01 | Kebencian

1148 Words
Pagi ini seorang laki-laki remaja bertubuh kurus kering sudah bangun dari mimpinya, entah mimpinya indah atau buruk, tidak ada yang tau, kecuali ia dan Tuhannya. Laki-laki itu keluar kamar menuju ruang tengah. Lagi-lagi yang dilihatnya hanyalah furniture yang berada di tempatnya. Tidak ada pergerakan manusia sama sekali di ruangan tengah yang langsung tersambung ke ruang dapur itu. Kosong, hening. Hanya keheningan dan kekosongan yang menyertai hidup dari laki-laki itu. Laki-laki itu kembali menghela napas lelah, ia kembali ke kamarnya lalu mengambil handuk serta pakaiannya lalu menuju kamar mandi yang berada di luar kamar. Selesai mandi, perutnya sudah berbunyi minta di isi. "Para cacing yang tidak sabaran, pagi-pagi sudah minta jatah makan," gerutunya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, sambil berjalan ke kamarnya. Jika ia lupa, tolong katakan padanya kalau ia tidak makan sejak kemarin siang, wajar kan kalau para cacing yang di perutnya sudah ribut minta di isi. Laki-laki itu kembali menuju ruang tengah, langkah kakinya berjalan menuju dapur, di bukanya tudung saji dan melihat ada lauk lebih dari satu macam, laki-laki itu tersenyum tulus, walau Ibunya selama belasan tahun ini selalu mengabaikannya, tapi tak pernah lupa untuk memasak dan memberikan uang saku untuknya. Tiba-tiba d**a laki-laki itu terasa sesak, desakan air mata untuk lolos dari pipinya begitu kuat. Selama laki-laki itu hidup dan sebentar lagi akan berumur enam belas tahun, tak pernah sekalipun Ibunya peduli kepadanya. Apalagi untuk makan bersama dengannya, bertukar cerita mengenai hari demi hari yang telah dilalui, itu adalah hal sederhana bukan? Tapi terasa sulit bagi laki-laki itu, bahkan Ibunya melirik pun tidak, memang benar jika itu adalah makanan sehari-harinya. Tapi, manusia tetap punya perasaan kan? Ia hanya ingin bisa memeluk satu kali saja pelukan hangat dari Ibunya, jika itu bisa ditukar dengan nyawa, walau hanya bisa mendapatkan pelukan hangat dari Ibunya, maka laki-laki itu akan dengan sangat senang hati memberikannya. Suara ketukan pintu utama terdengar tidak sabaran, dengan cepat Laki-Laki itu langsung lari dan membuka pintu, senyumnya merekah sangat lebar, tangannya sudah siap untuk memberi pelukan nya kepada seorang wanita yang sedang mabuk itu. "Minggir!" tubuh laki-laki itu terdorong bahkan hampir terjatuh jika saja ia tak siaga oleh serangan sang Ibu. "Mama butuh sesuatu? Daren nanti ambilkan,tanyanya saat di telinga sang ibu, ia tak tega melihat keadaan sang ibu yang pulang dengan keadaan mabuk, dan berakhir terbaring tengkurap di sofa seperti ini dengan pakaian serta rambutnya yang berantakan, "Pergi!! Saya tidak membutuhkan bantuan mu," usir Ibu nya, Daren menghela napas. Selalu seperti ini saat Daren berusaha membantu Rose–Ibunya, tetapi bukan Daren namanya jika menuruti perkataan Ibunya dan langsung pergi begitu saja. Tidak, Daren tidak akan menyerah untuk hal kecil seperti ini, Daren beralih mengambil tas sang Ibu dan menaruhnya di meja lalu beralih melepas sepatu serta kaos kaki nya, tak ada perlawanan dari Ibu nya, itu memudahkan Daren dalam urusannya. Daren menaruh sepatunya di tempat rak sepatu, Daren melihat Ibunya terduduk sembari memegang kepalanya, kantung matanya terlihat menghitam, "Apa Mama benar-benar bekerja keras untukku?" tanya nya pada diri sendiri. "Hoek! Hoek!" Rose memuntahkan isi perutnya di tempat pencucian piring, tapi yang keluar hanya lendir yang berwarna putih, Daren dengan cepat membawa air dan mengambil obat Aspirin yang biasa di minum oleh Rose. Rose terduduk lemas di kursi meja makan, menerima pemberian Daren tanpa protes. Hati Daren menghangat, karena ibunya tidak menolak apapun yang diberikan oleh Daren. "Karena mu, saya menjadi menderita, saya benci dengan kehadiranmu. Benci!" ucapnya dengan nada yang di naikkan satu oktaf. Daren hanya tersenyum, tidak tau harus menyahut apa mengenai perkataan Rose. Relung hatinya terasa seperti terluka, sakit. Sungguh sakit dengan perkataan orang yang sangat ia sayangi itu, walau memang sudah sering dilontarkan oleh Rose. Tapi tetap saja, bagi Daren itu menyakitkan, seakan luka yang belum sembuh dan masih basah digoreskan kembali di tempat yang sama, tetapi lebih dalam lagi, membuat luka itu tidak bisa sembuh dan terus melebar. Daren ingin sekali menangis untuk bisa mengeluarkan semua ungkapan perasaan hati nya yang terluka itu, ingin sekali Daren bisa merasakan menangis. Tapi, logikanya selalu menolak. Logika nya memaksa ia untuk tidak menangis karena itu adalah hal yang membuatnya bisa menjadi lemah. "Daren mau ke kamar dulu ya mah," ujarnya dan langsung meninggalkan Rose di meja makan. Padahal perutnya sudah lapar sejak tadi, tapi ia tak ingin suasana menjadi canggung atau bahkan bisa menjadi lebih buruk lagi. Lebih baik Daren menahan lapar bukan? Daren tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada saat makan. Daren merebahkan tubuhnya di kasur, bola matanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran campur aduk. Kenapa di usianya yang masih belia Daren harus merasakan semua rasa sakit ini? Daren selalu iri ketika melihat anak-anak di sekolah nya yang ketika pulang disambut oleh orang tua mereka. Hal sederhana tapi sangat diinginkan oleh Daren. Tuhan, apakah Daren bisa merasakan hal sederhana itu walau hanya dari mimpi? Daren menginginkan hal itu Tuhan, Daren selalu berandai-andai bisa memeluk tubuh Rose, merasakan hangat dan curahan kasih sayang yang diberikan oleh Ibunya. "Daren mau peluk mama boleh? Sebentar aja mah, Daren pengen bisa meluk mama," lirihnya putus asa, tatapan mata nya begitu kosong, tidak ada gairah hidup. Tolong siapapun ingatkan Daren, ini masih pagi tetapi Daren sudah mengingat lukanya. Itu tidak baik bukan? Karena akan mempengaruhi aktivitasnya selama seharian ini.Tiba-tiba ingatannya terlempar ke sekolah, dimana sejak ia sekolah tak pernah mendapatkan teman sekalipun, ia tak pernah berbicara kepada siapapun di sekolah, semuanya menatap ia layaknya virus yang harus dihindari, tatapan dari teman sekelasnya pun memandang nya rendah. Entah kenapa Tuhan senang sekali membuatnya kuat mengenali dunia yang sebenarnya sebelum waktunya, sungguh. Daren belum siap menerima itu semua, semua masalah dari berbagai arah menyerang hati dan mentalnya secara bersamaan, bahkan Daren belum menemukan jati dirinya tapi sudah ditimpa dengan berbagai macam masalah, membuatnya berpikir kesalahan apa yang dibuatnya pada kehidupan sebelumnya? Hingga ia menerima akibat tanpa sebab yang pasti. "A–apakah kelahiran ku ini salah Tuhan?" tanyanya dengan suara pelan, kenapa logikanya tidak pernah berpihak kepada Daren? Daren tidak pernah menemukan solusi di setiap permasalahan dalam hidupnya. Perutnya semakin berbunyi di suasana yang hening ini, Daren meringis memegangi perutnya. Daren berjalan lalu mengintip di pintu, melihat apakah ibunya masih ada di dapur atau tidak. Keberuntungan berpihak padanya, dengan cepat ia ke ruang meja makan, mengambil lauk dan langsung makan dengan cepat. Bahkan beberapa kali Daren tersedak karena makannya yang terburu-buru. Karena hari ini ada ibunya, bukan takut, hanya saja Daren tidak mau menerima perkataan kasar dari ibunya. Selesai makan Daren segera mencuci piring dan gelasnya, lalu Daren mengambil peralatan untuk bersih-bersih rumah. Daren menyapu seluruh ruangan rumah, saat sedang asik menyapu Daren melirik kalender, "Ternyata lusa adalah hari ulang tahunku." "Kenapa waktu terlalu cepat, aku belum bisa membuat Mama sayang kepadaku, tapi umurku terus bertambah tanpa ada kenangan manis," suaranya begitu lirih dan sakit untuk bicara karena desakan air mata yang tidak keluar membuat tenggorokan nya sakit. Dua jam kemudian Daren selesai dengan pekerjaannya. Daren bersyukur karena sampai saat ini Ibunya belum juga keluar dari kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD