Menata Masa Depan

1475 Words
“Memang sudah yakin menikah? Mas masih punya masa lalu begitu juga aku.” “Buat apa kita melihat masa lalu kalau bisa merancang masa depan?” Gina memutar bola matanya malas “Mas tahu kita nggak saling cinta, kan?” “Kamu nggak cinta aku? Padahal aku cinta sama kamu, kenapa kamu malah menyakiti aku seperti ini,” ucap Fierly membuat ekspresi menangis. “Mas, aku serius! Aku masih punya pacar loh, lagian mas juga nggak lama putus.” “Tahu darimana? Status pacar akan kalah dengan yang menikah alias suami, memang kamu mau nambah dosa dengan pacaran? Sekarang selama beberapa bulan ini siapa yang lebih banyak sama kamu? Aku atau kekasihmu itu?” Fierly berbicara dengan lembut dan tegas. “Aku nggak cinta sama mas,” ucap Gina dengan suara pelan yang tidak di dengar Fierly. “Aku sudah menata masa depan, kamu mau dengar?” Fierly mengalihkan pembicaraan. “Jangan mengalihkan pembicaraan mas, aku hanya ingin tahu tentang keseriusan kamu. Apa kamu nggak bisa membatalkan semuanya?” “Apa harus dibatalkan padahal isi kepalaku hanya ada masa depan sama kamu.” Fierly berkata dengan menatap kedua mata Gina. “Aku nggak bisa, mas.” Gina berkata kembali dengan menundukkan kepalanya. “Apa yang membuatmu nggak bisa? Aku harus melakukan apa agar kamu menerimanya?” Gina menggelengkan kepalanya “Aku nggak tahu, aku hanya ingin kamu menarik lamaran itu.” “Sayangnya tidak bisa, karena aku nggak mau kehilangan kamu.” Gina terdiam mendengarnya, mengangkat kepala dengan menatap kedua mata Fierly dimana tampak keseriusan didalam sana. Perjuangan menolak lamaran tampak tidak berhasil, tidak mungkin juga meminta bantuan Anwar agar melamarnya karena saat ini sedang fokus pada tugasnya yang bekerja di salah satu hotel. “Kamu mau mendengarkan rencana masa depan yang ada di kepalaku?” Gina menganggukkan kepala tanpa melepaskan tatapan mata mereka “Kanu nanti setelah lulus nggak perlu kerja di orang lain, kamu masih ingat kalau aku punya toko? Toko yang gagal sama teman-temanku itu, tempatnya itu milikku dan aku rencana kamu yang urus.” Gina memilih mendengarkan tentang rencana Fierly ketika nanti mereka menikah, beberapa jam yang lalu mereka diskusi tentang apa yang harus dilakukan nantinya. Pernikahan kakaknya akan berjalan beberapa bulan lagi, sedangkan pernikahan mereka berdua akan dilakukan tepat enam bulan setelah pernikahan kakaknya. “Bagusnya buka toko apa?” Gina berpikir toko apa yang akan dibukanya. “Kita cari pandangan sekarang gimana? Kalau sudah dapat sekalian kita cari distributornya,” usul Fierly. “Menurut mas apa?” tanya Gina dengan tatapan bingungnya. “Bagaimana kalau kita tanya sama suaminya sahabat kamu itu? Sebagai gambaran, keputusannya kembali ke kita mau dipakai atau nggak.” Fierly kembali memberikan usul. “Indira?” Fierly menganggukkan kepalanya “Bener juga Mas Fajar pengalamannya banyak, pastinya paham dengan hal begitu.” “Jangan muji pria lain depanku, sayang. Aku cemburu.” Fierly mencubit pipi Gina pelan. Gina mengerucutkan bibirnya “Mas Fajar juga sudah menikah, mas. Nikahnya sama sahabatku pula, mana ada aku mikir kearah sana dan lagian dia bucin sama Indira.” “Aku juga bucin sama kamu.” Gina mencubit perut Fierly untuk menutupi perasaan malunya, “Kamu tanya waktu luangnya kapan, sambil kita cari pandangan lainnya.” Gina mengalihkan pembicaraan ke hal lain, sesekali Fierly tampak memainkan ponselnya dan kesempatan itu dipakai untuk menghubungi Indira, sahabatnya. Mereka sudah lama tidak bertemu dan sekarang malah membahas tentang hal yang tidak pernah dibahas sebelumnya, cukup lama mereka berdua sibuk dengan ponselnya bahkan tidak ada yang memulai pembicaraan sama sekali. “Mas, Indira bilang kalau sekarang gimana?” tanya Gina menatap Fierly yang menghentikan gerakan tangannya pada ponsel. “Sekarang?” Gina menganggukkan kepalanya “Memang bisa?” “Indira bilang sih bisa,” jawab Gina yakin. Fierly menatap ponselnya dan melakukan sesuatu “Baiklah, susah kita ketemu orang penting.” Gina tertawa mendengar kalimat yang dikatakan Fierly, semua itu beralasan karena suami Indira yang memang tidak pernah ada di kota ini. Menatap ponselnya dan memilih mengirim pesan pada Indira jika mereka setuju bertemu sekarang, Fierly memang benar pasalnya mereka belum tentu bisa bertemu lagi karena sudah mulai disibukkan dengan kegiatan. “Skripsimu bagaimana?” tanya Fierly setelah Gina meletakkan ponselnya. “Masih pengajuan judul, aku lagi mengulang beberapa mata kuliah. Semoga aja cepat selesai, mas.” “Kalau butuh bantuan, kamu kabari aku.” Gina memilih menganggukkan kepalanya. Mereka mulai melangkahkan kakinya menuju mobil, tujuan tidak lain adalah bertemu dengan Indira dan suaminya. Indira mengarahkan ke cafe, tempat yang dibangun suaminya untuk Indira setelah lulus kuliah. “Aku salut sama Fajar yang buat cafe itu,” ucap Fierly saat perjalanan mereka. “Sama, Indira beruntung dapatin mas Fajar.” Gina menyetujui kata-kata Fierly. “Kamu? Kamu beruntung dapatin aku?” Fierly menatap sekilas ke Gina yang hanya menganggukkan kepalanya. Mobil yang membawa mereka sampai dengan cepat, berhenti di depannya dan tampak ramai. Gina sudah beberapa kali datang kesini, tapi tetap saja tidak menyangka jika ini milik sahabatnya. Mereka berteman sejak sekolah sampai sekarang, Indira yang memotivasi Gina agar bisa masuk ke perguruan negeri, jika bukan Indira bisa jadi keluarganya tidak ada yang kuliah di perguruan negeri. “Itu temanmu,” ucap Fierly yang membuat Gina menatap ketempat yang ditunjuk. Langkah mereka semakin dekat, Indira langsung memeluk Gina erat dan membawanya duduk di tempat lain. Mereka berdua hanya mengikuti langkah Indira, tempat duduk yang tampak nyaman untuk mereka berbicara pribadi, cukup lama mereka menunggu kedatangan suami Indira yang tampaknya masih sibuk mengerjakan sesuatu di kantor. “Maaf terlambat,” ucap suara yang masuk kedalam ruangan “Langsung aja kalau gitu, jadi mau bahas apa ini?” Pembicaraan di d******i oleh kedua pria itu, berbeda dengan Gina dan sahabatnya yang hanya diam mendengarkan meskipun sesekali memberikan masukan, walaupun lebih banyak pembahasannya mengarah ke hal lain. Gina beberapa kali menatap Indira yang hanya bisa mengangkat bahunya, pria dengan segala ilmu dan informasi yang dimilikinya. “Kamu benaran sama dia? Sudah yakin?” tanya Indira saat mereka memutuskan pisah tempat duduk. “Kamu dulu sama Mas Fajar gimana bisa yakin?” tanya Gina tanpa menjawab pertanyaan Indira. “Kamu tahu dia gimana, maksa banget buat nikah.” Indira menatap malas pada Gina. “Kamu cinta kan sama Mas Fajar?” “Memang kamu nggak cinta sama Mas Fierly?” tanya Indira terkejut “Kalian sudah mau menikah masa nggak cinta? Apalagi kalau aku lihat sekarang Mas Fierly tampak serius menata masa depan sama kamu, dia nyiapin segalanya buat kamu. Melihat itu membuat aku teringat bagaimana Kak Fajar dulu, bedanya mungkin kamu dilibatkan dengan diskusi beda sama aku yang langsung tiba-tiba jadi.” “Enak nggak mikir,” ucap Gina dengan nada menggodanya. “Aku nggak suka tapinya,” elak Indira sambil mengerucutkan bibirnya. “Bagaimana kamu bisa mencintai Mas Fajar?” tanya Gina kembali pada topik awal mereka. “Tindakan Kak Fajar yang membuat aku bisa membuka hati, melupakan Dimas dan Hari dengan cepat. Allah memberikan petunjuk tentang Kak Fajar yang memang sosok terbaik buatku, sejauh ini memang benar.” Indira menjawab dengan tatapan tepat di kedua mata Gina “Kamu masih mengharapkan Anwar?” “Entahlah, sampai sekarang kaya hilang ditelan bumi.” Gina mengangkat bahunya “Mas Fierly semakin berusaha melakukan pendekatan dengan cara ekstrim, kamu paham maksudku kan?” “Paham, sama kaya Kak Fajar. Bukankah kita harusnya bahagia dicintai sebegitu dalamnya sama pria yang akan menjadi imam kita?” tanya Indira yang hanya diangguki Gina “Nggak usah meragukan apapun.” “Entahlah, aku yang ragu sama diri sendiri.” Gina mengangkat bahunya. “Berdoa aja minta petunjuk apa Mas Fierly memang terbaik buatmu atau nggak.” Indira memberikan masukan yang diangguki Gina. “Bisa jadi ini jawaban dari Allah, aku dulu minta nikah muda dan sekarang lagi diwujudkan.” Gina mengingat keinginannya dulu. “Nikah muda banyak enaknya, semua jadi lebih halal.” Indira menggoda Gina yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. Pembicaraan mereka terhenti saat melihat kode yang diberikan Fajar, memilih bergabung kembali dengan duduk disamping pasangan masing-masing. Gina menatap Fierly dengan tatapan penasaran atas hasil pembicaraan kedua pria ini, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampaknya tidak peduli dan fokus pada Indira. “Keputusannya apa?” tanya Gina akhirnya. “Toko itu luasnya nggak terlalu besar, jadi aku berencana buka toko handphone.” Fierly membuka suaranya menjawab pertanyaan Gina. “Potensinya bagaimana? Bukannya banyak toko begituan dan rata-rata tutup nggak lama kemudian.” Gina masih mencari tahu sejauh mana pembicaraan mereka. “Semua tergantung bagaimana individu yang mengelolanya, aku yakin kamu bisa melakukannya.” Fajar menatap Gina penuh keyakinan. “Lagian memang toko itu yang tidak terlalu membutuhkan waktu buat belajar, kita bisa pekerjakan orang dan mengajarinya. Kuncinya adalah bagaimana mencari orang yang bisa dipercaya menangani toko.” Fierly menambahkan kata-kata Fajar “Aku yakin kamu bisa melakukannya.” Fierly memegang tangan Gina dengan memberikan keyakinan penuh. “Baiklah, asal kamu ada disampingku buat ngajarin dan tegur kalau salah nantinya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD