--Happy Reading--
Semenjak terbongkarnya perselingkuhan suaminya tadi pagi, siang hari ini pun Intan akan pulang ke rumah orang tuanya. Namun, dia meminta izin terlebih dahulu ke kantor, untuk tidak bisa masuk bekerja hari ini.
Dengan membawa pakaian di koper seadanya dan kedua bayi kembarnya, Intan memboyong mereka ikut serta.
Asisten rumah tangganya pun sangat tidak rela melihat pertengkaran majikannya, yang berakhir dengan sebuah perpisahan.
Babysitter si kembar, Dewi dan Dewa, ikut serta bersama Intan untuk tetap mengasuh mereka.
Penghianatan Burhan atas rumah tangganya, membuat Intan tetap tegar meski kelak harus membesarkan kedua anak kembarnya seorang diri.
Burhan terus mencegah kepergian Intan, dari rumahnya. Bagaimanapun dia tidak rela, kalau harus berpisah dengan istri dan kedua anak kembar yang dicintainya.
"P-pikirkan dulu, sayang! Jangan terlalu cepat mengambil keputusan!" tahan Burhan mencekal tangan Intan.
"Lepaskan, Mas! Keputusanku sudah bulat. Kita bertemu lagi, di Pengadilan saat Perceraian kita diputuskan oleh Hakim."
Tanpa menunggu suaminya bicara lagi, Intan bergegas melangkah pergi menuju pintu luar rumah yang penuh kenangan manis, indah dan sekaligus pahit.
Mobil taxi online, yang sebelumnya dia pesan, kini sudah menunggu di depan halaman rumahnya.
"Sini, saya bantu Nyonya," tawar supir itu ramah.
Supir taxi online itu pun membantu Intan memasukkan koper Intan ke dalam bagasi belakang mobilnya.
"Terima kasih, Pak!"
"Sama-sama, Nyonya."
Kini, Intan, babysitter dan kedua bayi kembarnya sudah berada dalam mobil taxi online tersebut dan siap untuk segera pergi meninggalkan rumah yang dibangun dengan penuh cinta dan ditinggalkan dengan penuh kemarahan dan kebencian di hati Intan.
Burhan hanya bisa menatap kepergian istri dan kedua anak kembarnya, hingga menjauh dan menghilang membelah jalanan ibu kota Jakarta.
Rumah yang tadinya ramai dengan tawa istri dan tangisan si kembar, kini begitu sepi dan hampa.
Rumah seluas dua ratus meter dan bertingkat dua itu, memang dibangun atas nama Burhan. Karena, rumah itu berdiri di atas tanah warisan milik kedua orang tua Burhan. Jadi, Intan memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Meskipun, dia ikut andil saat pembangunan rumah itu, dari hasil kerja kerasnya di salah satu sebuah Perusahaan ternama di kota Jakarta, dia sudah tidak sudi untuk tinggal seatap dengan Burhan.
***
Sebelum Intan sampai di rumah kedua orang tuanya. Dia pun menghubungi sang mama terlebih dahulu.
Dengan sekuat hati menahan diri, agar tidak kentara dirinya habis menangis dalam waktu lama.
Ya, dia memang wanita yang tidak bisa menahan tangis, jika dirinya disakiti. Jangankan dirinya yang disakiti, kucing peliharaannya mati pun, dia menangis saking tidak kuatnya menahan sedih atas kepergian kucingnya untuk selamanya.
"Hallo, Assalamu'alaikum. Mah!"
"Wa'alaikumussalam, Tan."
"Mah, izinkan aku menginap di rumah Mama."
"Ada apa, Tan? Kenapa kamu mendadak menginap? Apakah sudah meminta izin dengan suamimu, Tan?" brondong pertanyaan sang mama, yang membuat air mata Intan kembali menetes. Namun, buru-buru dia usap dengan punggung tangannya. Sebisa mungkin, dia sembunyikan di depan supir taxi online yang mengantarnya menuju rumah kedua orang tuanya.
"Sudah, Mah!"
"Bagaimana dengan pekerjaanmu? Setahu Mama, hari ini bukan hari libur, 'kan? Mengapa mendadak seperti ini, Tan?"
"Nanti, Intan jelaskan di rumah, Mah."
"Baiklah! Hati-hati di jalan!"
"Ya, Mah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
***
Sang Mama yang bernama Widya Sari, tengah menangisi rumah tangga putri pertamanya, Intan Maharani.
Tangisannya pun pecah, kala Intan menceritakan semua peristiwa tadi pagi yang dialaminya. Sungguh miris nasib biduk rumah tangga putrinya yang baru tiga tahun berjalan, harus terpaksa berpisah dengan cara perceraian karena orang ketiga dalam rumah tangganya.
Widya Sari yang mengenal sosok Burhan, menantunya, sangat baik, jujur dan penyayang selama ini. Tidak mengira, tega menghianati putrinya dengan wanita lain. Bahkan, wanita itu sahabat putrinya sendiri. Dia pun mengenal baik siapa Jihan.
"J-jihan.... sahabat macam apa, dia? Sungguh jahat dia kepadamu, Tan," kesal Widya Sari, mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, dia ingin sekali menjambak rambut Jihan dan memakinya dengan kata kasar, seandainya ada wanita itu di hadapannya.
Intan hanya tersenyum getir, di tengah tangisannya. Dia pun sangat kecewa dan sakit hati atas penghianatan sahabatnya itu, dengan teganya merebut suaminya.
"M-mungkin, jodohku dengan Mas Burhan hanya sampai di sini, Mah. Aku percaya, akan ada hikmah di balik semua kejadian ini. Aku percaya, Tuhan tidak pernah tidur dan tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hambanya. Aku adalah salah satu wanita yang terpilih, untuk menjalani ujian dan cobaan dalam hidup yang sangat berat ini, Mah."
Widya Sari pun merasa terharu mendengar penuturan sang putri yang begitu tegar dan kuat, meskipun dalam hatinya sedang hancur dan terkoyak.
"Mama tidak menyangka, kamu bisa sedewasa ini, Tan. Kalau Mama jadi kamu, pasti Mama sudah maki-maki tuh si Burhan. Terus, Mama siram deh pakai air mendidih. Biar wajahnya yang tidak ganteng-ganteng amat itu rusak dan si Jihan pun berpikir seribu kali untuk meminta menikahinya," sloroh Widya Sari, mengungkapkan kemarahannya.
Hahaha...
Sontak saja, Intan pun tertawa lepas, mendengar kekesalan sang mama di tengah kesedihannya itu.
Widya Sari pun dengan cepat, menarik tubuh sang putri ke dalam pelukkannya.
"Mama yakin, suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh suami yang lebih baik dan setia. Mama percaya itu, Tan."
"Intan tidak memikirkan hal itu, Mah. Yang Intan pikirkan, bagaimana harus bekerja mencari uang untuk membesarkan si kembar, Dewa dan Dewi, Mah. Hanya itu!"
"Ya, Intan sayang."
Mereka pun larut dalam pelukkan antara Ibu dan Anak yang sedang menghapus kesedihan.
Setelah kurang lebih hampir satu jam menceritakan semua kejadian yang menimpanya, Intan pun bergegas ke kamar lamanya yang masih tetap sama sewaktu dirinya masih gadis dulu.
Si kembar, Dewa dan Dewi kini sedang tertidur pulas di atas ranjangnya di temani babysitternya yang selama ini sangat dia percaya, seperti adiknya sendiri.
Merebahkan diri di atas sofa di kamarnya, dia pun menatap langit-langit atap kamarnya berhiaskan lampu yang menggantung dengan tatapan nanar. Pikirannya seolah kembali ke masa-masa dirinya baru menikah dulu dengan Burhan. Namun, buru-buru dia tepis dan segera bangkit untuk membersihkan diri. Karena tubuhnya yang sangat letih dan lelah seharian ini menguras emosi dan air mata.
***
Tiga bulan kemudian.
Tok...
Tok...
Tok...
Suara palu hakim telah diputuskan, Intan dan Burhan kini sudah resmi bercerai. Karena, dari gugatan yang dilayangkan oleh Intan Maharani, sudah diterima oleh Hakim. Meskipun usaha jalur damai lewat mediasi kedua belah pihak sudah ditempuh. Namun, keputusan Intan Maharani tidak berubah sama sekali. Perceraian itu pun akhirnya terjadi dan keduanya kini telah resmi menyandang status baru, menjadi Duda dan Janda.
"C-cukup aku saja yang kau sakiti, Mas. J-jangan tunda lagi pernikahanmu dengan Jihan! Bagaimanapun, kehamilan Jihan semakin lama akan semakin membesar. Aku tunggu undangan pernikahanmu."
Sekuat hati Intan mengucapkan kata-kata itu kepada Burhan, agar mantan suaminya itu segera menikahi selingkuhannya.
Jleb!
Perasaan Burhan seperti tertampar dengan kata-kata mantan istrinya. Terbuat dari apa hati mantan istrinya itu. Meski sudah berpisah, masih bisa memikirkan masa depan selingkuhannya yang telah merebut ia sebagai suaminya dulu.
--To be Continue--