Katedral St. Lucian diselimuti oleh lautan mawar putih langka yang didatangkan langsung dari Belanda. Kristal Baccarat menggantung di atas, memantulkan cahaya yang membuat seluruh ruangan berkilauan seolah terbuat dari salju cair. Di tengah kemewahan yang mencekik itu, Janella Vanya berdiri. Mengenakan gaun pengantin sutra mikado yang beratnya terasa seperti jubah pengekang, memproklamasikan bahwa ia telah menjadi milik orang lain.
'Aku menikah?' batinnya.
Ia menatap ke depan. Di sana, Julian Alistair menunggu. Pria itu, suaminya, yang baru dinikahinya lima menit lalu adalah personifikasi dari kesempurnaan yang dingin. Tuxedo hitamnya dibuat khusus, membungkus figur yang tajam dan berotot. Di layar-layar raksasa yang menyiarkan upacara ini kejutaan pemirsa di seluruh dunia, Julian tampak seperti pangeran dari dongeng teknologi. Namun, tatapan mata abu-abunya yang dingin terasa lebih keras dari marmer katedral, tidak menunjukkan emosi selain kalkulasi murni.
Vanya merasakan desakan napas di dadanya. Ia baru mengenal Julian selama tiga bulan, semuanya diatur, semuanya dipublikasikan. Ini bukan pernikahan, ini adalah merger korporat yang paling mahal dalam sejarah modern.
Ketika pendeta mengumumkan mereka sah sebagai suami istri, sorakan dan tepuk tangan mengguncang ruangan. Kamera-kamera berkedip liar, menangkap momen di mana Julian Alistair, pewaris dinasti yang tertutup dan jenius teknologi yang dipuja, membungkuk dan menempelkan bibir dinginnya ke bibir Vanya.
Ciuman itu singkat, formal, dan benar-benar hampa. Itu hanyalah penutup sempurna dari sebuah negosiasi bisnis. Vanya merasakan sentakan kejut yang cepat dan menarik diri, senyum palsu yang terlatih sempurna membingkai wajahnya.
'Enrah sampai kapan aku harus tetap tersenyum seperti ini?' batin Vanya.
Di sudut ruangan, tersembunyi di antara pengawal yang tampak seperti patung baja, Elias Thorne mengamati. Tangan kanan Julian itu tidak tersenyum. Matanya yang gelap memancarkan ketidaksetujuan, seolah Vanya adalah bakteri yang baru saja mengontaminasi habitat suci mereka. Vanya merasakan tatapan itu, peringatan diam-diam bahwa di balik semua kristal ini, ia telah memasuki wilayah berbahaya.
*****
Pesta resepsi adalah sebuah simfoni kekayaan yang tidak masuk akal, diselenggarakan di Sayap Alistair yang tertutup. Namun, Vanya tidak diizinkan menikmati perayaan itu. Segera setelah tarian wajib selesai dan Julian berhasil melepaskan diri dari beberapa konglomerat Asia, ia membimbing Vanya keluar dari aula utama menuju sebuah ruang tunggu pribadi yang sunyi.
Pintu kayu tebal menutup di belakang mereka, mematikan suara hiruk-pikuk dan musik orkestra. Hanya ada keheningan, dan Julian Alistair yang berdiri tiga langkah darinya, melepaskan dasi kupu-kupu yang mencekiknya.
“Lepaskan senyum itu, Vanya,” ujar Julian, suaranya datar nada rendah, otoritatif, dan tajam seperti pecahan kaca.
Vanya menunduk. Ia meraba cincin kawin platinum di jarinya. Rasanya dingin, berat, seperti belenggu. "Aku sudah lelah. Bolehkah aku mengganti pakaian?” tanya Vanya pelan.
Julian tidak menjawab pertanyaan itu. Ia berjalan ke bar marmer, menuangkan wiski tanpa menawarkan pada Vanya. Ia menyesapnya perlahan, matanya tidak pernah meninggalkan Vanya. Tatapan itu terasa seperti inspeksi, bukan pengamatan.
“Selamat datang di Alistair,” kata Julian, akhirnya, meletakkan gelasnya dengan denting keras. “Kau telah melaksanakan bagianmu dengan sempurna. Publik mencintai kisah putri yang menyelamatkan pangeran dingin dari kesendiriannya.”
Vanya mengangkat dagunya, berusaha menyembunyikan getaran di lututnya. “Itu yang diinginkan. Aku hanya mengikuti naskah.”
“Bagus. Karena mulai sekarang, naskah itu semakin rumit,” Julian maju satu langkah, auranya yang gelap tiba-tiba mengisi seluruh ruangan.
"Kau mengira kau menikahi seorang CEO yang jenius, Vanya. Itu benar. Tapi kau juga menikahi penguasa yang mengatur lebih banyak hal daripada hanya saham teknologi.”
Vanya merasakan alarm bahaya berdentang di kepalanya. "Aku tidak mengerti. Apa maksudmu? Perjanjian kita... itu hanya masalah citra publik, Julian. Kau memerlukan keluarga, aku memerlukan..." Ia terdiam, malu mengakui bahwa ia memerlukan perlindungan finansial juga keluarganya dan status yang ditawarkan Alistair.
Julian tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor, membuat Vanya merinding. “Perjanjian kita adalah perjanjian seumur hidup, Vanya. Kau adalah Nyonya Alistair. Dan Nyonya Alistair memiliki fungsi yang sangat spesifik. Kau adalah penutup. Kau adalah lapisan pernis yang membuat semuanya tampak legal dan bersih.”
Ia mendekat, sampai jarak mereka hanya tersisa beberapa inci. Vanya harus mendongak untuk menatapnya. Keharuman maskulin yang berbahaya dan dingin dari parfumnya menyerbu indra Vanya.
“Di bawah perusahaan-perusahaan teknologi yang bersinar, ada dunia yang berbeda. Sebuah dinasti yang tidak peduli pada hukum atau moralitas, hanya kekuasaan,” bisik Julian, suaranya kini terdengar mengancam. “Nama dinasti itu, adalah 'The Crimson Hand'. Dan akulah takhtanya.”
Vanya terperanjat, matanya melebar. Ia pernah mendengar bisikan, cerita seram, tentang sindikat yang mengendalikan pasar gelap global, tentang nama yang diucapkan dengan ketakutan oleh para pejabat tinggi. Tetapi itu hanya legenda urban.
"Ya, semua orang membicarakan tentang The Crimson Hand. Mereka berkuasa dan jahat."
"Semua yang berada di dalamnya itu adalah mafia besar."
"Apalagi pemimpinnya. Dia pasti orang paling berbahaya. Aku dengar, dia itu adalah yang paling berkuasa di negeri ini."
Vanya tertegun, ketika mengingat perkataan dari orang-orang tersebut. Dan, kini ia malah mendengar kalau seseorang yang memimpin The Crimson Hand itu adalah Julian Alistair. Lelaki yang kini menjadi suaminya.
“Kau bercanda,” Vanya menggelengkan kepalanya, mencoba menarik diri.
Tangan Julian bergerak cepat, meraih pergelangan tangan Vanya, cengkeramannya kuat namun tidak menyakitkan. Itu adalah peringatan akan kekuatan yang tak tertandingi.
“Aku tidak pernah bercanda tentang bisnis, Vanya. Ini adalah realitas barumu. Gaun ini, berlian ini, kastil ini. Semuanya adalah sangkar emas yang aku berikan padamu. Kau akan tinggal di dalamnya, tersenyum, dan memastikan tidak ada seorang pun yang mencurigai apa yang sebenarnya aku lakukan di balik pintu tertutup."
Vanya terdiam, ia menelan salivanya dengan tatap mata yang masih tertuju pada Julian. ulian mencondongkan tubuhnya, membisikkan ancaman terakhirnya tepat di telinga Vanya. “Kau sudah menjadi bagian dari keluargaku, Vanya. kau istriku, dan kau milikku. Semua yang sudah menginjakkan kaki di kediaman Alistair, mereka wajib mengikuti aturan di dalamnya. Termasuk dirimu juga, Vanya."
Ia melepaskan Vanya. Vanya terhuyung mundur, jantungnya berpacu, napasnya tersendat. Ia menatap Julian, tidak lagi melihat CEO yang dingin, tetapi Pimpinan yang kejam.
“Jadi, kau adalah Raja Hantu?” Vanya berbisik, menggunakan julukan yang sering dikaitkan dengan pemimpin sindikat yang misterius itu.
Julian memiringkan kepalanya, senyum tipis. Pertama kalinya Vanya melihatnya, Julian menarik sudut bibirnya. Senyum itu tidak menjanjikan kebahagiaan, melainkan d******i total.
“Ya, Vanya. Dan kau baru saja mengenakan mahkota dari baja dingin. Tugasmu adalah menjadi ratu yang sempurna. Tugas pertamamu dimulai besok. Kau harus meyakinkan dunia bahwa pernikahan ini adalah puncak dari cinta sejati. Jangan mengecewakanku,” Julian memberikan tatapan terakhir yang menusuk. “Karena konsekuensi dari pengkhianatan di sini, jauh lebih buruk daripada perceraian.”
Ia berbalik, meninggalkan Vanya sendirian di ruangan sunyi itu, dikelilingi oleh kemewahan yang kini terasa seperti jebakan. Vanya menyentuh lehernya, di mana udara tiba-tiba terasa tebal dan sulit dihirup. Ia bukan hanya seorang istri, ia adalah sandera dalam dinasti kriminal, dan sangkar emasnya baru saja tertutup rapat.
"Jadi, aku menikah dengan seorang Raja hantu?" gumamnya.
Vanya mengerjapkan kedua matanya sejenak. Dia melihat secara keseluruhan kamar mewah yang ia tempati ini. Hingga secara tiba-tiba, pikirannya tertuju pada keluarganya. 'Aku ingin pulang,' batinnya, yang mulai menitihkan air mata.
"Kau menangis?"
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul begitu saja. Dengan cepat, Vanya menoleh dan menghapus butiran bening di sebelah pipinya. Dia melihat Julian berdiri didekat sofa memperhatikannya. Vanya menggeleng, menjawab pertanyaan Julian.
Julian mengangguk kecil. Dia mengambil ponselnya di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam saku jasnya. Ia langsung pergi keluar dari kamar tersebut. Vanya mendengar kalau pintu kamar itu dikunci dari luar. Jelas, kini dirinya memang benar-benar terkurung di rumah mewah. Sangkar emas. Seperti yang di ucapkan oleh Julian.
Vanya menghela nafasnya. Dia duduk sejenak di kasur empuk ukuran King Size. Matanya tertuju pada jendela kamar yang tirainya masih terbuka. Hingga memperlihatkan pemandangan kota dengan gedung-gedung pencakar langit di sana.
'Aku tinggal di rumah yang mewah. Memiliki segalanya, tapi apa aku betah di sini? Apa aku bisa mengikuti semua peraturan yang dibuat dari rumah ini? Atau aku harus menyerah begitu saja?'
Semua pertanyaan itu bergelut dalam benaknya. Pergolakan batin mulai menyelimutinya. Ia mengusap seluruh wajahnya. "Baiklah, mulai sekarang aku adalah Nyonya Alistair," monolognya.