Part 2

2080 Words
Ibu Mae tidak bisa tidur semalaman. Ia menekankan cara untuk menyatukan dua hati menjadi satu. Perjodohan ini harus sukses antara Roland dan Icha. Kesempatannya mencari cara karena putranya masih ada di rumah. Pagi-pagi buta Ibu Mae sudah mandi dan rapi dengan gamis hijau senada hijabnya. Ia akan menjemput calon mantunya untuk ke pasar bersama. Dengan langkah riang ia menuju rumah Icha. Andai saja hanya lima langkah, pasti Ibu Mae tidak perlu jalan cukup teriak saja. Ia menyanyikan lagu dangdut 'Pacarku lima langkah', namun ia mengganti liriknya dengan 'Calon Mantuku Lima Rumah'. Nyanyian sungguh absurd tak apalah yang penting hatinya senang. Tepat di depan pintu rumah Icha Bersiap. Ternyata pintu sudah terbuka dengan sendirinya. Icha berdiri di hadapannya sembari membawa ember cucian. "Mamak, kok ada di sini?" Icha menurunkan embernya, Ibu Mae menyengir. Calon mantunya rajin sekali pagi-pagi sudah mencuci pakaian. "Icha antar Mamak ke pasar yuk," "Ta .. Tapi ... Icha menjemur baju dulu ya, Mak." Ibu Mae mengangguk mengerti. Ia duduk di bale bambu menunggu Icha selesai menjemur. "Nek Siti ke mana, Cha?" "Ada di dapur, Mak. Lagi masak air." Icha memeras gamisnya lalu membentangkan di tali jemuran. Icha gadis cantik kulitnya memang putih namun tingginya hanya 155 cm. Dan ia terlihat seperti anak kecil padahal usianya 22 tahun. Perawakannya yang terlihat masih muda. Di kampungnya usia seperti Icha seharusnya sudah menikah. Tapi belum ada yang meminangnya karena Icha yatim piatu dan tidak berharta. Status sosial masih menjadi perbandingan di kampung itu. Ia mengajar sebagai guru guru di sekolah dasar dekat rumah adat. Ibu Mae tidak melihat status sosial Icha. Kebaikan, keramahan dan kesederhanaan yang dinilainya. Biarlah tak berharta, bisa cari. Roland sudah mempunyai pekerjaan tetap. Icha mencabut air cucian setelah selesai menjemur. Ia pamit untuk mengganti pakaiannya yang basah. Ibu Mae menunggu dengan sabar walaupun sesekali nyamuk menghampiri untuk mencium pipinya. Icha keluar dengan gamis dan hijab senada berwarna coklat. Gamis yang warnanya memudar di makan usia. Ibu Mae segera menggandengnya. "Sudah pamit sama Nenek Siti?" tanya Ibu Mae seraya melangkah. "Sudah, Mak." Mereka berdua mengobrol sepanjang perjalanan ke pasar. Melewati persawahan yang masih hijau dengan matahari yang mulai terbit. Udaranya menyejukkan. Sampai di jalan raya mereka naik angkutan umum. Di pasar sudah ramai pembeli. Ibu Mae mencoba mencari bahan makanan untuk memasaknya hari ini. Ia ingin membuatkan makanan kesukaan Roland, putranya. Pecak ikan mas dan sayur lodeh. Icha membuntuti Ibu Mae dan mengantarkan belanjaannya. Ibu Mae pintar tawar menawar. Bukannya pelit, tawar menawar dalam membeli itu kecuali ke supermarket yang ada di usir satpam. "Icha mau makan apa, nanti sekalian mamak buatkan?" tanya Ibu Mae menoleh padanya. "Tidak Mak, terima kasih." Ia tidak enak, siapa dirinya sampai Ibu Mae mau memasakkan. Memangnya ia mantu ibu mae? keluhnya dalam hati. "Why? Nantikan kita makan bersama." "Tidak Mamak, terima kasih." Icha tetap menolak. "Mamak hari ini tidak jualan. Mumpung ada Roland, Mamak mau cuti dulu tiga hari." Ibu Mae berinisiatif mencari ayam untuk dibuat ayam goreng. Dan itu untuk calon mantunya. Satu jam berlalu Ibu Mae dan Icha pulang ke rumah. Ibu Mae untuk membantunya memasak. Icha lagi-lagi menolak beralasan ia mau masak untuk nenek dan kakeknya. Padahal Icha tau di rumah adat tidak ada bahan makanan hanya ada telur. Ia tidak enak setiap hari utama ke rumah Ibu Mae. Tetangga selalu mencibirnya. "Tidak apa-apa, Icha. Nanti masakannya bagi dua buat Nenek Siti." Ibu Mae membuka pintu rumah. Icha masuk ke dapur menaruh di atas meja makan. "Tapi, Mak," “Adu… Aduh ..” Ibu Mae memegang pinggangnya. "Kenapa Mak?" Icha terlihat khawatir. "Ini rematik Mamak sepertinya kambuh," Ibu Mae meringis dalam hati tertawa. Ia berbohong karena Icha selalu menolak. Jika seperti ini pasti Icha dengan tangan terbuka memasak memasak. Icha memapahnya untuk duduk di kursi. "Kalau begitu biar Icha saja yang masak, Mak. Mamak duduk di sini ya." Bibir Ibu Mae melebar tanpa sepengetahuan Icha. "Iya, tolong bantu masak ya, Cha." Berpura-pura kesakitan. Icha mengangguk pasti dengan cekatan dia membersihkan ikan mas. Segala bumbu-bumbu yang dibutuhkan. Sedangkan Ibu Mae mengirisi sayuran untuk sayur lodeh di meja makan. "Hoaamm ,, Mamak dari mana?" tanya seseorang, Bu Mae melotot. Dan Icha berbalik sampai menjatuhkan spatulanya melihat pemandangan itu. "YA AMPUN ROLAND !! PAKAI BAJUMU !!" teriak Ibu Mae. Icha syok, tubuhnya susah digerakan. Ia segera memejamkan matanya. Roland yang masih mengantuk terbelalak. Di dapur bukan hanya ada ibunya, melainkan gadis itu pun ada. Sontak ia melakukan dadanya lalu kabur. Roland hanya melihat boxer tanpa kaos. Kebiasaan tidur selalu seperti itu. "Roland sudah pergi, buka matamu, Cha." Icha mengerjapkan matanya seperti burung hantu. Tadi itu apa berbulu dan kotak-kotak, pikirnya. "Maafkan Roland ya, Cha. Kalau tidur dia tidak suka pakai baju," terang Ibu Mae lanjutkan mengiris nangka. Dalam hati tertawa geli. "Iya, Mak," pipinya memanas lalu berbalik sampai lupa spatulanya jatuh. Ia buru-buru menggantinya dengan yang baru. *** Jantungnya tidak berdebar tidak karuan. Siapa gadis itu? Pagi-pagi sudah ada dirumahnya? Roland menenangkan dirinya yang tidak kalah syok. Bisa punya penyakit jantung kalau setiap hari seperti ini, keluhnya. Ia membuka napasnya yang agak tersengal. Ia duduk di tepi kasur. Celana boxer nya mengerut Sampai pahanya. Ia menepuk jidatnya. Boxer- nya terlalu pendek pantas saja gadis itu melotot melihatnya. "Roland, Roland, kenapa pagi-pagi sudah sial!" rutuknya sendiri. Ia mengambil kaos yang ia gunakan semalam. Roland mengurung diri di dalam kamar sebelum ibu memanggil untuk sarapan. Roland segera mandi. Di kamar kamar sendiri. Ia mengenakan celana pendek di bawah lutut dan tidak lupa kaos yang pas di badan. Sudah rapi merasa, ia keluar kamar dan langsung ke dapur. Di sana makanan sudah tersaji di meja makan. Seakan melambai-lambai untuk dinikmati. Namun ia tertegun, dikursi makan tidak hanya ada ibunya tapi gadis itu pun masih berada di sana. Roland mencoba tersenyum sedangkan Icha menunduk. Ia sangat malu karena kepergok tidak memakai kaos. "Sarapan dulu Roland, ada makanan kesukaan kamu. Ini Icha yang buat lho," promosinya di mulai. Roland menarik kursi lalu duduk. "Kelihatannya enak, Mak," "Yaiyalah, Icha yang buat ini." Promosi kedua. Ibu Mae mengambilkan nasi untuk Roland. Ketika sayur mangkuknya jauh, Ibu Mae menyerahkan piring Roland ke Icha. Gadis itu mengambilkannya lalu diberikan kepada pemiliknya. Momen itu berarti untuk Ibu Mae. Mereka seperti pasangan pasangan-istri. Semoga saja itu terjadi, amin, doa Ibu Mae dalam hati. Roland menikmati makanan itu, pecak ikannya memang enak. Kuahnya segar ada rasa asam dari sedikit asam Jawa. Ia sampai nambah dua kali. Ibu Mae tersenyum penuh arti. Icha sudah memenangkan perutnya tinggal hatinya saja belum. Sarapan sudah selesai Ibu Mae mengambil rantang untuk Neneknya Icha. Ia menduakan makanan untuk mereka yang sebelumnya sudah benar. Icha kembali menolak. Siapa lagi kalau bukan Ibu Mae, ia akan terus memaksanya. "Icha, ini untuk nenek sama kakek di rumah ya," Ibu Mae mengangsurkan rantang tersebut. Icha mengambilnya dengan ragu. Ia malu, apalagi ada Roland. Ia seperti benalu yang hinggap di Ibu Mae. "Terima kasih, Mak," ucapnya pelan. "Sudah jangan malu, Icha. Kamu sudah mamak anggap anak sendiri. Roland antarkan Icha!" "Mak, ini kan sudah siang masa iya di antar?" Roland yang masih duduk di meja makan. Ibu Mae melotot sampai matanya ingin keluar. Roland takut dan akhirnya setuju mengantarkan calon mantu idaman mamaknya. Jalan tetangga berbisik-bisik melihat mereka berdua. Roland yang tampang selengehan biasa saja kemayuannya. Ia tidak ambil pusing yang penting ia tidak minta makan ke tetangganya. "Nama kamu Icha?" Roland berbasa-basi. "Iya, A." Aa adalah sebutan untuk menghormati pria yang lebih tua. Panggilan itu untuk orang Jawa Barat dan sekitarnya. "Icha?" Ya, "gadis itu mengangkat kepalanya. Sejak tadi ia hanya menunduk sambil mengukur jalan. "Bisa tolong foto, kan?" "Foto?" Roland mengangguk. Ia merogoh ponselnya diserahkan pada Icha. Dengan latar belakang persawahan akan terlihat keren. Icha menatap lama ponsel Roland. Ini pertama kalinya ia memegang ponsel mahal. Icha sampai terharu. "Ini caranya bagaimana, A?" Roland mendekat dan memberi tahu bagaimana cara mengambil fotonya nanti. "Sudah mengerti kan?" anggukan kepala menjadi jawaban. Roland berpose berdiri dengan kedua tangan di masukan ke sakunya. Cekrekk .. "Satu lagi ya, Cha!" serunya. Cekrekk .. Roland berlari kecil melihat hasilnya. Di foto itu tampak keren dan tidak terlihat bahwa ada yang lain dalam dirinya. Icha terbuai harumnya parfum yang Roland pakai. Dari jarak sedekat ini Icha grogi. Ia belum pernah dekat dengan pria manapun. "Terima kasih ya, Cha," "Iya, A." "Kita perjalanan ke rumah kamu." Roland menepuk jidatnya. "Bisa kamu tunggu di sini sebentar?" tanya Roland. Kenapa memangnya? Icha tidak mengerti. "Tunggu sebentar saja ya," pria gemulai itu berlari ke rumah. Icha memandangi punggung Roland yang pergi. Terlintas dalam hal sifat Roland yang baik walaupun ada yang janggal dengan tingkahnya. Di matanya itu menarik perhatiannya. Roland pulang mengambil kunci mobil untuk membuka bagasi. Di sana semua oleh-oleh dari Jakarta tersimpan. Ia mengambil satu plastik untuk Icha. Kemudian kembali ke gadis itu sambil menenteng plastik oleh-oleh. "Ini buat kamu," “Tapi A ..” Roland menarik masuk. Mau tak mau Icha memegangnya. Ibu dan anak samanya, pemaksa. Terima kasih ya A, ucapnya tulus. "Sama-sama, Icha." *** Siang harinya Ibu Mae sudah membagikan oleh-oleh. Saatnya duduk santai di ruang tamu. Di sana juga ada Roland yang memainkan ponselnya. Ibu Mae ingin memulai berbicara serius dengan Roland. Ini adalah kesempatannya. Kapan lagi putranya pulang? "Roland," putranya menoleh ke arah ibunya. "Ada apa, Mak?" ia menaruh ponsel ke saku celana jeans. "Mamak, mau bicara serius sama kamu." "Bicara apa?" dahi Roland mengerut meminta permintaan untuk melanjutkan. "Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Ibu Mae dengan tatapan serius. Roland menegang. "Mamak mau kamu cepat menikah. Kamu sudah punya calon?" Roland mengatup rapat bibirnya. Lidahnya terasa kelu. Selama ini ia tidak pernah dekat dengan gadis mana pun. Tidak ada minat sedikit pun untuk menjalin hubungan dengan seorang gadis. Ia mengakui ada yang salah dalam dirinya. Kadang kadang pernah terpesona pada sejenisnya bukan lawan jenisnya. Cukup lama ia menjawabnya. "Tidak, Mak," "Menurutmu Icha bagaimana?" "Icha, gadis yang tadi?" ulang Roland. "Iya," Cantik, mata Ibu Mae berbinar terang benderang. "Mamak mau menjodohkan kalian." Ibu Mae sungguh sungguh. Dalam dadanya bergemuruh semangat 45. "APAAAA ?!" teriak Roland berjingkat kaget. "Iya, Roland. Mamak mau melihat kamu segera menikah. Berhubung kamu belum ada calon. Biar calon dari mamak saja, calon mantu idaman mamak itu Icha." Roland menganga lebar. Mimpi ditengari bolong ?? "Tapi, Mak. Aku tidak bisa!" Roland berdiri lalu mondar-mandir di depan Ibu Mae. Ia gelisah permintaan perjodohan ini. Icha? Ya ampun, gadis itu akan merana jika menikah dengannya. Tidur berdua dengan seorang gadis yang risih. Apa lagi harus melakukan hubungan di atas ranjang. Ia mual ingin muntah. "Ini konyol, Mak!" ia mengusap manifestasi. "Mamak cuma mau melihat kamu menikah, Roland. Kapan lagi mamak mendampingimu ketika kamu menikah? Umur tidak ada yang tau. Anggap saja ini permintaan terakhir mamak." Ibu Mae menatapnya sedih. Roland akan menghukum dirinya sendiri jika membuat ibu angkat tercintanya menangis. "Mamak jangan bilang seperti itu," ucapnya lembut. Ia berjongkok sambil menggenggam tangan Ibunya. "Tidakkah kamu mau menuruti permintaan mamak? Icha gadis yang baik dan sederhana. Mamak kukus, Roland." Ibu Mae mengutarakan isi hatinya. "Icha adalah anak yatim piatu. Dia tinggal di sini cuma sama nenek dan kakeknya. Bisa kamu mempertimbangkannya dulu? Kamu anak laki-laki mamak satu-satunya. Mamak bangga punya kamu walaupun kamu bukan darah daging mamak." Hati Roland terenyuh. Pria kemayu itu sangat perasa sekali. Roland tahapan tinggi ibunya tidak meminta apapun. Baik itu pakaian atau perhiasan. Ibu Mae lah yang merawat setelah orang tua kandungnya tiada. Kapan lagi ia membahagiakan orang tua angkatnya yang tinggal satu ?. Ia menarik napas panjang. "Aku ... Aku menerima perjodohan ini, Mak," ucapnya ragu. Ia ingin membahagiakan ibunya. Setelah menikah nanti ia akan berterus terang kepada Icha. Semoga saja Icha mau mengerti. Dua hari kemudian Roland pulang ke Jakarta dengan status baru yaitu seorang suami. Ia telah dinikahkan dengan Icha sebelum pulang. Roland tidak bisa lama di kampung karena ada kedekatan yang mengharuskan ke Bali. Pria itu akan pulang seminggu lagi untuk acara resepsi di rumah ibunya. Icha, sang istri tidak bersamanya. Ibu Mae melarang Roland membawa Icha sebelum resepsi dilakukan. Takut jika icha kebobolan, ada pantangannya. Mereka tidak boleh berhubungan dulu. Biar aura Icha belakangan berbeda lebih pangling. Padahal Roland minat saja tidak. Ia lebih minat duduk di Pantai Pandawa sambil melirik bule yang lalu-lalang tanpa kaos. "Icha, mantu Mamak lagi apa?" Ibu Mae ada di ambang pintu kamar Roland. "Ini Mak, lagi merapikan pakaian Aa Roland berantakan." Ibu Mae gemas bukan main pada mantunya itu. Tidak salah pilihannya rumah berantakan sedikit saja Icha sudah membawa sapu. Tapi kali ini Ibu Mae melarang Icha bersih-bersih karena akan melakukan resepsi 4 hari lagi. Para tetangga membantu Ibu Mae dan itu tidak gratis. Ibu Mae memberi mereka upah. Biar sama tetangga pun ada hitung-hitungannya apalagi sama saudara. "Ya sudah, Jangan bantu-bantu yang lain ya. Kamu di kamar saja, jangan kecapean." "Iya, Mak." Impian Ibu Mae juga, akhirnya dapat menantu. Bagaimana tidak senang ini mantu pilihannya. Pada malam pertama kemarin Roland tidak tidur. Ia malah ikut begadang sama bapak-bapak yang ronda. Paginya langsung ke Jakarta. Tidak apa pikir Ibu Mae, yang penting ia sudah punya jalan keluar. Ia memesankan jamu tradisional yang nomor satu di kampungnya. Pasti Roland tidak bisa jauh-jauh kalau sudah melakukannya dengan Icha. 'Maunya nempel terus', seperti slogan jamu yang Ibu Mae pesan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD