03 | Kehilangan

1040 Words
Daren bangkit dan langsung menuju kamar mandi, matanya terasa perih dan sangat mengantuk karena tidak tidur semalaman, kepalanya juga terasa pusing. Selesai mandi Daren langsung mengambil seragam nya juga menyiapkan mata pelajaran hari ini, Daren keluar dari kamar dan menuju dapur, Daren ingin lihat apa yang disiapkan oleh ibunya hari ini, Daren membuka tudung saji, ternyata sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi, Daren tersenyum dan langsung duduk memakan sarapannya. Selama Daren makan, helaan napas terus saja keluar dari mulutnya, rasanya ia berharap ingin sekali hanya dengan helaan napas semua masalahnya sirna begitu saja. Sejak Daren mengetahui para ucapan ibu-ibu yang kemarin entah itu fakta atau tidak, membuat beban Daren bertambah. Rasa bersalah menyergap hatinya, ia tak ingin menjadi beban bagi Rose jika kehadirannya memang tidak diinginkan, tapi Daren juga tidak tau harus berbuat apa di usianya yang masih dini, tak tau harus tinggal dimana, dan bekerja sebagai apa. "Besok hari ulang tahunku, hufftt," lagi-lagi helaan napas keluar dari mulutnya. Daren segera menghabiskan makanan nya dan langsung bersiap ke sekolah menggunakan sepedanya. Daren sampai di sekolah lalu menuju parkiran sepeda, tatapannya menari-nari melihat para insan yang sedang bercanda ria dan mengobrol bersama temannya. Rasa iri menjalar dari hati sampai ke dadanya. Sungguh Daren ingin bisa mempunyai teman, Daren ingin bisa bercanda bersama teman. Apakah mungkin? Daren berjalan dengan kepala tertunduk, takut. Daren takut melihat berbagai macam tatapan yang tertuju padanya, "Daren gak mau jadi lemah, tapi gimana caranya jadi kuat?" Daren sampai di depan kelas dan langsung masuk ke dalam kelasnya dan duduk di bangkunya dengan tenang, tidak ada yang mengganggu nya sama sekali. Kepalanya telungkup di meja dengan lengan sebagai alas kepalanya, helaan napas terus saja keluar dari mulutnya. Pikiran dan hatinya terus saja bertentangan, saling tolak menolak mengenai pembicaraan ibu-ibu yang kemarin. "Daren yang memiliki jiwa dan raga ini, tapi kenapa aku tidak bisa mengendalikan pikiran dan hatiku? Kenapa mereka saling menyerang, aku lelah, ingin istirahat," gumam Daren pada dirinya sendiri. "Kalian tolong, berhenti. Daren mohon berhenti, Daren lelah," cicitnya pada diri sendiri, rasa nya sakit di tenggorokan karena air mata yang tertahan, matanya begitu lelah karena tidak tidur semalam, rasanya berat sekali dan ingin langsung tertidur. "Daren lelah," sayup-sayup matanya mulai terpejam, semua suara yang berisik di dalam kelas perlahan mulai menghilang dari pendengarannya. Napasnya mulai teratur. • • • • Brak! Pintu terbuka dengan kencang bahkan dinding ikut bergetar karena suara bantingan pintu yang nya kencang. Daren terkejut bukan main akibat bantingan pintu tersebut, Daren langsung berlari menuju ibunya yang terlihat mabuk berat. Tubuh kecil Daren memapah tubuh Rose yang berkali lipat dari berat tubuh Daren. Tapi Daren tetap melakukan tugasnya dan membawanya sampai ke sofa depan Tv. Rose tiba-tiba tertawa seperti orang gila, rambutnya yang acak-acakan dan make up yang sudah berantakan terlihat seperti orang yang sedang frustasi. "karena mu Dareen!! Karena mu dunia ku hancur!! Ahaha," kata Rose berteriak kencang! Menggema di seluruh ruangan yang hening ini. Daren hanya diam menunduk tak tau harus berbuat apa, cacian kembali terdengar dari mulut ibunya. "Saya benci harus melahirkan dan harus merawat mu dan harus bekerja keras seperti ini, saya benci!!" tekannya. Sungguh perkataan kasar itu sudah sering di dengar Daren, tapi tetap saja Daren merasa sakit hati. "Dan sialnya laki-laki b******n itu tidak mau bertanggung jawab atas dirimu!!" tunjuk Rose di depan wajah Daren. Tubuh Daren sudah bergetar ketakutan, bahkan bibirnya sudah bergetar karena ketakutan. "Daren mohon berhenti ma," cicitnya, dengan suara bergetar. Plak! Daren langsung terbangun dari mimpinya, napasnya memburu bahkan keringat sudah membanjiri kening nya, rasa takut karena mimpi itu masih saja menghantuinya. Apa benar Daren adalah anak haram? Bahkan dalam tidur pun Daren tidak tenang, karena pikiran buruk terus saja menghantuinya sampai terbawa mimpi, "Daren mohon kalian tenang dulu, biarin Daren istirahat bisa kan? Bisa? Daren mohon," pintanya pada diri sendiri. Mata pelajaran sudah dimulai sejak Daren tertidur tadi, tapi sepertinya guru itu tidak melihat jika Daren tertidur karena posisi duduknya yang di belakang pojok. Untung saja Daren terbangun dari mimpinya karena jika tidak akan berbahaya bukan? "Daren apa kamu bisa menjawab soal yang ini?" tanya guru perempuan itu dengan ramah sambil menyodorkan spidol bertinta hitam kepada Daren. Daren diam memperhatikan papan tulis, pikirannya mencerna cara di papan tulis, Daren mengangguk lalu maju ke depan dan menerima sodoran spidol itu dari gurunya. Daren menyelesaikan soal di papan tulis lengkap dengan caranya. "Silahkan duduk dan terimakasih," "Baik bu," Daren kembali di tempat duduknya. Guru itu memuji karena Daren menyelesaikan tugas di papan tulis dengan baik tanpa kesalahan, lalu guru itupun menjelaskan cara penyelesaian yang di tulis oleh Daren. • • • • Langit hari ini sedang mendukung suasana Daren yang sedang berantakan. Seakan alam pun ikut senang menyiksa keadaan Daren yang tiada habisnya. Daren sedang menuju rumahnya menggunakan sepedanya, hari ini jam sekolah di percepat karena para guru mengadakan rapat dadakan. Jadi semua murid dipulangkan di rumah masing-masing, semua teman di kelasnya senang akan kabar itu. Tapi tidak bagi Daren. Artinya ia akan merasakan kesepian lebih lama dari biasanya. Daren menyusuri jalanan dengan banyak pohon disekitarnya, angin dingin berhembus menusuk kulit Daren, hatinya yang sedang berantakan semakin berantakan karena suasana seperti ini mendukungnya untuk melampiaskan semua rasa sakitnya. Daren mampir ke taman, dimana sekarang karena cuacanya yang tidak mendukung membuat taman itu sepi. Daren duduk di bangku yang menghadap danau. Helaan napas terdengar dari mulutnya, sudah tidak terhitung berapa kali helaan napasnya terdengar. Hanya itu yang bisa dilampiaskan olehnya. "Apa Daren benar anak haram? Mengapa? Mengapa harus Daren? Why me? Why? Why?!!" teriak Daren, suaranya terdengar frustasi, Daren mengacak rambutnya, tangannya mengepal keras. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun Daren bisa meluapkan semua amarahnya. Untuk pertama kalinya Daren bisa melampiaskan semua perasaan gundahnya. Tubuhnya meluruh begitu saja. Tatapan matanya kosong, pikirannya tiba-tiba blank tidak bisa berpikir apapun. Kepalanya terasa kosong tanpa terasa beban apapun. "Da–Daren kenapa? Hah? Kenapa?" tanya pada dirinya sendiri. Daren panik, tapi bingung harus berbuat apa karena tiba-tiba tidak bisa berpikir apapun, tubuhnya terasa ringan tanpa beban, begitupun dengan hatinya, tapi ia merasa kehilangan, seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Kosong, hampa. Benar-benar rasa yang tidak bisa di deskripsikan, Daren hanya diam di sana, dibawa guyuran hujan yang deras. Tetesan air hujan yang deras terasa sakit seperti menusuk kepalanya. Tapi tak menghiraukan rintikan air hujan yang deras itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD