Topeng yang Sempurna

1405 Words
Vanya mengangkat tangannya, sengaja memamerkan cincin 'The Crimson Hand' di sebelah cincin kawinnya. Dia melihat mata Ryland langsung tertuju pada simbol itu, tangan mengepal dengan tetesan merah. Ryland membeku sejenak. “Itu… itu cincin yang unik, Nyonya Alistair,” Ryland bergumam, nada suaranya sedikit berubah. Ia kini melihat Vanya bukan hanya sebagai istri bodoh, tetapi sebagai seseorang yang secara resmi ditandai oleh organisasi Julian, seolah-olah Vanya adalah perpanjangan takhta itu sendiri. Vanya, merasakan kemenangan kecil, melanjutkan perannya sebagai pengalih perhatian. “Unik, ya! Julian sangat terobsesi dengan warna merah belakangan ini. Tapi ngomong-ngomong, Anda menyebut 'masalah bisnis kecil' tadi. Apakah itu berhubungan dengan kapal kargo yang hilang di pelabuhan selatan? Julian sangat marah tadi pagi. Dia bahkan menghancurkan gelas anggur favoritnya!” Tuan Ryland menegang lagi. Kapal kargo yang hilang. Itu adalah informasi sensitif yang hanya diketahui oleh faksi-faksi tertentu. Vanya telah menyebutkannya dengan santai, seolah-olah itu adalah gosip tentang cuaca. Ryland dengan cepat mengubah topik. “Saya tidak yakin. Tapi saya yakin Julian akan mengatasinya. Anda tidak perlu memikirkan hal-hal seperti itu.” “Tentu saja,” Vanya mengangguk, puas. Dia telah menanam benih. Dia telah mengonfirmasi kepada Ryland bahwa dia adalah istri yang dangkal, tetapi pada saat yang sama, dia telah membuang informasi berharga yang hanya bisa ia dengar dari Julian. Dia telah berhasil menjadi perisai dan pengintai dalam satu tindakan. Setelah beberapa menit berbicara tentang perhiasan dan amal, Vanya berpamitan dan kembali ke sisi Julian. Julian sedang berbicara dengan seorang bankir, tetapi mata birunya yang tajam tidak pernah lepas dari Vanya. Saat Vanya berdiri di sampingnya, Julian menyentuh punggung bawahnya, sentuhan yang dingin dan menguasai. “Laporan,” Julian menuntut, suaranya pelan dan tertutup. “Dia percaya aku tidak tahu apa-apa,” bisik Vanya kembali, suaranya kini kembali dingin, tanpa sisa keceriaan palsu. “Dia bilang insiden tadi hanya ‘masalah bisnis kecil’. Tapi aku menyebutkan tentang kapal kargo yang hilang di pelabuhan selatan. Reaksinya cepat dan tegang. Dia menghindari topik itu." Julian menatap Vanya. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tetapi ada kilatan yang sangat berbahaya di matanya. “Kapal kargo,” Julian mengulangnyang dianggukan oleh Vanya. “Menarik. Kaelen mencoba mengalihkan perhatianku dengan umpan, sementara kargo mereka dicuri. Kerja bagus, Vanya. Kau berhasil meyakinkannya bahwa kau adalah hiasan yang cantik, tetapi kau juga memberiku kunci yang kubutuhkan.” Vanya merasakan kelelahan yang luar biasa, seolah-olah setiap sarafnya telah terkuras. Dia baru saja menjual kepolosan terakhirnya demi keselamatan keluarganya. “Apa yang akan terjadi pada Ryland?” Vanya bertanya, meskipun ia sudah takut akan jawabannya. “Dia telah melayaniku dengan baik. Dia memberi konfirmasi yang kubutuhkan. Sekarang, dia menjadi kelemahan faksi Kaelen. Dia harus ditangani,” jawab Julian datar, seolah-olah sedang mendiskusikan penataan ulang furnitur. Tiba-tiba, Julian memegang bahu Vanya, memutar tubuhnya sedikit. Vanya melihat melintasi ruangan. Tepat di dekat pintu keluar, Elias Thorne berdiri. Elias tidak lagi menunjukkan kekecewaan, matanya kini memancarkan penghormatan yang dingin dan sebuah pengakuan yang mengerikan. Dia mengangguk pelan kepada Vanya, mengakui bahwa Vanya telah melampaui ekspektasinya. Vanya menyadari kebenarannya. Elias tidak membencinya karena dia lemah. Elias membencinya karena dia berpotensi menjadi kuat. Dan malam ini, setelah ciuman yang memalukan dan kebohongan yang dingin, Vanya telah membuktikan bahwa dia mampu menjadi ratu di dunia gelap ini. Julian tersenyum melihat anggukan Elias. “Lihat, Vanya. Kau telah mendapatkan pengakuan dari Tangan Kanan. Itu lebih sulit didapatkan daripada seluruh kekayaan di dunia ini.” Julian mencondongkan tubuh lagi, bukan untuk berbisik ancaman, tetapi untuk mengucapkan sebuah fakta yang mengubah segalanya. “Kau adalah aset. Tapi sekarang, kau adalah aset yang berbahaya. Dan yang berbahaya adalah yang paling sulit dikendalikan.” Vanya melihat ke arah Ryland, yang kini sedang tertawa keras bersama beberapa tamu lain. Dia terlihat santai, tidak menyadari bahwa kata-kata dangkal yang diucapkan Vanya baru saja menjatuhkan hukuman mati padanya. Rasa bersalah menusuk Vanya, tetapi Julian tidak memberinya waktu untuk menyesal. “Kau telah mengotori tanganmu malam ini, Vanya,” Julian berbisik, matanya menatap tajam ke mata Vanya. “Dan ini baru permulaan. Sekarang, kita pulang. Ada hal-hal lain yang harus kau pelajari tentang bagaimana seorang ratu di ‘The Crimson Hand’ beroperasi di balik pintu tertutup.” ***** Pintu lift bersepuh emas di penthouse Julian Alistair tertutup senyap, menyegel Vanya dari dunia luar dan membawanya kembali ke sangkar yang lebih pribadi, lebih dingin. Dia berdiri tegak selama perjalanan, masih mengenakan gaun safir yang berat dan perhiasan berlian yang berkilauan di bawah cahaya redup. Julian tidak berbicara. Ia hanya berjalan mendahului Vanya, bayangannya memanjang di lantai marmer, seolah-olah ia adalah kegelapan yang diwujudkan. Julian langsung menuju kantor pribadinya, pintunya tertutup dengan suara gesekan yang halus. Vanya tahu ia sedang melakukan pembersihan, memerintahkan penanganan Ryland dan memanfaatkan informasi tentang kapal kargo yang ia berikan. Vanya melepas sepatu hak tingginya, rasa sakit menjalar dari telapak kaki ke kepalanya. Malam ini, ia tidak hanya kehilangan alas kakinya; ia telah kehilangan sisa-sisa kepolosan yang ia yakini masih dimilikinya. Ia telah menjadi bagian dari mekanisme pembunuhan yang dingin. Rasa bersalah atas nasib Tuan Ryland mencekiknya, tebal dan memuakkan. "Huft ... hari ini sangatlah melelahkan." Ia berjalan gontai menuju ruang tamu utama. Ruangan itu luas, dindingnya kaca menawarkan pemandangan gemerlap kota, tetapi Vanya hanya melihat pantulan dirinya sendiri. Seorang wanita yang mengenakan topeng mahal. Ia menemukan sofa beludru di dekat jendela dan menjatuhkan diri ke sana, tubuhnya lunglai seperti boneka kain. Vanya memejamkan mata, membiarkan kelelahan membanjiri dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencari bau familiar, bau yang menenangkan. Tetapi yang tercium hanyalah aroma maskulin Julian, bercampur dengan parfum mahal dan bau samar bubuk mesiu yang ia yakini hanya bisa ia rasakan. Dalam keheningan yang mencekam itu, Vanya membiarkan satu kata keluar dari bibirnya, sebuah gumaman yang hampir tidak terdengar. “Aku ingin pulang,” bisiknya, hatinya mencelos. “Aku ingin pulang ke rumah Ayah dan Ibu.” Suara itu begitu kecil, begitu rapuh, dan ia merasa lega karena Julian tidak ada di sana untuk mendengarnya. Tiba-tiba, ia merasakan perubahan tekanan udara di depannya. Sebuah bayangan gelap menghalangi cahaya kota. Vanya tersentak, matanya terbuka lebar. Julian telah muncul, seolah-olah ia baru saja merobek tirai dimensi. Ia berdiri, tubuhnya condong ke depan. Julian belum berganti pakaian. Dia masih mengenakan setelan tuksedo hitamnya, dan dasi kupu-kupu yang rapi tadi kini sedikit longgar, membuatnya terlihat lebih liar dan berbahaya. Wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Vanya, matanya yang biru menusuk seperti ujung tombak. “Kau ingin pulang?” tanya Julian, suaranya pelan, tetapi resonansinya memenuhi ruangan. Itu bukan pertanyaan; itu adalah konfirmasi dari kejahatan. Vanya tidak bisa mundur. Sofa membatasi pelariannya. “Julian… aku hanya lelah.” “Lelah atau menyesal?” Julian mendesis, menyentuh tepi cincin 'The Crimson Hand' di jari Vanya. “Apakah Nyonya Alistair menyesal telah menjadi informan kecilku yang efisien? Menyesal telah memastikan Ryland menerima karmanya?” Perut Vanya mual. “Aku… aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” “Jangan berbohong padaku di dalam ruangan ini, Vanya,” perintah Julian. “Kau tahu apa yang akan terjadi pada Ryland. Dan kau tahu bahwa kau adalah alasan mengapa aku bisa bergerak cepat. Kau mengotori tanganmu. Itu adalah harga dari kekuasaan.” Vanya menggeleng, air matanya kini benar-benar sulit ditahan. “Aku melakukannya karena kau mengancam keluargaku. Jangan berpura-pura bahwa ini adalah pilihan bebas.” “Semua orang membuat pilihan, Vanya. Kau memilih untuk menyelamatkan mereka. Itu pilihan yang mulia. Tetapi pilihan itu mengikatmu di sini selamanya,” Julian menegaskan, menjulurkan tangan untuk mengusap pipi Vanya. Sentuhannya dingin. “Kau adalah Nyonya Alistair. Kau memakai cincin itu. Kau sudah melihat kegelapan. Tidak ada jalan kembali.” Julian menarik tangannya, ekspresinya menjadi kaku dan dingin, jauh dari gairah palsu yang ia tunjukkan di pesta tadi. “Kau ingin kembali ke kehidupan lamamu yang sederhana? Aku bisa mengaturnya,” katanya, suaranya kini terdengar seperti janji dan ancaman sekaligus. “Aku bisa mengirimmu pulang besok pagi. Tetapi kau akan pulang sebagai seorang janda. Dan orang tuamu? Mereka akan menemukan diri mereka di bawah tumpukan hutang yang tak terbayangkan, saudaramu akan kehilangan beasiswa, dan seluruh citra keluargamu akan hancur dalam semalam. Kau akan melihat mereka menderita perlahan, Vanya, dan kau akan tahu bahwa itu semua karena kau menolak peran yang kutawarkan.” Vanya menelan salivanya. Ancaman ini lebih buruk daripada ciuman brutal. Ini adalah perhitungan matematis tentang kehancuran orang-orang yang ia cintai. Vanya masih menatap Julian. 'Dia benar-benar raja kejahatan seperti iblis,' batinnya. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Vanya, suaranya serak. Baja yang ia temukan di pesta itu kini telah mengeras, melindungi hatinya yang rapuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD