Tuan Guru!

715 Words
Kenakalanku tidak terbendung, berputar seperti atom yang patuh pada teori kuantum. Mungkin itu adalah beban terberatku. Karena aku satu-satunya anak laki-laki di keluarga kami, dari lima saudara. Aku mengemban sebagai sosok yang menelan semua kenakalan saudara-saudara perempuanku. Dan itu semua tumpah ruah kedalam diriku seorang. Tidak ada yang bisa menahan gempuran kenakalan anak satu-satunya ini. Bahkan siapapun. Tapi dihadapan seorang guru besar TPA kami. Aku tak berdaya. Alum bagaikan daun singkong yang siap dimakan oleh kambing. Ada sorot mata keseganan terpancar jelas di mata guru kami ini. Mata yang mampu menusuk dengan tepat kearah sanubari kami. Setiap petuah yang dikeluarkan menancap kuat, kokoh seperti baja dalam ceker ayam bangunan. Tidak ada yang berani berbicara ketika guru kami bertuah. Hanya ada anggukan patuh yang dapat kami lakukan. Apapun hukuman yang diberikan jika kami salah, kami menerimanya dengan hati yang ringan. Sadar bahwa kami memang anak nakal. Dan hukuman yang paling parah menimpa kami bertiga aku, amin dan anam. Yaitu menghafalkan sepertiga juz 30. Bayangkan berapa ayat banyaknya yang ada dalam juz tersebut. Yang lebih kasihan lagi adalah amin. Dia memiliki hafalan paling sedikit diantara kami bertiga, dan yang paling susah untuk menghafal. Sepertiga bukanlah hal yang mudah bagi amin. Demikian pula bagi kami bertiga. Tapi ini adalah konsekuensi yang harus kami terima untuk menebus kesalahan. Kami adalah biang kerok hilangnya mikrofon pengeras suara mushola, menyebabkan TPA libur hari sabtu. Itu adalah ulah kami. Kejadian itu terbesit saat pulang sekolah. Kami bertiga. Tiga sejoli yang sudah terkenal dengan keunikan mereka bertingkah. Abjad pertama huruf kami pun sama, aku alif. Semua bermula saat anam, si biang kerok dengan otak canggih yang mengesankan ini merasa capek, karena latihan baris berbaris untuk menyambut hari kemerdekaan. Aku melihat raut wajah yang khas saat dia mendapatkan ide sinting dalam kepalanya. Jidatnya terangkat ke atas seperti dikendalikan oleh otak kreatifnya. Berpadu dengan bola mata bulat yang dimiliki oleh setiap orang di desa kami. “balik kanan bubar barisan, jalan!!!” ucap pelatih Sekonyong-konyong anam menarik tanganku dan amin untuk segera pulang. “hari ini kita akan libur ngaji coii” ucapnya berbinar-binar. “ini hari sabtu nam, libur itu hari jumat” aku membela. Aku takut terik sinar matahari telah membuatnya menjadi lupa hari. Seperti sakit amnesia sesaat setelah terbentur benda tumpul. Tapi ini hawa panas. Apakah rasa panas termasuk benda? Ah, entahlah tak usah kau pikirkan. “sudahlah, ayo ikut aku,” “kita pergi ke mushola” lanjutnya. Amin hanya bisa patuh saat anam telah memberikan perintah. Seperti seorang prajurit setia yang akan ikut kemanapun jendralnya berperang. Baginya perintah anam adalah penyelamat kami. Jujur saja kami memang sangat capek saat itu. Orang segempal dan sekuat amin pun bisa merasa capek dalam belajar baris berbaris. Dari dulu aku memang tidak suka baris berbaris. Entah mengapa sangat menyita tenaga. Kami mampu berlari kesana kemari. Pergi memancing dari pagi sampai sore sekalipun kami kuat. Tapi untuk urusan baris berbaris, kami harus menguras otak dan tenaga hanya untuk mematuhi perintah komandan. Dan itu penyebab utama lelah. Dengan mengendap-endap seperti film action yang sedang menjalankan misi rahasia, amin mendapat jatah untuk mengawasi keadaan sekitar. Dan amin sangat senang dengan tugas tersebut. Menjadi pengintai adalah tugas favorit baginya. Karena tidak memerlukan tenaga yang banyak. Hanya mengawasi sekitar, mengalihkan perhatian orang-orang jika ada yang curiga. Tapi siapa yang curiga dengan kami. Tiga orang yang sangat tidak diperhitungkan ini. Tugasku adalah mengambil mikrofon tersebut. Ini adalah tugas yang paling beresiko. Sekelebat orang melihat, gagal sudah misi kami. “tidak akan ketahuan lif, tubuhmu kecil. Orang Pun tidak akan melihatmu kalau dia tidak menunduk. Sudahlah kerjakan saja”. Sekali lagi, akupun patuh. Demi bisa istirahat. Dan tugas anam adalah membawa mikrofon itu untuk disembunyikan di dalam bedug mushola. Karena untuk simpan menyimpan, anam adalah ahlinya. Seperti kelebihan yang tersemat dalam dirinya sejak lahir. Sekali dia menyembunyikan, aku berani bertaruh tidak ada yang bisa menemukanya. Itu adalah rekor yang belum pernah terpecahkan oleh siapapun. Anam menerima mikrofon itu dengan takzim. “wahai tuan guru yang kami hormati, kami hanya ingin libur hari ini saja. Aku berjanji tidak akan pernah ikut baris berbaris lagi tahun depan agar tidak berbuat dosa seperti ini”. Aku ingin tertawa rasanya. Karena seorang Anam yang biasa kami kenal dengan guyonan dan tidak bisa serius, ternyata juga bisa berdoa sedemikian khusyuk untuk menyelamatkan kami semua.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD