bc

Dipaksa Mengaku Mandul

book_age18+
239
FOLLOW
1.9K
READ
HE
billionairess
heir/heiress
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Pertiwi dipaksa mengaku mandul oleh Kevin -suaminya- pada Kakek Mukti. Tujuannya adalah agar Kevin bisa menikahi Julia. Belum adanya anak di pernikahan antara Pertiwi dan Kevin, dijadikan Kevin senjata untuk diperbolehkan berpoligami.

Kalau dipikir-pikir, bagaimana Pertiwi bisa hamil jika sepanjang pernikahan mereka, Kevin tak pernah menyentuh Pertiwi yang jelas sah adalah istrinya? Dan lebih memilih berbuat dosa dengan berhubungan intim dengan Julia yang hanya kekasih gelap.

Apakah akhirnya Kevin bisa menikahi Julia? Apakah Pertiwi akan merana selamanya?

Jangan lupa tap love. Berikan komentar sebanyak-banyaknya. Follow authornya Mayangnoura. Follow instagramnya: @mayang_noura.

chap-preview
Free preview
Bab 1
"Jadi kapan kamu mau bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan bersedia dimadu oleh Kevin?" Aku menatap wanita cantik di depanku. Julia Mariska, yang merupakan kekasih suamiku. Ingin sekali menjawab jujur kalau aku tidak ingin mengaku mandul pada kakek karena... karena aku yakin tidak mandul. Tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk terang-terangan menolak sebab akibatnya Mas Kevin akan menceraikan aku. "Aku belum dapat momen yang tepat untuk mengatakannya, mbak. Harap mbak bersabar," jawabku. Berharap kekasih suamiku itu bisa mengerti. "Sabar! Sabar! Mau berapa lama lagi aku harus bersabar? Waktu dua tahun itu bukan waktu yang singkat untuk menguji kesabaran. Aku sudah sangat sabar, Wi. Sekarang aku sudah di ujung batas kesabaran. Pokoknya malam ini kamu harus bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan merestui Kevin untuk menikahi aku!" Aku hanya mengangguk seperti orang bodoh. "Baik, mbak. Akan aku usahakan." Atau... mungkin aku memang bodoh. Julia menatapku lekat untuk beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum miring. "Jawaban yang selalu sama. Jangan-jangan kamu hanya mencari alasan saja agar Kevin tidak juga bisa menikahi aku." Aku membisu, sebab yang dikatakanya benar. Aku hanya sedang terus menerus membuat alasan, karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mempertahankan rumah tanggaku dan tidak dipoligami oleh suamiku. "Kenapa kamu diam? Apa mungkin aku berkata benar?" Julia mendecih. "Kalau begitu kamu adalah wanita licik yang memiliki wajah lugu. Kamu ingin memiliki Kevin seutuhnya dengan tidak mau dipoligami dan... tetap menyandang status sebagai istrinya." Aku menundukkan pandang, tak berani menatap wajah Julia lagi. Andai aku memiliki kekuatan seperti istri-istri yang lain saat berhadapan dengan seorang pelakor, yaitu membentak, memaki, memukul, bahkan sampai menjambak. Sayangnya aku tidak memiliki kekuatan itu karena aku tidak mempunyai penyokong yang akan membelaku. Di dunia ini aku sebatang kara. Satu-satunya orang yang harusnya bisa menjadi tempat bersandar adalah suamiku, Mas Kevin. Tapi nyatanya dialah yang selalu menyerangku dengan ancaman-ancaman agar bisa menikah dengan kekasihnya. "Kenapa tidak Mas Kevin saja yang bilang pada kakek bahwa aku mandul dan dia ingin berpoligami." Hei, kalimat apa yang baru saja keluar dari mulutku? Oh, aku sadar tidak mempunyai jawaban lagi selain ini. Refleks Julia menarik tubuhnya yang semula duduk santai dengan menyandarkan punggung hingga menjadi agak lebih condong ke depan. Gerakannya itu, membuat aku seketika mengangkat wajah lagi dan menatapnya. "Kalau Kevin yang bilang ke kakek, kemungkinan kecil akan dikabulkan. Kakek akan menganggap dua tahun pernikahan tanpa anak adalah hal yang wajar. Lalu kami kapan menikahnya?" "Kan belum dicoba, mbak." "Aaaargh...." Julia menggeram tertahan dengan mata melotot seperti mau keluar. Membuat aku bergidik melihatnya. Apakah Mas Kevin tahu kekasihnya ini kalau sudah sangat emosi sangat mengerikan? "Pantas saja Kevin itu sangat tidak menyukai kamu," lanjut Julia masih dengan sorot mata yang menakutkan. "Ternyata selain licik, kamu juga keras kepala. Kalau bukan karena Kevin berpesan untuk tidak menyakitimu, sudah aku bunuh kamu dan aku cincang-cincang." Aku menyentuh d**a sembari terus menyebut nama Tuhan. Berharap Julia tetap mengingat pesan Mas Kevin untuk tidak menyakitiku. Karena siapa yang tahu kalau di dalam tasnya yang mahal itu tersimpan sebilah pisau tajam yang bisa saja dia hujamkan ke dadaku lantaran emosi yang tak terkendali. "Siapa yang akan kamu cincang, Julia?" tanya Mas Kevin yang tiba-tiba hadir di antara kami. Ketegangan membuat aku tak menyadari kedatangannya. Julia menoleh sekilas sebelum akhirnya berdiri. "Istrimu itu yang rasanya ingin aku cincang. Sulit sekali diajak kompromi. Sepertinya dia tidak punya niat untuk mengatakan pada kakek kalau dirinya mandul dan bersedia untuk dipoligami olehmu. Kalau bukan kamu berpesan padaku untuk tidak menyakiti dia, pasti aku sudah benar-benar mencincangnya. Dia membuatku hilang kesabaran." Mas Kevin menghela nafas berat sembari menatapku dengan penuh arti. Aku tahu dia kesal, hanya saja dia mencoba menahannya mengingat kami sedang berada di tempat umum. Tidak. Mas Kevin tidak pernah main tangan kepadaku, yang artinya dia tidak pernah menyakitiku secara fisik. Tapi kalau secara mental, dia selalu melakukannya. Buktinya saat ini dia mempertemukan aku dengan kekasihnya seolah aku ini tidak memiliki hati dan perasaan sama sekali. Mas Kevin mendekatiku, masih dengan tatapannya yang tajam. "Jadi kamu maunya bagaimana, Wi?" Keningku mengerut tanpa kubuat-kubuat. Bukan tanpa sebab, pertanyaannya barusan memang tidak kumengerti. "Mauku bagaimana? Maksud Mas apa? Apa aku punya mau sama mas? Bukankah yang punya mau adalah Mas dan Mbak Julia?" "Ya itu yang kumaksud. Kamu selalu punya alasan untuk tidak mengatakan pada kakek kalau kamu mandul dan bersedia untuk dipoligami. Jadi kamu maunya apa? Aku ceraikan begitu?" Aku membisu. Kata cerai adalah kata paling menakutkan dalam hidupku. Aku tidak pernah berharap rumah tanggaku berakhir dengan perceraian. Aku mendongakkan wajah untuk mencapai wajah Mas Kevin. "Aku tidak terbiasa berbohong, Mas. Itu yang membuat aku sulit untuk mengatakannya kepada kakek. Aku yakin aku tidak mandul seandainya... Mas mau membuahiku. Tapi nyatakannya kan mas tidak pernah melakukannya. Anak SMP pun tau mas kalau tidak terjadi pembuahan maka tidak akan pernah terjadi kehamilan." Julia langsung menarik Mas Kevin dan berdiri di depan suamiku itu. Tangannya menunjuk kepadaku. "Berani kamu bicara seperti itu pada Mas Kevin? Sungguh tidak tau diri kamu!" Aku tertegun. Memangnya kalau istri meminta pada suaminya sendiri itu tidak tahu diri ya? "Kalau ingin cepat, mas. Lebih baik mas saja yang bilang ke kakek. Karena aku tidak yakin bisa melakukannya. Aku tidak yakin sanggup berbohong," ulangku tanpa mengindahkan kemarahan Julia. "Kakek tidak akan mendengarkan permintaanku untuk poligami, Wi. Itulah masalahnya. Berbeda jika kamu yang meminta. Mungkin kakek akan mengabulkan karena dia sangat menyayangimu." "Ya kalau begitu mas harus bersedia untuk menunggu sampai aku sanggup untuk mengatakannya." "Kamu ini...." Julia hampir menamparku ketika tangan Mas Kevin memegangnya. "Aku kan sudah bilang jangan menyakitinya! Kakek bisa marah besar kalau melihat lebam di wajahnya!" Marah Mas Kevin pada Julia. "Habisnya dia itu sangat menjengkelkan, Kev! Dia membuatku gemas ingin menamparnya!" Mas Kevin menghela nafas panjang. Lalu dia mengalihkan pandang dari Julia padaku dengan tatapan yang kali ini tidak dapat aku artikan. "Lebih baik kamu pulang dulu sekarang. Nanti aku akan menyusul pulang setelah mengantar Julia pulang." Aku hanya diam tak menanggapi ucapannya. Lihat saja, Mas Kevin, suamiku sendiri lebih memilih mengantar pulang wanita yang bukan istrinya daripada mengantarku pulang. Jangan ditanya bagaimana perasaanku. Sakit sekali tentunya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa apalagi marah saat Mas Kevin menggandeng tangan Julia meninggalkanku. 'Tuhan, berikan petunjuk-Mu. Apa yang harus aku lakukan saat ini untuk mempertahankan rumah tangga ini? Apakah aku harus mengikuti maunya untuk berbohong pada kakek dengan mengaku mandul dan membiarkan Mas Kevin berpoligami?' Kuseka segera airmata yang nyaris jatuh ke pipi. Bukan karena malu seandainya airmata itu dilihat orang tapi lebih pada merasa mubazir karena airmata itu tidak akan menyudahi polemik yang sedang aku alami. Seandainya pun airmata itu terlihat oleh indera penglihatan Mas Kevin, tak akan mengubah keputusan pria itu ingin menikahi Julia. *** "Pokoknya nanti kamu harus bisa mengatakan pada kakek kalau kamu mandul dan ingin aku menikah lagi. Kamu mengerti?" Pesan Mas Kevin yang lebih cocok dikatakan pemaksaan. "Tapi apa momennya tepat, Mas? Ada Wilson di makan malam ini. Harusnya momen ini digunakan untuk kangen-kangenan karena sudah bertahun-tahun Wilson bekerja, baru kali ini dia pulang." "Apa peduliku akan Wilson? Aku tidak pernah merindukannya. Jadi, tidak akan ada momen kangen-kangennya. Kamu bilang saja pada kakek seperti apa yang aku perintahkan. Menurutku malah bagus kalau ada Wilson di sana. Sekalian dia tau sehingga tidak ada lagi pertanyaan yang ditujukan padaku nanti." Aku terdiam tak menanggapi ucapan Mas Kevin lagi. Percuma. Meskipun mulutku menolak sampai berbusa atau menangis darah, itu tidak akan mengurungkan niatnya ingin menikahi Julia. Tak lama kemudian, kami berangkat menuju rumah kakek yang megah. Di rumah semegah ini, kakeknya Mas Kevin hanya tinggal bersama para pembantu dan satpam. Tapi sejak kemarin, kakek punya teman ngobrol lain, yaitu Wilson. Entah untuk berapa lama cucu kedua kakek tersebut cuti dari pekerjaannya. Kedatanganku disambut hangat oleh kakek langsung. Mau percaya apa tidak, kakek tampak lebih menyayangiku daripada Mas Kevin. Inilah salah satu alasan kenapa aku sulit melaksanakan keinginan Mas Kevin untuk membohongi kakek perihal 'kemandulanku'. Tak hanya kakek, Wilson juga turut menyambut. Adik Mas Kevin ini memiliki sifat yang berbeda dengan Mas Kevin. Lebih ramah dan tidak dingin. Kami pun menikmati makan malam di meja makan yang panjang. Harusnya meja ini bisa untuk 12 orang, tapi hanya kami bertiga yang memakainya. Kami menikmati makan malam dalam diam. Yang terdengar hanya denting peralatan makan yang tidak seberapa. Baru saja selesai makan, kaki Mas Kevin sudah menyepak kakiku saja. Tandanya aku harus segera bicara perihal yang diperintahkannya. "E... Kek," ucapku dengan jantung yang mulai berdebar. Sungguh, kalau disuruh berbohong aku seperti orang yang akan audisi. Takut, gugup, dan lainnya. "Ya, Wi. Ada yang mau kamu sampaikan?" balas kakek. Aku mengangguk. "Iya, kek. Begini, aku dan Mas Kevin kan sudah dua tahun menikah. Tapi sampai detik ini aku belum juga hamil. Aku minta maaf karena aku telah mengecewakan kakek." Kakek tersenyum. "Tidak apa-apa. Tidak usah kamu pikirkan. Anak itu kan rezeki dari Tuhan. Jadi hanya Tuhan yang berhak menentukan kamu hamil. Mamanya Kevin juga tidak langsung bisa hamil Kevin kok. Butuh waktu empat tahun untuk bisa mengandung Kevin." Aku menelan saliva. Kebaikan kakek membuat hatiku selalu luluh. Sungguh aku tidak ingin membohongi kakek. Aku pun ingin hamil dan memberi kakek cucu agar kakek bahagia. Akan tetapi bagaimana aku bisa hamil jika Mas Kevin tidak membuahiku? Bersambung.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook