Khawatir

1349 Words
‘Bisa kita ketemuan?’ Gina menunjukkan pesan dari salah satu mantannya pada Indira saat berada di kantin kampus, pesan itu sendiri sudah dibalas Gina dengan menyanggupinya. Mereka putus memang baik-baik, selanjutnya sang mantan menjalin hubungan dengan yang lain dan sekarang menjadi teman dekat dari sahabatnya. “Mita sama Arta masih hubungan?” tanya Gina penasaran. “Kayaknya,” jawab Indira tidak yakin “Aku nggak pernah tanya hal pribadi sama siapapun dan kamu tahu itu, lagian kamu tahu sendiri aku gimana.” Gina terdiam mendengar jawaban dan kata-kata sahabatnya, Indira. Pesan yang dikirim Arta mendekati pernikahannya membuat dirinya bertanya-tanya tentang maksud dari pesan itu, satu lagi Gina sudah tidal mau membuat masalah dengan Mita, sudah cukup mereka bermasalah waktu sekolah. Gina tahu jika Mita masih merasa tidak enak dengannya atas apa yang terjadi di masa lalu, walaupun sebenarnya tidak terlalu peduli. “Kamu bisa nebak nggak dia mau ngomong apaan?” Gina menatap Indira gelisah. “Kalian akan ketemu nanti, buat apa penasaran? Kamu takut suka lagi sama dia? Aku yakin kamu bisa mengatasinya, dulu waktu sekolah juga bisa berinteraksi sama Arta masa sekarang bingung?” Indira menggelengkan kepalanya melihat bagaimana sikap Gina. “Aku tahu, tapi aku merasa nggak enak sama Mita.” “Mas Fierly? Kamu biasa saja atau nggak enak juga?” tanya Indira. “Mas Fierly nggak perlu tahu, lagian dia nggak tahu tentang Arta beda sama Mita.” Gina membela dirinya “Kamu dulu bagaimana bisa yakin sama Mas Fajar?” Indira mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Gina “Memang kamu nggak yakin sama Mas Fierly?” “Entah, aku nggak tahu. Kamu tahu bagaimana ceritanya, apa aku bisa sama kaya kamu dan Mas Fajar?” Indira menggenggam tangan Gina “Setiap orang mempunyai kisah sendiri, kamu tahu itu. Kamu loh orang paling dewasa dan sabar diantara kita bertiga, kamu juga orang yang tenang dalam menghadapi masalah.” Gina terdiam, kalimat yang keluar dari bibir Indira semua benar dan tidak ada yang salah. Beberapa hari atau mungkin semenjak lamaran yang dilakukan Fierly, semua yang dilakukannya selalu harus persetujuannya. Pertemuan dengan Indira saat ini tidak diketahui Fierly, maka dari itu memilih bertemu di kampus akan lebih aman. “Kalau kamu nggak yakin mending batalkan saja,” usul Indira. Gina menatap Indira jika memang semudah itu sudah dilakukannya dari lama, tapi setelah semua yang terjadi pada dirinya membuat rasa percaya dirinya hilang. Fierly benar-benar sudah mengubah dirinya, bahkan Gina menyimpannya sendiri tanpa ada yang tahu tentang perubahannya. “Aku sedikit penasaran kenapa Arta hubungi aku, kamu tahu kalau nomer ini nggak banyak yang tahu? Tiba-tiba aja dia hubungi, dia tahu nomerku dari mana? Kamu? Nggak mungkin, siapa? Yuni? Bisa jadi, tapi hubungan mereka nggak pernah bagus.” Gina berbicara sendiri masih memikirkan tujuan mantan kekasihnya. “Kamu itu ngapain penasaran, sih? Paling dia kangen dan pengen ketemu kamu.” Indira menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri. “Tapi ini...ah...kamu nggak paham, In.” “Apa yang aku nggak paham? Bagian mana yang aku nggak paham? Kasih tahu! Gin, menjelang nikah itu godaan banyak, kamu harus kuat dan yakin sama calon suami kamu. Kamu yakin sama Mas Fierly, kan?” “Entah, aku tadi udah jawab loh. Kamu itu kebiasaan kalau diajak ngomong nggak fokus!” Indira mengerucutkan bibirnya “Nggak usah bahas aku! Dengerin aku yang udah pengalaman, nikah itu mendekati waktunya godaan banyak dan salah satunya adalah mantan. Arta lagian paling cuman pengen tahu keadaan kamu, wait...apa dia putus sama Mita ya? Terus hubungi kamu buat balikan?” Gina menggelengkan kepalanya “Kamu itu kaya kenal Arta banget, padahal kamu dekat sama Arta juga nggak.” “Memang kamu kenal dia banget? Terus menurutnu kenapa itu?” Gina mengangkat bahunya lemas “Itu artinya kamu nggak kenal dia banget.” “Males aku ngomong sama kamu bahas dia,” ucap Gina mengangkat tangannya. “Bagus, aku juga nggak mau dengar tentang mantan dari orang yang akan menikah.” Indira mengatakan dengan tingkat kepuasan tinggi. Gina berdecih pelan melihat ekspresi Indira, sahabatnya yang satu ini memang lain dan mungkin tanpa ada dia tidak mungkin dirinya bisa masuk perguruan negeri. Mengingat perjuangan mereka berdua sering kali tidak menyangka jika mereka bisa sampai sejauh ini, motivasi Indira masuk perguruan negeri sangat tinggi, walaupun sekarang tidak sesuai dengan keinginannya. “Kamu benar sudah yakin sama Mas Fierly?” Gina mengerutkan keningnya “Kenapa tiba-tiba? Bukannya tadi bilang kalau mendekati pernikahan banyak cobaan, apa kamu mau menjadi salah satunya?” “Enak aja...aku cuman tanya!” “Kamu dulu sama Dimas juga pisah karena Mas Fajar yang tiba-tiba nggak mau jauh, pakai nikah langsung aja. Untung kita kenal kamu coba kalau nggak udah mikir kamu hamil duluan.” “Amit-amit!” Indira mengetuk meja dan kepalanya berulang kali “Kalau ngomong filter, neng. Kamu nggak gitu, kan?” Gina terdiam sesaat mendengar tuduhan yang berbalik “Enak aja!” Tuduhan yang mengejutkan dan memang benar, rahasia yang akan selalu disimpan sampai kapanpun. Ketakutan Gina memang pernah terjadi, tapi setidaknya ketakutan itu tidak pernah-pernah terjadi. Tidak tahu bagaimana malunya kalau sampai terjadi, pasti orang tua dan dia pribadi tidak mempunyai muka jika mengundang banyak orang. “Masmu gimana? Nggak mau nikah juga?” tanya Indira membuyarkan lamunan Gina. “Belum punya calon dia,” jawab Gina yang hanya diangguki Indira “Memang kenapa? Kamu nggak lagi mikir aneh-aneh, kan?” “Ih...” Indira tidak melanjutkan kata-katanya ketika ponselnya berbunyi, mengambil ponsel dan langsung mengangkat ketika melihat layar. Gina sudah sangat hafal siapa yang menghubungi sahabatnya satu ini, menggelengkan kepalanya karena sampai kapanpun sahabatnya tidak akan pernah dewasa karena mendapatkan pasangan yang sangat mencintainya. “Kak Fajar itu udah tahu aku sama kamu masih aja nggak percaya, dia masih takut tiba-tiba Seno datang. Lagian udah sah masih aja cemburu, aku heran sama dia itu.” Gina memilih mendengarkan keluh kearah sahabatnya, mencoba mengingat Fierly ketika dirinya berada dalam posisi yang sama dengan Indira. Sikap yang dilakukan Fierly tidak jauh berbeda dengan suami Indira, tapi entah kenapa Gina merasa adanya perbedaan dari mereka bersikap. Gina sering merasa tidak nyaman, tapi tidak bisa berkata terus terang seperti yang dilakukan Indira saat ini, bibirnya tertutup rapat untuk memberitahu bagaimana Fierly sebenarnya. “Kamu masih ingat nggak?” Indira menggelengkan kepalanya “Arta ini nggak jauh beda sama Dimas.” “Terus kenapa?” tanya Indira mengerutkan keningnya. “Mungkin nggak sih Arta khawatir sesuatu terjadi sama aku?” “Khawatir yang gimana? Gimana bisa khawatir secara kalian udah lama nggak hubungan.” “Kamu masih ingat ilmu yang dipunya sama Dimas? Waktu kita kelas dua?” Gina merasa gemas dengan kelemotan Indira. “Ingat, tapi apa hubungan....kayaknya nggak mungkin. Kamu itu terlalu jauh mikirnya, kalau memang benar begitu kenapa Dimas nggak hubungi kamu?” Gina terdiam saat Indira mengatakan pemikirannya “Nggak ada namanya khawatir si Arta itu dia hanya kangen.” “Sok tahu dia kangen!” Gina mencibir kalimat Indira yang penuh keyakinan. “Udah nggak usah ketemu, tapi terserah kamu sih.” “Aku udah bilang ok buat ketemu lusa. Aku penasaran ngapain dia ngajak ketemuan setelah hubungan ini berakhir lama.” Indira menggelengkan kepalanya “Cari penyakit.” “Aku merasa dari pesan yang dikirim itu kaya khawatir terjadi sesuatu sama aku,” ucap Gina penuh keyakinan. “Terserah, kalau ketahuan aku nggak ikutan.” “Kamu dulu sebelum nikah sama Mas Fajar selalu ikut apa yang dia katakan? Pernah nggak kamu menolak atau apapun itu?” tanya Gina penasaran dengan mengalihkan topik. “Kamu tahu gimana Kak Fajar, dia nggak akan biarin aku lepas dari pandangannya dan semua keputusan dia yang buat, meskipun beberapa kesempatan dia akan mengikuti kata-kataku. Sekarang dia selalu minta pertimbangan aku dalam hal apapun, dia nggak akan melangkah kalau aku nggak setuju. Mungkin sekarang kamu ngerasa begitu, proses adaptasi, tapi nanti setelah menikah mungkin akan ada perubahan.” Indira menenangkan Gina yang masih terlihat tidak yakin. “Semoga semua ini hanya perasaanku saja.” Gina mengatakan dengan suara pelan. “Semua akan baik-baik saja, kamu nggak usah mikir terlalu dalam.” Indira menggenggam tangan Gina. “Semoga, aku hanya takut yang dipikirkan akan benar terjadi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD