Part 3

1103 Words
Di dalam taksi Roland memandangi tangan kanan dimana jari manisnya tersemat cincin berwarna putih. Ia sungguh tidak percaya kini statusnya berubah. Seorang suami. Dalam hati meringis apa dirinya mempunyai mengemban status itu. Ia sadar diri jika ada satu orang lagi yang harus ditanggungnya. Untuk masalah kebutuhan lahir tidak bisa di ragukan lagi akan tetapi kebutuhan batin? Ia meragukan itu. Icha pasti akan menuntut kebutuhan batinnya terpenuhi. Apa daya Roland belum bisa bukan berarti tidak bisa. Salah satu jalan ia harus menemui psikiater jika ingin menjalani rumah tangga. Agar ada perubahan dalam diri dan bisa menjalani pernikahannya. Ia baru saja sampai di Bali. Dari pada buang-buang uang, Roland akan menumpang beberapa hari di rumah Zeeva mantan modelnya dulu. Rumahnya sangat besar, menampung dirinya tidak akan menyusahkan. Pembantu saja di sediakan kamar masa sahabatnya tidak, pikirnya. Roland mengetuk rumah Zeeva dengan tidak sabaran. Ia sangat merindukan Aira dan Narendra sudah lama tidak jumpa. Pintu terbuka, pembantu yang muncul. Wanita paruh baya itu mengenal Roland, tersenyum. “Pak Roland sudah di tunggu Ibu Zeeva.” Roland mengangguk, sebelumnya Zeeva sudah tahu bahwa ia akan menginap. Sahabatnya itu sangat senang sekali. “Iya Mbok. Oia tolong panggil kan Mang Surya untuk membawakan koper saya.” Ia melirik koper di bawah dekat kaki kanannya. Kopernya memang kecil tapi tidak mau Mbok Murni yang mengangkatnya, kasihan. “Iya Pak, nanti saya panggilkan.” Mbok Murni melebarkan pintu agar Roland masuk. Pria itu langsung segera ke ruang tamu. Di sana Narendra sedang duduk ditemani pengasuhnya. “Naren, panggil Roland ceria. Sang anak menoleh sembari tersenyum lebar. Pipi gembilnya mengembang. Dengan tertatih ia berlari menghampiri Roland. Di angkat tubuhnya yang gempal itu. “Hoaaah, keponakan Om sudah besar ya.” Ia menciumi Narendra dengan gemas. Bocah kecil itu terkikik geli. “Roland?” suara Zeeva yang baru keluar dari kamar. Ia berjalan mendekati Roland dan mencium pipinya. “Sehat Zee?” “Seperti yang kamu lihat, sangat sehat.” Zeeva menarik lengan untuk duduk. Narendra dipangkunya meminta turun karena ingin melanjutkan bermain dengan legonya. “Berapa hari di Bali?” “Sekitar tiga hari,” Zeeva mengangguk mengerti. Ia tertegun cukup lama mempertegas apa yang di pakai Roland di jemarinya. Selama ini yang ia tahu pria kemayu itu tidak pernah memakai aksesoris apa pun. Ia berkata tidak betah suka gatal. Tapi kini tersemat sebuah cincin putih seperti cincin kawin. Dengan gerakan cepat ia meraih tangan Roland sembari matanya terbelalak. “Cincin kawin?” bibirnya membulat tidak percaya. Matanya terbelalak lebar. Tubuh Roland menegang. Bagaimana Zeeva bisa tau? Ia menarik tangannya namun Zeeva menahan mempererat genggaman itu. “Benar itu?” ia mencoba menggelengkan kepalanya malah mengangguk kecil dan ragu. Zeeva sampai menahan napasnya. “Ya,” bisiknya. “Kita bicara di ruang kerja Rizky.” Zeeva bangkit di ikuti Roland. Ia menutup pintunya dan tergesa-gesa lalu duduk di sebelah Roland. Ia penasaran bagaimana cincin itu terjebak di jari Roland. “Aku di jodohkan,” Zeeva menelan salivanya dengan cepat. “Dua hari yang lalu aku menikah dengannya,” lanjutnya lemas. “Mamak yang mengatur semuanya.” Desahnya terdengar frustrasi. Zeeva tertegun cukup lama, menelaah. Suasana berubah hening. “Roland,” ia menoleh. “Aku senang kamu akhirnya menikah!” teriaknya seraya memeluk Roland. “Aku kira kamu tidak akan pernah menikah!” Ditepuk-tepuknya punggung Roland. Katakanlah Zeeva berlebihan tapi sebenarnya ini suatu kemajuan pesat. Roland, sahabatnya yang kemayu akhirnya menikah. Itu adalah suatu yang tidak disangka-sangka dan mustahil tapi kini terjadi. “Tapi Roland, kamu menikah dengan wanita kan?” Roland melepaskan pelukan itu dengan paksa. “Tentu saja, Zee!” ucapnya dengan nada tinggi. Zeeva mengelus d**a lega. “Gadis berhijab,” mata sahabatnya berbinar senang. Ibu Mae tidak salah pilih, pikirnya. “Kapan resepsinya?” “Hari minggu setelah pulang dari sini. Aku akan langsung ke Bandung.” Ia menyandarkan tubuhnya, lelah.” “Aku akan menghadirinya.” Roland melotot. “APA??!!” “Eum, aku sekeluarga akan datang ke resepsimu. Aku akan bicara pada Rizky nanti malam. Aku ingin menghadiri pernikahanmu, Roland. Mata Zeeva berkaca-kaca ini momen yang sangat berharga bagi sahabatnya. Tentu saja ia ingin menjadi saksi sejarah dalam hidup Roland. “Terima kasih, kamu mau hadir,“ ucapnya lemas. “Tapi Zee, entah kenapa aku ragu akan pernikahan ini. Kamu tau sendiri bahwa aku-” tidak sanggup melanjutkannya. “Kamu bisa berubah, Roland. Kamu belum mencobanya saja.” Zeeva memberi pengertian dan semangat. “Aku takut akan melukainya,” “Aku tau kamu tidak pernah melukai orang lain, apa lagi istri kamu sendiri,” timpalnya bangga. “Bertahap dan perlahan, jangan memaksakan dan jangan terburu-buru mengambil keputusan. Aku percaya kalau kamu bisa menjadi suami sekaligus ayah yang baik.” “Aku sendiri saja tidak percaya. Apa aku bisa berperan layaknya suami atau ayah nanti?” Zeeva mendelik. “Maka dari itu, berjanji lah untuk berubah dan memulai kembali pada semestinya. Sekarang tanggunganmu bertambah, ada satu orang lagi yang harus kamu bahagiakan yaitu istrimu. Aku tau, kamu itu bukannya tidak normal tapi hanya ada yang tidak beres.” Zeeva meringis harus mengatakan itu. “Aku tidak normal, Zeeva. Setiap aku melihat wanita seksi tidak ada reaksi sedikit pun.” Ia mengeluh ketidaknormalannya. “Tidak ada reaksi tegangan tinggi ya. Kalau dengan pria?” “Mataku berbinar-binar.” Zeeva menepuk jidatnya. “Kamu harus berubah, Roland! Kasihan istrimu kalau begini.” Zeeva menatapnya garang. “Aku tidak tau, Zee. Apa aku bisa. Setiap bersama wanita mana pun aku tidak bisa. Apa lagi soal anak, membayangkannya saja aku sudah mual.” “Kasihan sekali istrimu itu.” Zeeva menatapnya iba. “Aku juga,” timpalnya sedih. “Tapi tidak ada kata terlambat perubahan. Aku yakin kamu pasti bisa, Roland! Aku akan membantumu!!” Zeeva menggebu-gebu. Ia ingin sahabatnya bahagia. “Aku tidak yakin pada diriku sendiri.” “Aku percaya!!” Zeeva menarik lengan Roland agar menatapnya. “Jangan sia-siakan hidupmu dengan ketidakjelasan. Sekarang kamu bisa menata masa depanmu kembali. Ingat kamu tidak sendiri, Roland. Ada ibu angkatmu dan adikmu. Mereka bahagia kalau kamu bahagia. Apa kamu mau melihat mereka tersenyum lebar saat anak sekaligus kakaknya bahagia?” “Aku ingin mereka bahagia, hanya mereka yang aku punya di dunia ini.” Dan kamu, Zee.” Air matanya mengembang. “Ibu Mae pasti ingin menggendong cucu. Anak dari kamu, Roland.” Ia mengingat impian Mamaknya yaitu melihatnya berumah tangga dan mempunyai cucu darinya. Ia mengingat pula cibiran tetangganya yang masuk ke telinganya. Roland tau walaupun Ibu Mae tidak pernah cerita. Roland ingin ibunya tau bahwa dirinya mampu dan bisa. Icha, istrinya bukan lah gadis kota. Pasti ada perbedaan yang membentang antara mereka berdua. Dari sifat istrinya ia tau jika Icha tidak akan menuntutnya tapi apa istrinya menerima kejanggalan dari dirinya?Hatinya bertanya-tanya. “Aku mau berubah, Zee!” ucapnya parau seraya air matanya jatuh. Sahabatnya tidak ragu untuk memeluk. “Kamu pasti bisa, Roland.” Zeeva ikut menangis. “Aku bangga sama kamu!” “Terima kasih, Zee.” Terbayang wajah Ibu Mae, Rere dan Icha tersenyum. “Pertama aku akan berterus terang pada Icha. Aku harap dia mau terbuka menerimaku. Dan bersama-sama menata masa depan. kalau pun tidak, aku akan berusaha.” Hadiah taun baru jd update. Sebenernya nunggu kontrak dulu jadi sabar ya.. ^^ Thankyuuu^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD