi kami, orang-orang yang menjaga takhta ini, melihatnya sebagai kelemahan,” jelas Elias, suaranya berbisik, tetapi setiap kata terasa seperti cambukan. “Anda cemburu,” Vanya membalas, mencoba menusuk pertahanannya. Elias tertawa pendek, suara itu terdengar kering. “Saya tidak cemburu pada kerentanan, Nyonya Alistair. Saya setia pada kekuasaan. Dan kekuasaan bl Tuan Julian tidak boleh terbagi atau terganggu oleh emosi yang tidak perlu. Kami menoleransi Anda selama Anda memainkan peran Anda dengan sempurna. Jika Anda menjadi lubang dalam baju zirah Tuan Julian, saya pastikan, ada banyak yang akan senang melihat lubang itu melebar, termasuk saya.” Elias membungkuk sekali lagi, gerakan yang terasa seperti ancaman fisik. “Nikmati airnya, Nyonya. Itu adalah kemewahan yang Anda dapatkan sebagai imbalan dari kepatuhan Anda. Saya akan berjaga di luar. Dan satu hal lagi:. Jika Anda mencoba melarikan diri, bahkan pintu kamar mandi ini tidak akan menjadi penghalang bagi Tuan Julian. Kami tahu di mana Anda berada, setiap saat.” Elias berbalik dan meninggalkan kamar mandi, menutup pintu di belakangnya dengan keheningan yang mengganggu. Kehangatan air mendadak terasa dingin. Vanya menatap pintu itu lama sekali, jantungnya berdebar kencang. Ancaman Elias lebih jelas daripada Julian. Jika ia merusak rencana mereka, dirinya akan dibuang. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Lalu, matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di tepi rak handuk, tepat di seberang bathtub. Itu adalah gantungan kunci kecil yang indah, sepertinya terbuat dari kristal dan perak. Vanya yakin itu tidak ada di sana sebelumnya. Julian atau Elias pasti menjatuhkannya. Vanya meraihnya dengan tangan basah. Saat ia membalikkannya, ia menyadari itu bukan sekadar hiasan. Itu adalah sebuah kunci USB kecil yang sangat canggih. Dan di sebelahnya, terukir sangat halus, adalah logo yang membuat Vanya tercekat. Tagan yang mengepal dengan tetesan darah di pergelangan tangannya. Lambang The Crimson Hand. Ini bukan kecelakaan. Julian tidak pernah melakukan kesalahan. Kunci itu ditinggalkan untuknya. Apakah itu jebakan? Atau justru... sebuah alat? Julian telah memberinya peringatan untuk belajar dan beradaptasi. Apakah ini adalah bahan pelajarannya? "Jadi, apa ini sebenarnya?" gumamnya dengan terus memperhatikan benda itu. Vanya menggenggam kunci USB itu erat-erat di tangannya, merasakan dinginnya logam menembus telapak tangannya. Ia telah diberitahu bahwa ia adalah aset. Aset yang rapuh. Kini, ia memegang rahasia. Malam pernikahannya tidak berakhir dengan klaim fisik, melainkan dengan ujian kekuasaan yang jauh lebih berbahaya. Ia harus memutuskan: Apakah ia akan membiarkan dirinya dihancurkan, atau ia akan menggunakan senjata ini untuk mulai mengotori tangannya sendiri? Vanya melihat ke sekeliling, mencari celah di dinding. Bagaimana jika Elias masih mendengarkan? Ia dengan cepat menyembunyikan kunci itu di antara handuk, membiarkan pikirannya berpacu. Di balik kemewahan Sangkar Emas, setiap hadiah adalah racun, dan setiap informasi adalah bom waktu. Ia adalah Janella Vanya, Nyonya Alistair, dan sekarang ia memegang rahasia 'The Crimson Hand' di telapak tangannya. Ini adalah awal dari adaptasinya yang brutal. 'Aku harus tau, apa isi dari benda ini,' batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD