“Kau harus menebus kesalahanmu,” bisik Julian, suaranya terdengar ramah di telinga orang lain, namun merupakan perintah mutlak bagi Vanya.
“Bagaimana?” tanya Vanya, menatap Julian dengan mata yang kini dipenuhi kecerdasan yang waspada, bukan lagi kepolosan yang naif.
"Kau melihat pria dengan dasi kupu-kupu merah, perwakilan faksi Kaelen?” Julian mencondongkan tubuh sedikit.
"Dia mencurigai adanya celah di pertahananku. Tugasmu adalah menghapus kecurigaan itu. Kau akan menghampirinya, dan kau akan bersikap hangat, sangat ramah. Bicaralah tentang amal, tentang gaunmu, tentang apa saja yang tidak penting. Buat dia merasa nyaman. Buat dia berpikir kau hanyalah seorang wanita bodoh yang terpesona oleh berlian.”
Julian berhenti, matanya menatap Vanya dalam-dalam. “Jika kau berhasil meyakinkannya bahwa kau tidak lebih dari hiasan yang cantik, dia akan lengah. Dan aku akan tahu segalanya tentang apa yang direncanakan faksi Kaelen dalam dua belas jam ke depan. Jangan gagal, Vanya. Ini adalah ujian pertamamu sebagai Alistair yang sebenarnya.”
Vanya menatap kerumunan. Pria dengan dasi kupu-kupu merah itu kini sendirian, menyesap sampanye. Dia adalah perwakilan dari ancaman yang mencoba membunuh Julian, dan sekarang, Vanya harus mendekatinya dan berbohong, tersenyum, dan memanipulasinya.
Vanya mengangguk. Dia telah memilih. Ketakutan akan konsekuensi yang menimpa keluarganya telah menjadi motivasi utamanya. Kepolosan telah mati di koridor yang sunyi.
“Aku mengerti,” katanya, suaranya datar dan dingin. “Aku akan membuatnya percaya bahwa aku tidak berbahaya.”
Julian tersenyum puas. Itu adalah senyum yang Julian berikan ketika ia memenangkan kesepakatan bernilai miliaran dolar. Ia melepaskan Vanya, memberinya izin untuk bergerak pertama kalinya, bukan sebagai Vanya, tetapi sebagai senjata.
Vanya melangkah menjauh dari Julian, melintasi lantai marmer. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia sedang menanggalkan kulit lamanya. Ia melihat pria dengan dasi kupu-kupu merah, mengatur napas, dan menyiapkan topeng yang kini jauh lebih meyakinkan daripada sebelumnya.
Namun, saat ia berjarak beberapa meter dari Julian, Julian memanggilnya kembali. “Vanya, sayangku."
Vanya berbalik. Julian meraih tangan kirinya dan menyelipkan cincin yang ia temukan di laci tersembunyi, cincin perak dengan ukiran tangan yang mengepal dan tetesan kristal merah ke jari manis Vanya, tepat di samping cincin kawinnya yang berkilauan. Cincin itu dingin dan berat. Vanya tahu apa artinya. Itu bukan perhiasan.
“Simpan ini,” bisik Julian. “Ini adalah lambang. Ini menunjukkan bahwa kau kini berada di bawah payung ‘The Crimson Hand’. Ini adalah kontrak kita, Vanya. Kau adalah milikku. Kau adalah ratu di sini. Tapi ingat, ratu yang tidak patuh akan kehilangan kepalanya lebih dulu.”
Vanya menatap cincin itu, lalu ke mata Julian. Dia mengangguk. Tidak ada lagi kepolosan. Hanya ketaatan yang dipaksakan.
Dia berbalik, siap untuk bertemu dengan musuhnya. Tapi saat Julian menoleh untuk berbicara dengan seorang bankir, Vanya merasakan sesuatu yang lebih dingin daripada cincin di jarinya, tatapan Elias Thorne yang berdiri di seberang ruangan.
Elias menatap cincin di jari Vanya, dan di matanya, Vanya tidak melihat kebencian, melainkan kekecewaan yang mendalam, seolah-olah Vanya baru saja menandatangani hukuman mati pribadinya.
Cincin 'The Crimson Hand' yang baru saja ia kenakan terasa dingin, menekan kulitnya. Dia telah siap untuk bergerak, siap untuk memainkan peran sebagai hiasan mewah yang tidak berbahaya. Namun, Julian tampaknya belum selesai dengan instruksinya, atau, lebih tepatnya, dengan pertunjukannya.
"Vanya, tunggu."
Vanya menghentikan langkahnya. Julian maju selangkah, menipiskan jarak di antara mereka. Senyumnya kini melebar, bukan lagi senyum publik yang karismatik, tetapi sesuatu yang jauh lebih intens dan posesif. Ini adalah senyum yang dimaksudkan untuk dilihat oleh semua orang di ruangan itu, terutama Tuan Ryland dari faksi Kaelen.
Tanpa peringatan, Julian menarik Vanya ke dalam pelukan yang kuat, tangannya mencengkeram pinggang Vanya dengan otoritas mutlak. Sebelum Vanya sempat bereaksi, Julian merunduk dan menempelkan bibirnya ke bibir Vanya.
C*uman itu brutal dalam intensitasnya yang tiba-tiba, sebuah deklarasi kepemilikan di hadapan seratus pasang mata. Itu bukan ciuman cinta, melainkan tanda kepemilikan yang kejam.
'Ah. Apa yang dia lakukan? Dia menci*umku di depan umum seperti ini?' batinnya.
Vanya merasakan seluruh darahnya berdesir ke kepala. Rasa malu membanjiri dirinya, panas dan menghancurkan. Ia ingin mendorong Julian menjauh, ingin berteriak bahwa ini adalah kebohongan, bahwa ia bukanlah wanita yang rela dicium di depan umum seperti ini. Namun, Julian menahannya terlalu erat.
Vanya merasakan air mata panas menggenang di balik kelopak matanya yang terpejam. Rasa panik membuatnya tak bisa bernapas. Ia telah kehilangan kendali total atas tubuhnya, yang kini hanya menjadi properti suaminya, Raja Hantu.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Julian melepaskan ciuman itu, tetapi ia menahan dahi mereka bersentuhan. Bagi kerumunan, ini adalah momen gairah yang tak tertahankan. Bagi Vanya, ini adalah interogasi yang dingin.
“Kau ingin menangis?” Julian berbisik, suaranya sedingin es di tengah keramaian.
"Jika kau meneteskan etetes saja airmatamu, Vanya. Aku bersumpah, bukan hanya kau yang akan menderita. Ingat siapa yang mengawasi saudaramu. Ingat siapa yang menyediakan atap bagi orang tuamu.”
Ancaman itu menghantam Vanya seperti pukulan fisik. Julian tidak mengancamnya dengan kekerasan, tetapi dengan hilangnya orang-orang yang ia cintai. Itu jauh lebih efektif.
Vanya menarik napas gemetar. Dengan kekuatan yang tak terduga, ia menahan air mata itu kembali. Dia mendongak, matanya bertemu dengan Julian. Ada kepatuhan di sana, tetapi juga benih baja yang baru tumbuh. Dia memaksa sudut bibirnya membentuk senyum. Senyum yang menyakitkan, tetapi meyakinkan.
Julian membalas senyum itu dengan senyum publiknya yang paling mempesona, seolah-olah Vanya baru saja memberinya hadiah terbaik di dunia. Ia kembali merangkul Vanya, menyentuh pinggangnya dengan sentuhan lembut yang kontras dengan cengkeraman sebelumnya.
“Sekarang, Nyonya Alistair. Lakukan tugasmu," Julian berkata, kini berbicara dengan nada normal.
“Pergi dan tunjukkan kepada Tuan Ryland betapa bahagia dan dangkalnya hidupmu. Aku ingin laporan detail dalam satu jam.”
Vanya mengangguk. Dia kini bergerak, bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai Janella Alistair, trofi yang sempurna.
Ia melangkah ke arah Tuan Ryland, pria dengan dasi kupu-kupu merah. Tuan Ryland, seorang pria paruh baya dengan wajah yang terlalu ramah, tampak terkejut ketika Vanya mendekat.
Vanya tahu, Tuan Ryland telah melihat insiden pelayan tadi dan sekarang Julian baru saja mencoba memadamkan kecurigaan itu dengan ciuman yang terlalu dramatis.
“Tuan Ryland,” Vanya menyapa, suaranya terdengar ceria, hampir melengking. Dia meniru intonasi wanita-wanita sosialita yang biasa ia lihat di acara besar, wanita-wanita yang otaknya hanya berisi kain sutra dan berlian.
“Nyonya Alistair,” balas Ryland, sedikit membungkuk. Ada ketegangan di matanya, sebuah pertanyaan yang tidak terucapkan.
“Oh, tolong, panggil saja Vanya. Anda membuat saya merasa sangat tua,” Vanya tertawa kecil. Itu adalah tawa yang kosong, tawa yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya.
"Anda tahu, saya harus berterima kasih kepada Anda. Gaun safir ini… Julian benar-benar tahu bagaimana memanjakan saya, bukan? Saya sempat mengira dia terlalu sibuk dengan perusahaan teknologinya yang membosankan itu, tetapi malam ini, dia benar-benar fokus.”
Ryland tersenyum lebar. Ketegangan di wajahnya sedikit mereda. “Memang, Nyonya Alistair. Anda dan Julian adalah pasangan yang sempurna.”
“Kami memang begitu,” Vanya menghela napas, menyentuh cincin kawinnya dan, yang lebih penting, cincin ‘The Crimson Hand’ yang baru.
“Meskipun, terkadang saya merasa pekerjaan Julian terlalu… rumit. Maksud saya, dia bahkan tidak memberi tahu saya apa yang terjadi dengan insiden kecil di koridor tadi. Apakah itu ada hubungannya dengan faksi-faksi yang selalu ia sebutkan? Saya benar-benar tidak mengerti politik.”
Vanya memastikan matanya berkedip dengan kepolosan yang naif. Ini adalah bagian yang paling sulit. Mengajukan pertanyaan yang tajam, sambil terdengar bodoh.
Ryland tertawa, kali ini lebih tulus. Vanya telah berhasil membuatnya merasa superior. “Jangan cemaskan, Nyonya Alistair. Hal-hal yang dilakukan Julian Alistair biasanya berada di luar pemahaman kita. Hanya masalah bisnis kecil. Anda fokus saja pada gaun dan perhiasan Anda.”
“Tepat sekali!” Vanya berpura-pura senang.
“Julian memang menyuruh saya menjauhi hal-hal yang 'berdarah' seperti itu. Dia bilang itu akan merusak kuku saya. Oh, dan berbicara tentang kuku, apakah Anda melihat berlian baru yang ia berikan kepada saya? Cincin ini, dia bilang itu hadiah khusus dari organisasi lamanya. Saya tidak mengerti apa artinya, tapi cantik sekali, ya kan?”
Vanya mengangkat tangannya, sengaja memamerkan cincin 'The Crimson Hand' di sebelah cincin kawinnya. Dia melihat mata Ryland langsung tertuju pada simbol itu, tangan mengepal dengan tetesan merah. Ryland membeku sejenak.
“Itu… itu cincin yang unik, Nyonya Alistair,” Ryland bergumam, nada suaranya sedikit berubah.