8-Kamu Menyukaiku?

1465 Words
“Udah lama, ya, Za kita nggak jalan-jalan sore kayak gini.” Aku menoleh ke Kak Scarla yang berjalan di sebelahku sambil mendorong troller Kenzio itu. Aku lantas mengangguk, membenarkan ucapannya. “Empat tahun ya, Kak. Dulu waktu sore kita jalan-jalan terus nyari makan malem.” Ingatanku berputar saat aku dan Kak Scarla masih di rumah yang dulu. Kami jalan-jalan sore sambil mencari makan malam. Setiap langkah kami lalui dengan bercerita dan bergurau. Sore ini kami melakukan aktivitas itu lagi. Ditambah anggota baru yang sepertinya sedang tidur itu. “Kalau inget dulu Kakak nggak nyangka deh bisa sampai di titik ini.” Seketika aku menghentikan langkah lantas menoleh ke Kak Scarla. Dia juga melakukan apa yang aku lakukan. “Zahya juga nggak nyangka hidup Zahya bisa kayak gini. Ini semua karena perjuangan Kak Scarla.” “Perjuangan kamu juga, Za.” Aku berbalik lantas melanjutkan langkah. Bagiku, aku bisa di titik ini karena Kak Scarla. Kalau dulu dia tidak berjuang mati-matian mencari uang untuk biaya terapiku mungkin saat ini aku masih berteman dengan kursi roda. Mengingat masa itu membuat air mataku menetes. Aku berhutang budi banyak ke kakakku itu. Kalau kakakku bukan Kak Scarla, bisa jadi lain cerita dan aku tak mungkin berada di titik ini dengan waktu yang cukup singkat. “Kamu nangis?” Mendengar pertayaan Kak Scarla buru-buru aku hapus air mataku. Aku tidak ingin kesedihanku dilihat bahkan dirasakan olehnya. Usai menghapus air mataku, aku menoleh sambil memaksakan seulas senyum. “Kelilipan.” “Kakak bukan anak kecil yang bisa kamu bohongin, Za.” Raut Kak Scarla berubah sendu. Aku menarik napas panjang, perubahan suasana hatinya karenaku. Aku mendekat dan memeluk pundak kakakku itu. “Zahya cuma berkaca-kaca, Kak. Inget gimana perjuangan kakak dulu buat nyembuhin Zahya.” Kak Scarla menoleh sambil tersenyum. Meski dia tersenyum, aku bisa melihat kepedihan dari pancaran matanya. “Itu sudah kewajiban kakak. Kamu jangan ngerasa sedih.” “Zahya udah nyoba nggak sedih. Tapi nggak bisa. Apalagi kalau inget Kak Scarla kerja itu... .” “... sudah, Zahya.” Aku terdiam saat ucapanku dipotong begitu saja. Aku tahu Kak Scarla tidak ingin membahas masalah pekerjaannya dulu. Setiap membicarakan pekerjaannya dulu Kak Scarla selalu tahu, kalau aku menyalahkan diriku sendiri atas perbuatannya. “Minggu depan kamu ke acara reuni?” Langkahku terhenti mendengar Kak Scarla membahas masalah reuni. Bagaimana dia tahu kalau di sekolahku mengadakan reuni? Aku menoleh dan menatap Kak Scarla dengan satu alis terangkat. “Kok tahu?” Kak Scarla menoleh lalu menahan tawa. “Kakak nggak sengaja denger kamu bicara di telepon.” “Oh,” jawabku singkat. “Kok cuma oh? Kamu ikut nggak?” Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. Sampai sekarang aku belum ada niatan untuk pergi ke acara reuni itu. Terlalu menyakitkan jika aku harus ke sekolah di mana setiap sudutnya mengingatkanku kepada Ahmar. “Ikut aja, Za. Ketemu teman lama.” Sudut bibirku tertarik ke bawah. Bertemu teman lama? Bahkan aku tak memiliki teman. Aku berjalan sambil tertunduk, dan sekali-sekali menendang kerikil-kerikil kecil. “Zahya kan nggak punya temen, Kak.” Tangan Kak Scarla menyentuh lenganku dan mengusapnya pelan. Aku menoleh dan melihat senyum kesedihan darinya. “Punya. Itu temenmu yang di mal sama temenmu yang sering telpon kamu.” Aku mengernyit. Teman yang di mal? Aku lantas mengangguk saat ingat siapa yang dimaksud Kak Scarla. “Rafif maksudnya? Eh kok Kak Scarla tahu kalau aku ketemu temenku di mal dulu?” Kak Scarla buru-buru membuang muka. Aku merasa ada yang aneh. “Jangan-jangan kakak dulu dateng terus pulang?” Kak Scarla mengangguk pelan. Tebakanku ternyata benar bukan? Aku ingat sepulang dari mal aku mendapati Kak Avram di rumah. Tak lama kemudian Kak Scarla pulang menggunakan taksi. Padahal Kak Scarla bilang kalau makan malam bersama Kak Avram. “Itu semua ide Gita, sih. Katanya biar kamu depet pacar.” Puk! Aku menepuk kening. Astaga, Kak Gita! Kenapa bisa sampai begitu? Aku menggeleng karena kelakuan teman Kak Scarla yang cukup ajaib itu. “Kak Gita ada-ada aja deh kak. Padahal kak Gita jomlo, malah nyuruh Zahya buat cepet-cepet nyari pacar. Mana Kak Gita mau nyariin calon buat Zahya.” “Hahaha. Masa Gita gitu?” Kak Scarla terbahak mendengar ceritaku. Aku menoleh dan melihat Kak Scarla menggeleng mungkin terbayang tingkah ajaib temannya. “Iya, Kak. Kak Gita aneh, ya.” “Kalau nggak aneh bukan Gita.” Ucapan Kak Scarla memang benar. Kalau nggak aneh bukan Kak Gita namanya. Tatapanku lalu tertuju ke arah taman. Aku melihat ada yang duduk menggerombol di bawah pohon cemara. “Kok ada yang nyanyi-nyanyi ya Za?” tanya Kak Scarla. Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. Sebenarnya aku baru tahu kalau di taman ada anak kecil yang bernyanyi. Mataku lalu menangkap seorang lelaki yang bersandar di batang pohon cemara itu. “Panca?” gumamku. “Panca siapa, Dek?” Kak Scarla menatapku penuh tanya. “Cowok yang duduk di bawah pohon itu loh, Kak. Dia sering di taman sini.” “Oh cowok yang itu. Kamu naksir sama dia?” Aku tersentak. Naksir? Aku menggeleng tegas. “Enak aja. Aku masih cinta sama Ahmar, Kak.” Raut Kak Scarla sedikit berubah mendengarku menyebut nama Ahmar. Kak Scarla memang sering memintaku untuk melupakan lelaki itu. “Tapi kata Avram kamu pernah tanya tentang Panca-Panca itu.” Aku menggeleng. Ah Kak Avram sepertinya salah sangka. “Bukan, Kak. Mana mungkin aku suka Panca.” “Kamu suka aku, Za?” Jleb!   ***   Aku duduk dengan kedua tangan saling menggenggam di atas paha. Aku tak tahu harus memulai percakapan bagaimana. Diam-diam aku melirik lelaki yang duduk di sebelahku tengah sibuk dengan senar gitarnya itu. Ini semua karena ucapanku tadi. Aku tak tahu kalau Panca mendekatiku dan Kak Scarla. Sampai-sampai Panca mendengar aku menyebut nama lelaki itu. Setelah itu Panca mengajakku ke taman. Aku sempat menolak, tapi Kak Scarla malah mendorongku ke arah Panca. “Za, ngomong kali. Gue nungguin dari tadi.” Suara Panca memecah keheningan di antara kami. Aku menoleh dan melihat Panca menatapku dengan kedua lengan bertumpu di bagian pinggir gitar. “Maaf. Maksudku tadi nggak kayak gitu.” “Hahaha.” Aku mengernyit mendengar tawa Panca. itu Ada yang aneh? Aku terus menatapnya yang terbahak sambil sesekali memukul gitarnya itu. “Panca ada yang aneh?” “Adalah. Lo.” “Maksud kamu?” Panca berusaha menghentikan tawanya. Dia menatapku dengan wajahnya yang memerah karena tawa terpingkalnya barusan. “Polos banget, sih, jadi cewek. Gue denger kali lo sama kakak lo ngobrolin apa. Gue tadi cuma ngerjain lo aja.” Aku mendengus mendengar kalimatnya. Lelaki itu selalu saja menjailiku. “Kenapa kamu bisa tahu?” tanyaku. Sedikit aneh karena aku tadi melihat Panca sedang duduk sambil bernyanyi. “Waktu lihat kamu aku langsung lari. Terus nggak sengaja denger.” Aku menarik napas lega. Beruntung Panca tak salah sangka. Aku sempat takut kalau lelaki itu mengira aku menyukainya. “Tapi kalau suka beneran nggak apa-apa kok.” Buru-buru aku mengalihkan pandang. Aku melihat Panca tersenyum sambil menaikturunkan alisnya. Tindakan Panca itu membuatku bergeser membelakanginya. “Hayo, Za. Malu, ya?” “Bercandamu nggak lucu.” “Lucu kok.” Aku menggeleng tegas. “Jangan pernah bercanda soal perasaan, Ca. Orang nggak tahu ke depannya kayak gimana.” “Lo takut suka gue beneran?” Buru-buru aku menggeleng. Dari dulu aku memang tak suka dengan bercandaan yang membahas topik tentang suka, cinta atau perasaan lainnya. Dulu Ahmar pernah mengajukan pertanyaan seperti yang dilakukan Panca tadi. Dan yang terjadi, aku benar-benar suka dengan Ahmar dan lelaki itu menyukaiku. Aku hanya tak ingin kejadian itu terulang kedua kali. “Udahlah, Ca. Jangan dibahas. Aku mau pulang aja.” Setelah mengucapkan itu aku beranjak. Aku berjalan meninggalkan Panca dan tak menoleh lagi. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu di diri lelaki itu yang mirip dengan Ahmar. “Huh!!” Aku menarik napas panjang, lalu aku embuskan pelan melalui mulut. Tuhan, kenapa Panca selalu mengingatkanku dengan Ahmar? “Za!!! Gue cuma bercanda kali. Jangan ngambek.” Panca berteriak, tak lama pergelangan tanganku ditarik hingga aku menoleh ke belakang. Panca menatapku penuh penyesalan. Pasti lelaki ini mengira berlebihan. Aku lantas tersenyum dan menjawab ucapan Panca. “Aku nggak marah kok. Udah lupain aja.” “Bener?” Aku mengangguk dan perlahan Panca tersenyum. Dia melepas cekalannya lantas mendekat ke arahku dan melingkarkan lengannya di pundakku. Tindakkan Panca itu membuat tubuhku kaku. “Lo nggak nyaman?” “Hem.” Aku mengangguk. Memang aku tak nyaman dengan rangkulan Panca, dan aku tak berniat menutupinya. “Maaf,” kataku. “Nggak masalah kok. Gue aja yang sok akrab sama lo, padahal kita baru kenal. Balik lagi ke taman yuk!” “Ayo!” Panca berjalan lebih dulu dan aku berjalan di belakangnya. Sepertinya aku harus berhenti menyamakan orang di sekitarku dengan Ahmar. Ahmar dan Panca berbeda, pikiranku saja yang selalu menyamakan tindakan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD