Hasil Perlindungan

1381 Words
'Aku harus menyelamatkan diri,' batin Vanya. Vanya secara refleks melompat ke depan, memosisikan tubuhnya di antara Julian dan benda gelap yang terbang itu. Dia memejamkan mata, menunggu benturan, jeritan, atau rasa sakit yang membakar. Benturan itu tidak datang. Yang ia rasakan hanyalah lengan Julian yang kuat melingkari pinggangnya, menariknya menjauh dengan kecepatan luar biasa. Mereka bergerak satu langkah ke samping. Benda gelap itu, sebuah proyektil kecil, mungkin peluru bius berkecepatan tinggi atau anak panah beracun—menghantam dinding marmer di belakang mereka, meninggalkan lubang kecil yang tersembunyi di balik ukiran rumit. Dalam waktu kurang dari dua detik, pelayan itu sudah ditahan oleh dua pria berjas hitam yang muncul entah dari mana. Tidak ada yang berteriak. Para tamu yang menyaksikan kekacauan itu hanya tersentak, mengira itu hanyalah insiden pelayan yang canggung. Musik orkestra melanjutkan alunan melodinya, menutupi jejak kekerasan yang baru saja terjadi. Julian berdiri di sana, sama sekali tidak terganggu, seolah-olah ia baru saja menghindari cipratan air. Pria dengan dasi kupu-kupu merah, yang ia sebut dari faksi Kaelen, terlihat bingung, lalu kecewa. Distraksi telah gagal. Julian melepaskan Vanya. Nafas Vanya terengah-engah, gaun birunya sedikit kusut. Ia merasa tubuhnya dingin dan gemetar. Kehidupan nyata baru saja mencoba mengklaimnya. Julian menoleh padanya. Ekspresinya yang dingin kini digantikan oleh sesuatu yang lebih gelap, lebih rumit. Itu adalah campuran kekaguman yang tersembunyi dan kemarahan yang membeku. “Kau baik-baik saja?” tanya Julian, suaranya sangat pelan sehingga hanya Vanya yang bisa mendengarnya. “A-apa yang terjadi?” Vanya berbisik, berusaha mengendalikan suaranya. “Pengalihan perhatian yang buruk,” jawab Julian, membersihkan sedikit debu kristal dari bahu Vanya. “Aku sudah tahu rencana mereka. Serangan itu tidak pernah dimaksudkan untuk melukaiku secara serius. Itu dimaksudkan untuk mengukur reaksimu, Vanya.” Ia menarik Vanya keluar dari kerumunan, menuju koridor yang tenang di mana hanya penjaga keamanan yang berdiri. Julian mendorong Vanya dengan lembut ke dinding, tubuhnya menjulang di atasnya. Matanya yang biru gelap menembus Vanya, mencari jawaban yang tidak bisa ia berikan. “Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak bergerak, untuk tidak menunjukkan ketakutan. Untuk menjadi sempurna,” desis Julian, suaranya mengandung bahaya yang jauh lebih besar daripada proyektil yang terbang itu. “Tapi kau melompat. Kau mencoba menutupi diriku.” Vanya mengangkat dagunya, mencoba menunjukkan keberanian yang baru ia temukan. “Itu adalah naluri. Aku tidak bisa membiarkan—“ Julian memotongnya dengan cengkeraman cepat dan kuat di dagunya. Ia memaksa Vanya mendongak, matanya bertemu langsung dengan matanya. Kehangatan yang ia tunjukkan di hadapan publik telah hilang. Yang tersisa hanyalah Pemimpin sindikat yang kejam. “Naluri?” Julian mengulangi kata itu dengan sinis. “Aset tidak memiliki naluri, Vanya. Aset hanya memiliki kegunaan.” Matanya menyipit, mengamati setiap detail wajah Vanya, seolah-olah dia adalah teka-teki yang baru saja berubah. Julian mendekatkan wajahnya, napasnya yang dingin menyentuh kulit Vanya. “Siapa yang mengizinkanmu bergerak, Vanya?” Cengkeraman Julian di dagu Vanya terasa seperti belenggu es. Kekuatan yang ia gunakan tidak menyakitkan secara fisik, tetapi implikasi dari tindakannya adalah teror yang nyata. Vanya melihat ke dalam mata Julian yang biru gelap, yang kini memancarkan api dingin seorang predator yang marah karena mangsanya bergerak di luar batas yang ditetapkan. “Jawa, siapa yang mengizinkanmu bergerak, Vanya?” Julian mengulang pertanyaannya, nada suaranya tajam dan berbahaya. Pria di hadapannya bukanlah CEO teknologi yang dihormati, melainkan Raja Hantu yang baru saja ia baca namanya di buku bersampul kulit hitam. “Aku… aku hanya mencoba…” Vanya memulai, suaranya tercekat. Ia mencoba menarik napas, tapi udara di koridor terasa terlalu tipis. “Mencoba apa, Vanya?” Julian mendesis, mendekatkan wajahnya, memaksa Vanya merasakan intensitas kemarahannya. “Mencoba menjadi pahlawan? Kau pikir kau sedang bermain dalam roman picisan? Kau adalah aset strategis. Tubuhmu adalah perisai. Tapi kau bergerak tanpa perintah, dan itu adalah tindakan pengkhianatan paling berbahaya.” “Pengkhianatan? Aku melindungimu!” Vanya membela diri, sedikit keberanian muncul dari keputusasaan. Julian tertawa pendek tanpa humor. “Melindungiku? Kau pikir proyeksi kecil itu bisa melukaiku? Aku melihatnya sebelum pelayan itu mengangkat tangannya. Serangan itu dimaksudkan untuk mengalihkan perhatianku, Vanya. Itu dimaksudkan untuk membuatku melihat ke arahmu, untuk melihat apakah aku peduli.” Rasa malu dan ketakutan membanjiri Vanya. Dia telah bereaksi berdasarkan emosi, sementara Julian beroperasi berdasarkan kalkulasi. Dia tidak menyelamatkan nyawa Julian, justru dia hampir mengacaukan rencana Julian. Julian melepaskan dagu Vanya, tetapi tangannya kini melingkari pinggangnya, menahannya erat-erat, seolah-olah dia adalah objek berharga yang rapuh namun harus dipertahankan. “Kau menempatkan dirimu di garis api, bukan karena strategi, tetapi karena naluri kekanak-kanakan. Itu menunjukkan kepada faksi Kaelen bahwa aku memiliki celah. Bahwa kau adalah titik lemahku. Dan di dunia ini, Vanya, menunjukkan kelemahan adalah sebuah kematian yang lambat dan menyakitkan.” Vanya merasakan air mata panas menggenang, namun ia menahannya mati-matian. Ia tidak akan membiarkan Julian melihatnya menangis. Bukan di sini. “Aku mengerti,” bisik Vanya, suaranya serak. Dia mengingat daftar nama yang ditandai silang merah. Dia mengingat cincin ‘The Crimson Hand’. Ini bukan lagi tentang pernikahan; ini adalah tentang kelangsungan hidup. “Tidak, kau belum mengerti,” koreksi Julian, matanya tajam. “Kau mengerti ancaman yang mengarah padaku. Kau belum mengerti ancaman yang mengarah padamu. Atau, lebih tepatnya, kepada siapa pun yang terkait denganmu.” Saat Julian mengucapkan kata-kata itu, udara di sekitar mereka menjadi dingin. Itu adalah ancaman yang terselubung, tidak langsung, tetapi lebih mematikan daripada peluru apapun. Vanya tahu Julian mengacu pada satu-satunya hal yang benar-benar ia sayangi: keluarganya, yang kini tinggal di bawah perlindungan atau pengawasan) Julian. “Keluargaku…” Vanya bergumam, jantungnya mencelos. Rasa takut kini mengalahkan semua kemarahan atau kebencian. Julian tersenyum kecil, senyum kemenangan yang kejam. “Kau sangat lugu, Vanya. Kau pikir kau aman di dalam sangkar emas ini. Tapi keselamatanmu dan keselamatan mereka yang kau cintai, sepenuhnya tergantung pada satu hal. Ketaatan mutlakmu padaku. Aku memberimu kehidupan yang mewah, aku memberimu perlindungan yang tidak akan bisa dibeli oleh orang lain. Tapi harga dari perlindungan itu adalah dirimu sendiri.” Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Vanya, suaranya merendah menjadi bisikan yang hanya dimiliki oleh raja-raja gelap. “Jangan pernah lagi bertindak tanpa seizinku. Jangan pernah lagi tunjukkan kepada siapa pun bahwa kau memiliki hati yang mampu berkorban. Karena jika mereka tahu, mereka akan merobek hati itu dan menggunakannya untuk menghancurkan segalanya yang penting bagimu.” Vanya merasakan seluruh keberaniannya menguap. Julian tidak hanya mengancamnya. Ia memberinya pelajaran brutal tentang realitas baru mereka. Dia tidak hanya takut pada Julian, dia takut pada apa yang akan terjadi jika Julian marah atau jika Julian gagal. “Aku… aku minta maaf,” Vanya menyerah, kepalanya tertunduk. Itu bukan permintaan maaf, itu adalah sumpah kepatuhan. “Aku akan menjadi aset yang lebih baik. Aku akan melakukan apa pun yang kau perintahkan.” Julian melepaskan tangannya dari pinggang Vanya dan, yang mengejutkan, mengelus pipinya dengan ibu jarinya. Sentuhan itu kontradiktif, dingin namun posesif. Ini adalah cara Julian menerima janjinya. “Bagus,” kata Julian. “Ketaatanmu adalah satu-satunya mata uang yang berharga di sini. Kau harus belajar. Cepat. Malam ini, kau membuat kesalahan fatal. Tapi kau juga menunjukkan potensi.” Ia menarik Vanya sedikit menjauh, matanya menyapu koridor untuk memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. “Sekarang, kita kembali ke aula. Kita harus menunjukkan kepada para bankir dan tikus-tikus faksi Kaelen itu bahwa tidak ada yang terjadi. Bahwa Julian Alistair tidak terpengaruh, dan Nyonya Alistair adalah patung marmer yang sempurna.” Julian mulai berjalan, tetapi Vanya ragu-ragu. “Pelayan itu… dia akan…” “Pelayan itu adalah masalah yang sudah diselesaikan,” potong Julian, bahkan tanpa menoleh ke belakang. “Dia dikirim oleh faksi Kaelen sebagai umpan. Mereka gagal. Dia membayar harganya. Jangan cemaskan hal-hal yang berada di luar prediksimu, Vanya. Fokus pada peranmu.” Saat mereka kembali memasuki keramaian, Vanya merasa seperti ia telah melewati ambang batas yang tidak bisa ditarik kembali. Gaun safirnya yang mewah terasa seperti jubah pengekang. Ia tidak lagi melihat Julian sebagai suami yang dingin, tapi melihatnya sebagai arsitek penjaranya. Namun, ia juga melihatnya sebagai satu-satunya pelindung keluarganya. Mereka mencapai pusat aula. Julian menahan Vanya di sisinya. Dia tersenyum, senyum publik yang karismatik, yang menyembunyikan kekejaman yang baru saja ia tunjukkan. “Kau harus menebus kesalahanmu,” bisik Julian, suaranya terdengar ramah di telinga orang lain, namun merupakan perintah mutlak bagi Vanya. “Bagaimana?” tanya Vanya, menatap Julian dengan mata yang kini dipenuhi kecerdasan yang waspada, bukan lagi kepolosan yang naif.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD