1-Melupakan Ahmar?

1704 Words
“Liat apa, Sayang? Liat apa?” “Ahh!!” Arah pandangku tertuju ke arah telunjuknya. Aku melihat lampu kamar Kak Scarla.  Seketika aku terkekeh lalu kembali menatap bocah kecil berusia setahun setengah yang bernama Kenzio—keponakanku—anak pertama Kak Scarla dan Kak Avram. “Itu lampu, Sayang.” Aku melihat Kenzio mengamati bola lampu sambil menunjuk dengan tangan mungilnya. Karena gemas, aku menarik Kenzo ke dalam gendonganku lantas berdiri di dekat ranjang. Tangan Kenzio tetap terangkat tertuju lampu dan sesekali berteriak. “Lampu,” kataku ke Kenzio. Cekrek! Terdengar suara pintu terbuka. Seketika pandanganku tertuju ke pintu kamar mandi dan melihat Kak Scarla keluar dengan handuk melilit di atas kepala. Saat mataku dan mata Kak Scarla bertemu, dia tersentak. “Zahya, Kenzio kamu gendong? Nggak berat? Kakimu nggak apa-apa, kan?” Aku terkekeh mendapati kakakku yang panik itu. Aku tahu Kak Scarla masih mengkhawatirkan kakiku, tapi aku merasa baik-baik saja. “Nggak apa-apa, Kak. Gendong Kenzio nggak bakal bikin kakiku lumpuh lagi.” “Zahya jangan ngomong gitu!!” Mataku sedikit terpejam, meringis mendengar teriakan itu. Buru-buru Aku mengalihkan pandang saat melihat raut kemarahan Kak Scarla. Aku lalu menatap Kenzio yang menatapku dengan kening mengernyit. “Apa, Sayang? Kamu mengerti obrolan kami?” tanyaku ke Kenzio yang tentu saja tak dijawab oleh bocah itu. Tubuh Kenzio tertarik, aku menoleh dan Kak Scarla menggendong Kenzio. Dia berjalan ke ranjang lalu duduk di sana dengan Kenzio di pangkuan. “Kakak hanya khawatir ke kamu, Zahya. Kamu tahu, kan, akibatnya kalau kakimu kena benturan lagi?” “Huh!” Aku menarik napas panjang, lantas mendekat ke Kak Scarla. Aku duduk di sebelahnya sambil tanganku memeluk pundaknya. Kak Scarla bersikap seperti ini karena tidak ingin aku kenapa-napa, aku tahu itu. Namun, aku seperti dibatasi gerak-gerikku seolah aku gadis penyakitan yang tak boleh banyak tingkah. Sebenarnya aku tahu apa pantangan agar kakiku tidak lumpuh lagi seperti dulu. Aku selalu menyempatkan istirahat cukup. Sebisa mungkin aku tidak terlalu memforsir kakiku, seperti berjalan jarak jauh, melompat-lompat atau berlarian. Aku sangat sayang kakiku, dan tak ingin kakiku lumpuh lagi. “Maaf kalau omongan Zahya bikin Kak Scarla kesal. Aku tahu batas kemampuanku, Kak. Gendong Kenzio nggak berimbas ke kakiku,” ucapku memberi pengertian. Kak Scarla menatapku sambil berkaca-kaca. Dia terlihat bersalah karena meneriakiku seperti tadi. “Maafin Kakak juga. Kakak hanya khawatir.” “Tenang aja, Kak.” Tatapanku kemudian tertuju ke jam di dekat foto pernikahan Kak Scarla. “Yah udah jam segini,” kataku kecewa. “Kenapa?” Bibirku mengerucut. Waktu seolah berjalan cepat, tak terasa sekarang sudah jam setengah tujuh malam. Itu artinya sore ini aku tak bisa melihat cahaya kemerahan. Sebenarnya aku tadi ingin ke pergi ke taman, tapi karena Kak Scarla meminta tolong agar menjaga Kenzio aku mengurungkan niatanku itu. Pikirku aku bisa pergi setelah Kak Scarla selesai dengan urusannya, yaitu mandi. “Nggak bisa lihat senja,” jawabku setelah jeda cukup lama. Kak Scarla menarik napas panjang lalu geleng-geleng. Mungkin dia mengira aku telat pergi atau melakukan suatu hal. “Nggak bosen duduk di taman sambil ngeliat senja?” Aku menggeleng tegas. Tak akan pernah bosan melihat senja dan mengenang Ahmar. “Tentu saja tidak. Ya sudah, Kak. Zahya ke kamar dulu ya,” pamitku. Setelah berpamitan aku buru-buru keluar. Aku hendak ke kamar yang ada di lantai bawah, tapi sebuah panggilan menahan langkahku. “Zahya!” Aku menoleh dan mendapati Mama Verny berdiri di balkon dan memintaku mendekat. Ya mama Verny adalah mama Ahmar. Beliau memintaku memanggilnya mama, sama seperti Kak Scarla. Bedanya Kak Scarla adalah menantu mama Verny, sedangkan aku bukan. “Ada apa, Ma?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya. Diam-diam aku memperhatikan wajah Mama Verny yang semakin tirus itu. Dia menatap langit malam dengan mata terpejam, tampak damai dengan apa yang dia lakukan. “Bagaimana kuliahmu, Nak?” Aku yang baru saja menatap langit kembali menatap Mama Verny. Beliau bersandar di pinggiran balkon dan menatapku menunggu jawaban. “Nggak begitu sibuk, Ma. Kan Zahya masih semester dua,” jawabku. Mama Verny mengangguk. Aku bisa melihat senyum manis dari Mama Ahmar ini, senyum yang selalu mengingatkanku dengan Ahmar. “Kamu masih mencintainya?” Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Selama ini Mama Verny jarang menanyakan ini. Memang sih beliau pernah bercerita tentang Ahmar, tapi tak sampai menanyakan perasaanku ke Ahmar. “Masih, Ma,” jawabku sambil menatap langit pekat tanpa bintang. Tangan Mama Verny tiba-tiba melingkar ke pundakku. Beliau memelukku dari samping dan menyandarkan kepala di sana. “Sudah saatnya kamu melupakan Ahmar. Empat tahun telah berlalu, Za.” Aku menarik napas panjang. Melupakan? Aku menggeleng tegas, tak akan mau melupakan Ahmar. Tak akan pernah dalam seumur hidupku. “Zahya nggak bisa, Ma.” Pelukan Mama Verny mengendur. Aku memutar tubuh menghadapnya dan mendapati Mama Verny menatapku tak percaya. Perlahan aku menyentuh pundak Mama Verny dan meremasnya pelan. Seolah memberi isyarat agar Mama Verny mau mengerti perasaanku. “Maaf, Ma. Zahya belum bisa lupain Ahmar.” “Bisa, Sayang. Kamu bisa. Mama nggak mau cintamu berhenti di Ahmar saja. Mama mau melihatmu bahagia dengan lelaki lain.” Seketika mataku berkaca-kaca. Melihatku bahagia dengan lelaki lain? Apa aku bisa melakukan itu? Sepertinya tidak. Tak akan ada lelaki yang bisa membahagiakanku seperti Ahmar. “Zahya nggak bisa,” jawabku dengan sebulir air mata keluar dari sudut mata. Mama Verny membelai puncak kepalaku. Satu tangannya menarik daguku agar aku menatapnya. Terlihat senyum keibuan dari pancaran matanya. “Kamu hanya perlu mencoba, Zahya. Bukannya mama melarang kamu mencintai Ahmar, tapi mama ingin melihat kamu bahagia,” kata Mama Verny lantas memelukku. Kedua tanganku membalas pelukan Mama Verny dengan erat. Tangisku pecah dalam pelukannya. Membayangkan aku melupakan Ahmar rasanya sulit. Aku merasa Ahmar akan kecewa kepadaku karena telah melupakannya begitu saja. “Masuk, yuk! Anginnya kencang, nggak baik buat kesehatan,” kata Mama Verny lantas melepas pelukannya. Aku berdiri menatap Mama Verny, terlihat mata itu telah basah oleh air mata yang hendak keluar. Aku lalu menghapus air mataku yang sejak tadi membasahi pipi. “Maaf, Ma. Pasti mama ikutan nangis karena Zahya.” “Nggak sama sekali, Sayang. Yuk masuk!” “Zahya masih mau di sini, Ma.” Mama Verny tampak tidak suka dengan jawabanku. Aku tersenyum lebar untuk meyakinkannya. Hingga akhirnya Mama Verny mengangguk sambil satu tangannya menepuk lenganku lembut. “Jangan terlalu lama.” “Iya, Ma. Sebentar lagi Zahya masuk.” Pandanganku mengikuti langkah Mama Verny hingga dia berbelok ke kamar Kak Scarla. Aku berbalik, sambil kedua tanganku memegang pagar balkon dengan erat. Dadaku kembali sesak. Air mata yang sempat terhenti, kini terasa membasahi pipi. Satu orang telah memintaku melupakan Ahmar. Tak menutup kemungkinan, yang lain-Kak Scarla dan Kak Avram—akan memintaku melupakan Ahmar. Apa aku akan mengikuti saran mereka? Aku menggeleng tegas. Melupakan tak semudah membalikkan telapak tangan. Melupakan butuh waktu perjuangan untuk berdamai dengan beribu kenangan. Belum tentu kenangan mau berdamai dengan kita, karena kenangan selalu punya waktu untuk muncul di hati dan pikiran kita. Akibatnya, kita kembali ingat dengan kenangan itu, dan kembali terjebak kenangan masa lalu.   ***   Engkau masih yang terindah Indah di dalam hatiku Menapaki saat kita berakhir yang seperti ini. Aku mendengar lagu Sammy Simorangkir, Kesedihanku. Kalian tahu video klipnya? Hampir sama dengan apa yang aku alami. Bedanya yang meninggal tokoh lelaki, yaitu Ahmar. Sedangkan di video klip yang meninggal adalah sang wanita. Dadaku sesak mendengar lirik lagu Kesedihanku. Ahmar masih terindah, sampai saat ini dan untuk kedepannya. Tiba-tiba aku merasakan cairan hangat jatuh membasahi pipi. Aku kembali menangis dan membiarkan air mataku menetes. Sore ini seperti biasa. Aku duduk di bangku kayu di taman komplek dengan earphone menyumpal di telinga. Aku kembali mengenang dan berujung menangis sendiri di taman. Aku tak peduli ada orang yang menatapku karena menangis sendirian. Aku sudah kebal mendapat tatapan aneh dari pengunjung taman. Hanya kisah kenangan terindah Dan kesedih... Lagu yang aku dengar seketika berhenti. Aku membuka mata, membuat bayangan Ahmar seketika terputus. Aku tersentak mendapati seorang lelaki berkulit kecokelatan yang berdiri di depanku dan menatapku dengan pandangan menyelidik. Buru-buru aku menghapus air mataku dan menunduk, melihat earphone yang sepertinya dilepas lelaki itu. Aku mengambil earphone itu dan memasang kembali telinga. Baru saja aku mendengar melodi Kesedihanku, tapi suara itu tidak terdengar lagi. Grr!!! dalam hati aku menggeram, pasti ulah lelaki itu lagi. Aku mendongak menatap lelaki yang menggangguku itu dengan kesal. Lagi-lagi dia hanya menatapku intens. Lelaki aneh. Aku memasang earphone-ku lagi sambil mendekap ponsel agar lelaki itu tak seenaknya mencabut. Aku juga bergeser ke ujung bangku lainnya, risih ditatap intens oleh lelaki itu. Dari ekor mataku, aku melihat lelaki itu menatapku. Aku membuang pandnag dan mendongak menatap langit. Cahaya kemerahan mulai terbentuk. Tak lama lagu Mengenangmu terdengar mengalun di earphone-ku. Aku masih menatap langit kemerahan dengan lagu Krispatih yang menemani. Saat bayangan Ahmar hendak terbentuk, aku merasakan senggolan di lengan. Bayangan Ahmar seketika pudar. Aku menoleh, mendapati lelaki tadi duduk di sebelahku dan lagi-lagi menatapku. “Cantik-cantik jangan nangis, cantiknya nanti hilang.” Maksud lelaki ini apa, sih? Aku mendengus kecil. Aku pura-pura tidak mendengar dan kembali menatap langit-langit. Mataku terpejam, hendak mengenang Ahmar seperti biasa. Namun, aku merasakan earphone sebelah kanan terlepas dari telinga. Seketika aku menoleh ke lelaki penganggu itu dan melotot. “Hehe. Aku ganggu, ya?” Udah tahu nanya! Tanpa menjawab, aku memasang lagi earphone dan tidak mengacuhkan lelaki itu. Aku berharap lelaki itu akan pergi. Mataku seketika kembali terpejam. Lagu mengenangmu hampir berakhir. Aku tak bisa meresapi lagu ini karena kedatangan lelaki tak diundang itu. Beberapa menit kemudian, tak ada suara yang terdengar dari earphone. Aku mendongak dan melihat cahaya kemerahan telah muncul. Bayangan Ahmar mulai terbentuk. Ahmar tampak tersenyum dengan seragam SMA-nya sambil melambaikan tangan. Salah satu kegiatan Ahmar yang aku suka. Tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. “Nah, gitu dong senyum. Kan cantik.” Bayangan Ahmar seketika buyar. Aku mendesah, lelaki aneh itu mengganggu lagi. Aku menoleh, lelaki itu masih di posisinya bahkan sekarang duduk menghadapku. Aku memutar tubuh dan duduk memunggunginya. Aku kembali menatap lagi cahaya kemerahan itu. “Kok aku di belakangin? Aku nggak bisa lihat senyummu.” “Hei. Kamu dengar suaraku?” “Cantik, denger suaraku nggak?” Aku pura-pura tidak mendengar dan menganggap ucapan lelaki itu angin lalu. Aku tidak ingin momen menatap cahaya kemerahan ikutan rusak karena kehadiran lelaki itu. Cukup dia merusak ketenanganku sore ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD