Action!!!

684 Words
Rutinitas adalah racun. Pembunuh paling mengerikan yang bersemayam dalam diri manusia. Tidak terdeteksi dalam jangkauan radar. Dan dianggap sebagai budaya baru yang dapat membawa perubahan yang lebih baik. Namanya adalah malik. Yang biasa kami panggil dengan sebutan abi. Dia adalah satu-satunya orang yang dengan ikhlas mengajari kami ilmu agama tanpa upah sepeserpun. Pondasi ekonominya juga tak lebih bagus dari orang-orang didesa kami. Yang membuatnya terlihat berbeda adalah semangatnya untuk menolong kami dari sesatnya kehidupan, itulah yang menjadikannya istimewa. Dengan suka rela dia bakar tubuhnya untuk dapat menerangi kami dari kegelapan kelam. Merelakan setiap pundi-pundi nafkah yang dapat dia gapai secara gampang dengan mengajari kami ilmu agama. Ke ikhlasanya bukan main. Sebenarnya abi dapat bekerja sebagai TU sekolah karena dia memiliki ijazah D3. Gelar ijazah yang sangat tinggi ketika itu. Tapi karena pekerjaan itu mengganggu kegiatan mengajarnya di sore hari, dengan yakin dia menolak jabatan tersebut. Sungguh sangat langka sekali orang-orang berhati tulus seperti ini. Abi lebih memilih bekerja serabutan dengan hasil yang tak menentu dibandingkan dengan bekerja sebagai TU sekolah. Dalam hal yang lain. Abi adalah satu-satunya orang yang dapat menggantikan posisi imam bagi masjid keagungan kami. Hampir selama masjid desa kami dibangun, belum pernah ada yang boleh menggantikan posisi imam tersebut. Karena pak yahman tidak akan pernah menyerahkan jabatan imam masjid itu pada siapapun. Dia merasa tidak ada yang pantas menggantikannya. Karena ketulusan dan kemurnian dalam diri abi, kealotan hati pak yahman yang selama ini menutupinya sedikit terkelupas. Itu Pun harus dengan cara berdemo di depan rumah pak yahman agar diberikan hak untuk menjadi imam. Sekali lagi, dengan kerendahan hati guru TPA kami ini, dia bahkan tidak mengharapkan jabatan tersebut. “Tapi tidak semudah itu, apa yang dapat kami berikan?”. Pikir orang desa kami. Abi tidak mau dibayar, dan untuk membayar pun kami tidak akan sangup. Kehidupan desa kami sudah lebih dari cukup untuk mencekik pundi-pundi perekonomian kepala keluarga. Yang bisa kami persembahkan kepandanya adalah menjadikan dia sebagai imam masjid solat jumat. Perundingan demi perundingan yang memakan waktu begitu lama. Imam tetap itu sama sekali belum terbuka hatinya untuk membagi jabatan imam kepada abi. Mungkin inilah racun dari seorang yang telah menganggap dirinya sebagai orang yang telah menguasai tanah masjid. Seperti harimau yang tak mau membagi wilayah kekuasaanya. Imam adalah kekuasaan baginya. Tapi bagi kami, itu adalah posisi kehormatan. Sungguh aneh pemikiran orang dewasa. Dan posisi imam itulah sesatu yang dapat kami sematkan kepada guru tercinta. Meskipun harus dengan negosiasi begitu panjang. Semua akan kami lalui demi tercapainya tujuan yang agung. Menjadikanya imam masjid solat jumat. Abi adalah sosok pekerja keras. Tersemat dalam dirinya untuk pantang berhutang. Bekerja untuk menafkahi keluarga kecil miliknya. Melihat hal itu, ayahku tergerak untuk membantu meringankan beban yang dipikul guru kami. Suatu ketika abi datang kerumah untuk meminta pekerjaan agar diri dan keluarganya dapat makan. “bi, tolong kau petikan semua buah kelapa disamping rumah” Rumah kami memiliki tanah yang tidak begitu luas. Tapi cukup untuk bertumbuhnya lima pohon kelapa. Menjulang tinggi. Akupun ngeri melihatnya jika ada buah yang sudah tua. Tidak dapat lagi berbandul kepada sang pohon itu jatuh. Itulah satu-satunya pekerjaan yang kami punya saat itu. Entah apa yang dipikirkan ayahku. Dia memberikan semua hasil jualan kelapa sebagai upah atas apa yang telah dikerjakan. Ditambah dengan satu buah sepeda legendaris milik ayahku saat itu. Abi dengan halus menolak pemberian ayahku itu. “kalau kerja saya memetik buah kelapa, maka bayarnya adalah sepertiga dari hasil jualan” katanya dengan halus. Ayahku tau, dia harus berpikir bagaimana agar abi menerima pemberian nya tersebut, karena jika tidak, abi akan ngotot mengembalikan sepeda itu. “iya bi, kan tadi sepertiganya sudah diambil untuk kami masak, dan hasil jualan itu sepenuhnya milik abi…” “ini sepeda kami hibahkan untuk meringankan abi mengangkut buah kelapa” lanjutnya. Mungkin karena tidak ada pilihan lain yang diberikan ayahku, abi menerima hibah dari keluarga kami untuk meringankan beban hidup guru TPA bukan main. Sejak saat itu, hubungan antara keluarga kami dengan guru ngaji semakin dekat. Abi juga sering memberi kami kelapa tua untuk dimasak ibuku. Dan sekali-kali abi memberikan kelapa yang sudah diparut. Kami hanya tinggal meremasnya untuk menjadikanya santan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD