Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum

836 Words
Tabir cakrawala tersingkap di langit cerah sore hari. Kami melanjutkan rutinitas sebagai anak-anak sebelum mengerti susahnya menjadi dewasa. Kami belum sepenuhnya sadar bahwa ada segunung kepedihan yang hadir ketika kita dewasa. Sebelum semuanya tertumpah kepada kami, kami harus menikmati sebagaimana mestinya. Sepulang TPA. Pulang kerumah masing-masing. Menghamburkan pakaian muslim di lantai. Tidak memikirkan apapun, karena pasti ibuku akan membereskan kenakalan kecil seperti itu dengan ikhlas dan sempurna. Sudah menjadi kebiasaan anak kecil didesa kami untuk main ketika sepulang TPA. TPA adalah tempat kami belajar tentang indahnya agama. Tentang sakralnya semua perintah yang tertuang dalam Al Quran dan Hadist. Kami selalu patuh dengan apa yang disampaikan guru kami. Abi, kami memanggilnya begitu. Sebelum sampai rumah, kami selalu mampir dahulu ke rumah Lasmini. Lasmini seusia kami. Tapi nasibnya jauh lebih buruk dari kami. Dia harus mencicipi menjadi dewasa sebelum masanya. Tak ada kata bermain baginya. Semua bermula ketika keluarganya harus ditinggal oleh satu-satunya tulang punggung mereka. Keluarga itu bertaruh agar bisa mencicipi hidup lebih baik, namun yang didapat adalah sebaliknya. Ayahnya terjerat rayuan janda di negeri asing. Pergi tanpa ada kabar ke tempat antah berantah. Ibunya sangat tidak terima mendengar kabar tersebut sontak harus menanggung beban keluarga. Tidak terima dengan apa yang telah suaminya perlakukan, anak yang ia miliki seakan tidak dianggap. Keluarga yang sebelumya tentram dengan penghasilan yang hanya cukup untuk mereka makan setiap hari, kini harus menjadi lebih buruk dari itu semua. Sudah jatuh, tertimpa tangga dan kejatuhan genting. Kebahagiaan bagi Lasmini seolah hanya ilusi. Seperti pungguk merindukan pelukan bulan. Seperti katak yang berharap dicium tuan putri agar menjelma pangeran tampan. Dia telah jatuh cinta dalam pekatnya dunia gelap orang dewasa, menjadikanya muak dengan orang-orang sekitar. Kini ia harus menghidupi kedua adiknya yang masih balita dan seorang nenek tua yang hanya bisa membuatkanya sarapan ketika dia pergi bekerja. Setelah kejadian itu, orang desa kami tidak pernah melihatnya sekalipun tersenyum. Seakan urat senyum pada wajah mungil nan polos itu telah hilang. Dan yang lebih mengerikan lagi, tatapannya selalu kosong. dia telah jatuh dalam labirin kesunyian. Sulit sekali untuk mengartikan, seolah ia rindu dengan keluarga kecil nan bahagia miliknya dahulu sebelum wanita penjerat itu datang. Dia tak berdaya untuk menyalahkan siapapun. Yang bisa diperbuat hanyalah menghidupi keluarganya karena ia adalah anak pertama. Lasmini hanya mencicipi bangku sekolah sampai kelas 4. Belum genap di umurnya yang kepala satu itu, dia harus memikul tanggung jawab sebesar dan seberat itu. Tidak banyak orang yang mampu. Dia merupakan malaikat kecil tanpa senyum bagi keluarganya. Tidak masalah apakah dia bisa tersenyum atau tidak. Yang terpenting hari ini sekeluarga tidak tidur dengan keadaan perut keroncongan. Sore hari merupakan waktu istimewa baginya. Melihat anak-anak TPA pulang, menanyai mereka kisah terbaru apa yang mereka dapat dari menuntut ilmu di pondok kecil TPA kami. Dia ingin sekali ikut TPA, tapi karena pekerjaan dan tanggung jawab, dia harus merelakan mentah-mentah keinginan itu. Mungkin putus sekolah tidak terlalu membuatnya sedih. Tapi kehilangan momen guru kami bercerita yang seakan-akan membawa kami pada masa tersebut yang membuatnya sangat kehilangan kebahagiaan kecil yang masih ia miliki. Abi sangat pandai dalam bercerita. Berkobar-kobar, selalu memberi kami semangat menjalani kehidupan, meskipun saat itu kami belum terlalu paham dengan apa yang Abi ceritakan, namun intonasi suara dan timing yang pas membuat kami selalu terpasang pada seluruh kalimatnya. Wajar saja Lasmini sangat sedih kehilangan momen seperti itu. Amin adalah satu-satunya orang yang sangat peduli dengan Lasmini. Dia selalu bersemangat saat menceritakan apa yang telah guru kami kisahkan. Mengikuti seluruh intonasi suara riuh rendah yang membuatnya tak lebih seperti ayam berkokok yang nafasnya tak sampai. Aku selalu terpingkal-pingkal ketika mendengar Amin bercerita. Tubuhnya yang gempal menjadi seperti kelinci gemuk yang tak mampu untuk berdiri, ditambah mimik wajah bulat, membuatnya sempurna menjadi pendongeng handal versi dirinya sendiri. Lasmini selalu antusias mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Amin. Meskipun tidak semua kata dapat diingat oleh memori otak kecilnya. Amin sangat senang bercerita, terutama cerita tentang Nabi Ayub yang ditinggal oleh seluruh anak keturunan dan hanya meninggalkan beban nafkah kepada istri dikarenakan penyakit yang dideritanya. Dengan gestur tubuh dan mimi wajah seperti itu, lasmini tidak sekalipun tersenyum. Dia hanya mendengarkan. Menyerap makna arti cerita dari pengucapan kata yang kadang hilang dalam intonasi suara. Terkadang dia mengerutkan dahi pertanda bingung karena Amin terlalu cepat dalam bercerita. Tapi tidak sekalipun dia tersenyum. Seminggu sekali amin selalu memberikanya mainan, dari uang jajan yang dia tabung, bekal dia sekolah untuk dibelikan mainan kepada Lasmini. Amin tidak selalu mendapat uang jajan, tapi dengan gigihnya dia selalu bersemangat dalam menabung untuk memberikan sesuatu pada Lasmini. Mainan yang tidak seberapa harganya, hanya sebuah gambar kertas yang kami sebut dengan kartu wayang. Harganya hanya seribu rupiah. Tapi amin mendapatkan itu harus menabung selama kurang lebih seminggu. Aku kasihan kepada Amin, dia selalu berupaya membujuk lasmini untuk bermain bersama yang lain tapi dengan dingin lasmini selalu menolak. Pernah suatu ketika aku bertanya padanya, kenapa dia selalu membujuk lasmini untuk bermain, dan bahkan rela menyisihkan uang jajan yang dia tabung untuk membelikan Lasmini kartu-kartu itu. Aku sangat tidak mengerti. “aku hanya ingin membuatnya tersenyum…,” katanya berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD