Part 1

1163 Words
Suasana studio foto sangat ramai. Ada beberapa model sedang melakukan pemotretan. Sejak 2 tahun lalu Roland menjadi manajer model lain. Zeeva memutuskan untuk pensiun dari dunia permodelan. Suaminya tidak setuju, Zeeva menjadi model kembali. Apalagi setelah melahirkan putra pertamanya. Sahabatnya ingin fokus pada keluarga. "Roland," seru salah satu kru. Roland baru saja menerima telepon dari ibu angkatnya. Sepertinya ada sesuatu yang penting sampai ibunya menyuruhnya pulang besok. Ia tidak mau terjadi sesuatu pada ibunya. Hari ini ia harus meminta ijin agar besok tidak masuk kerja. "Iya ada apa?" jawabnya. "Kamu disuruh menghadap Pak Irwan di ruangannya." Kru itu pergi setelah menyampaikan pesan dari sang bos. Roland bangkit sebelumnya melirik sekilas model yang sedang berpose seksi. Kenapa setiap melihat wanita yang seksi tidak ada reaksi sama sekali dalam dirinya. Ia menghela napas dan pergi ke ruang Pak Irwan. Tokk.. Tokk.. Tok.. "Masuk!" "Ada perlu dengan saya, Pak?" ia masuk, Pak Irwan menyuruhnya duduk di sofa. "Begini, sepertinya Angel tidak bisa ikut pemotretan besok ke Bali. Dia sedang sakit flu, pemotretan besok underwater, kan?" tanya Pak Irwan sembari duduk. "Iya, Pak. Memang seperti itu. Sakit sejak kapan Pak, Angel?" "Tadi pagi. Jadi kamu besok bisa menemani model lain." Terangnya. Roland menjadi manajer lepas. Ia hanya mau menjadi manajer pengganti saja. Cukup membantu model-model baru. Zeeva rekan kerja sekaligus sahabatnya. Ia hanya nyaman bersama Zeeva. "Pak, boleh saya besok minta izin?" "Memangnya kamu kenapa?" "Besok saya mau pulang ke Bandung." "Baiklah, berapa hari?" "Sekitar tiga atau empat hari," Roland memastikan tidak akan lama. 6 bulan ia tidak bertemu ibunya. Keluarganya memang sederhana namun Roland tinggal di Jakarta dengan fasilitas yang cukup wah. Kerja kerasnya bertahun-tahun menghasilkan pundi-pundi ke tabungannya. Apartemen dan mobil mewah sudah didapatkannya dengan usaha dan tentu doa dari sang ibu. Orang tua kandung Roland telah meninggal saat ia berusia 16 tahun. Ia dan adiknya di angkat anak oleh Ibu Mae. Ibu Mae tidak mempunyai anak di pernikahannya dulu. Sebagai anak angkat pertama akan menjadi tulang punggung keluarga. Almarhum kedua orang tua kandungnya tidak mewariskan apa pun. Sebab itulah ia merantau ke Jakarta. Syukurlah adiknya Rere mendapatkan beasiswa ke London. Siapa yang tidak bangga. "Nanti kamu bilang ke asisten Angel untuk membatalkan acara besok." Pak Irwan menyetujui izinnya. "Terima kasih, Pak." Roland pamit. Ia harus bersiap-siap membawakan oleh-oleh untuk ibunya dan juga tetangganya. Ibu Mae, ibunya selalu membagikan apa yang ia bawa dari Jakarta. Pernah Roland membawa satu koper pakaian. Di sangka ibunya adalah oleh-oleh, pakaian Roland dibagikan juga. Sampai pakaian dalam pun diberikan. Ibunya memang unik. Ia mampir ke sebuah mall membeli pakaian dan juga makanan untuk ibunya. Roland sangat menyayanginya. Sebenar ia ingin membawa ibunya ke Jakarta untuk tinggal bersama. Tapi Ibu Mae menolak beralasan tidak betah hidup di kota besar. Ia merindukan pedesaan seperti di kampungnya. Pernah dulu menginap di apartemen Roland besok paginya sudah pulang. "Lebih baik aku berangkat malam ini, daripada besok macet." Ia memutuskan langsung ke Bandung malam-malam. *** Di sebuah rumah sederhana Ibu Mae sedang ditemani Icha tetangganya. Mereka duduk lesehan sambil menonton sinetron di salah satu stasiun TV swasta. Ibu Mae begitu serius sampai matanya tidak berkedip ketika aktor kesukaannya yang bicara. Icha tertawa geli melihat tingkah laku Ibu Mae yang sudah di anggap ibunya sendiri. Icha pun memanggil Ibu Mae dengan sebutan 'Mamak'. Nama panjangnya Khairunissa. Nama yang indah dan cantik seperti orangnya. Ibu Mae selalu minta ditemaninya jika menonton TV. Ibu paruh baya itu kesepian kedua anaknya jauh. Kehadiran Icha membuat hatinya senang. Gadis berhijab itu yatim piatu. Ia tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Gadis baik hati, pendiam dan jarang bergaul di kampung. Itu lah yang Ibu Mae ingin menjadikannya menantu. Icha adalah mantu idaman bagi Ibu Mae. Mendengar suara pintu rumah diketuk. Icha berinisiatif membukanya. Ia berdiri tanpa banyak bicara. Dari ruang TV ia berjalan ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Tangannya memegang handle pintu dan terbuka. Icha tertegun melihat d**a seseorang. Ia harus mendongakkan kepalanya. Mata mereka saling bertemu dan saling terdiam. Gadis itu mulai membuka mulutnya. "Cari siapa ya, A?" "Eum, apa Ibu Maemunah ada?" "Oh, Mamak. Sebentar ya," Icha masuk ke dalam memanggilkan Ibu Mae. Dahi Roland mengerut saat gadis itu memanggil 'Mamak'. Ia tidak punya adik lagi, matanya terbelalak apa ibunya menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya? Belum sempat ia berpikir ulang, suara teriakkan menggema di ruang tamu. "ROLAND!!" teriaknya lalu menubruk putranya yang lama telah hilang. "Mamak!" ia buru-buru balas memeluk ibunya. "Katanya pulang besok?!" Ibu Mae memeluk putra kesayangannya. Ia meluapkan semua kerinduannya selama ini. Roland sangat sibuk tidak pernah pulang. "Roland, kangen Mamak. Jadi langsung berangkat tadi pas mamak telepon," ucapnya seraya melepaskan pelukan. Icha yang memandangi ibu dan anak itu tersenyum. Ibu Mae pasti merindukan anak-anaknya. "Oleh-oleh ada di mobil, besok saja dibagikannya ya, Mak." "Iya," Ibu Mae berbalik, Icha masih setia berdiri dibelakangnya. "Icha, kenalin ini anak Mamak." Icha merasa minder dari pakaiannya sedangkan Roland sangat modis. Kemeja biru muda berlengan panjang yang di tengah dadanya diselipkan kacamata hitam. Ia ragu untuk mendekat sampai Ibu Mae menarik tangannya. "Roland, ini Icha dan Icha ini Roland." Mereka bersalaman. Tangan Icha gemetar, Roland menatapnya dengan intens. Pipi Icha memerah. Ini pertama Icha bertemu pria sekeren ini. Di kampung mana ada yang seperti ini modelnya. Paling pakai sweater saja sudah keren. "Roland," "Icha," Ibu Mae tersenyum miring penuh arti. Icha dengan cepat menarik tangannya. "Mamak, Icha pulang dulu ya. Sudah malam, Budi sepertinya tidak menjemput." Biasanya Budi yang menjemputnya jika pulang malam. Budi adalah anak tetangga sebelah rumah Icha. Ia takut jalan pulang sendirian. "Diantar Roland ya," usul Ibu Mae. Icha yang akan menolak malah terdiam. Ketika Roland mengiyakan untuk mengantarnya pulang. Ibu Mae senang luar biasa, perjodohan telah di mulai malam itu. "Rumahnya jauh, Mak?" tanya Roland pada ibunya. "Tidak, cuma lima rumah saja dari sini. Kasihan biar pun dekat tapi kan takut juga. Ya sudah antarkan Icha dulu." Roland mengangguk. "Biar, saya antar," Roland jalan mendahuluinya. "Mamak, Icha pulang dulu ya." Pamitnya pulang sembari mencium tangan. "Besok main lagi ya," Icha mengangguk lalu mengekori Roland sambil menatap punggungnya. Begitu lebar dan kuat. Sepanjang jalan tidak ada yang memulai bicara. Suara jangkrik yang menemani langkah mereka. Daerahnya masih persawahan. Jelas saja Icha takut jika pulang sendirian. Lampu yang menerangi jalanan tidak terang. "A," Roland berhenti lalu menoleh. "Itu rumah Icha." Ia menunjuk rumah yang ada di samping Roland. Rumah yang sangat sederhana di depannya terdapat bale bambu. "Terima kasih ya A, sudah mengantarkan Icha." "Iya sama-sama. Kalau begitu saya pulang dulu." "Iya, A." Roland kembali ke rumahnya. Belum juga membuka sepatu ia sudah di todong pertanyaan. "Kok cepat?" Ibu Mae penasaran. "Iya, cepat Mak. Cuma lima rumah dari sini." Ia menaruh sepatu di rak kecil di pinggir pintu. Sayangnya bukan lima langkah. "Tidak mengobrol-ngobrol dulu?" "Mengobrol apa, Mak? Kenal saja tidak." Ibu Mae menarik napas panjang. Mungkin hari ini belum ada reaksi atau semacamnya. Namanya baru perkenalan, pikirnya. Besok baru ia akan mengutarakan tentang perjodohan antara anaknya dengan Icha. "Jangan lupa kunci pintunya, Roland." "Iya, Mak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD