Kesepakatan Bersama

1608 Words
Sampai di apartemen milik Gangika, gadis itu melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Sauna menghembuskan napas berat ke udara. Dia merasa frustasi, karena memikirkan hari esok, di mana pernikahannya dengan Horizon Cakrawala akan digelar tertutup. Lelaki itu membuatnya tak habis pikir. Menikah tanpa pacaran dan perkenalan lebih dekat, adalah hal yang tak mungkin untuk dilakukan. "Tapi kau menerimanya sendiri, Sauna," gumamnya menyalahkan. Tidak masuk akal saja bagi Sauna. Di sisi lain, dia merasa sedikit tertarik dengan sikap Horizon yang sempat membelanya di depan keluarga yang telah mengabaikannya selama bertahun-tahun. Bukan tanpa sebab dan alasan yang pasti. Bagi Sauna sendiri, kedatangan Horizon yang tiba-tiba dan berperan menjadi calon suami yang baik di depan kedua orang tuanya adalah hal yang paling keren. Sauna tertawa. "Keren kau bilang? Baru gitu aja kau sudah memujinya, Sauna." Sejenak ia kembali berdiam dan kemudian berkata, "semoga ini pilihan yang tepat untuk Sauna ya, ma?" Getar dari hape yang berturut-turut menyadarkan Sauna dari lamunan. Bergegas mengganti posisi menjadi duduk, dia mengambil hape dari dalam tas yang masih ia kalungkan pada tubuhnya. "Hori?" tanya Sauna, sesaat menatap layar hape. Kemudian, dia seraya berpikir sejenak. Sauna mencoba mengingat-ingat nama itu. "Apa maksudnya Horizon?" "Bisa jadi." Sauna memutuskan untuk menyentuh tombol terima panggilan. Lalu, ia menempelkan benda persegi di atas daun telinganya. Sauna: Hallo? Horizon: Kamu belum tidur? Sauna: Kalau sudah, aku tidak akan menerima panggilanmu, Tuan. Ada apa? Horizon: Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja Hori. Aku cuma mau katakan, kalau aku sudah tiba di rumah. Bersiaplah untuk tidur. Besok, kamu dan akan menikah. Kamu tidak lupakan, Sauna? Sauna: Agh ... iya. Aku tidak akan melupakannya. Baiklah, aku akan tidur. Selamat malam. Sauna memutus lebih dulu obrolan mereka. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak. Mendengar suara Horizon yang merdu di ujung sana mampu menghipnotis Sauna. Berbeda ketika mereka bersama. "Kamu tidak lupakan, Sauna?" dia mengulang dan mengingat dengan jelas suara Horizon tadi. "Dia menyebut namaku dengan baik. Siapa dia yang sebenarnya?" Sauna kembali berbaring di atas tempat tidur. Kedua mata itu menatap langit-langit kamar sambil memeluk hapenya. "Benarkah, dia akan jadi suamiku besok?" Drtttttt ... "Astaga." Sauna terlonjak kaget merasakan getaran hape di atas tubuhnya. "Siapa lagi sih?" Buru-buru dia buka kembali hape. Mendapati deretan pesan dari sahabat-sahabatnya, Sauna pun kembali menarik tubuhnya untuk duduk. RUANG BELAJAR Gangika: Gimana Sauna? Lo kok diem aja? Apa cerita? Ryung: Lo pengen tau banget apa tau aja? Gangika: Siapa? Ryung: Lo Gangika: Nanya? Harson: Jangan pada berantam. Tunggui si Sauna dulu. Gue juga jadi penasaran sama itu anak. Gangika: Nah, 'kan? Kita sehati, Son. Sauna: Kalian emang pengen tau cerita gue hari ini? Gangika: Iyalah. Ngapain juga ngumpul di sini? Harson: Dari pertanyaan lo, gue tebak keknya ditolak nih. Ryung: Kayak cenayang, lo! Harson: Berisik! Gue kan cuma nebak. Gangika: Buruanlah. Ryung: Astaga ... benaran dech lo dedemit. Maksa amat. Gak ada sabarnya. Sauna: Kasi selamat sama gue besok. Ryung: Selamat? Maksud lo apa, Na? Harson: Selamat untuk? Gangika: Lo kan nggak ultah besok? Kenapa diselamati? Sauna: Besok ... gue sama Horizon mau nikah. :( Ryung: Apaaaaaa? Gangika: Lo serius? Mana ada nikah secepat itu. Sauna: Gue serius. Entahlah. Bisa aja, dia uda persiapkan jauh-jauh hari. Gue juga gak ngerti, Ka. Dia ngajak ke KUA besok. Ryung: Benaran lo mau? Sauna: Iya, Kak. Horizon juga uda minta izin sama papa. Kita ketemu baru aku cerita sama kalian, ya. Aku mau tidur. Uda ngantuk. Persiapan untuk besok, gue juga gak paham. Selamat malam semuanya. Byee .... Gangika: Gue turut bahagia sama lo, Na. Terharu gue. Selamat malam calon pengantin baru. Jadi, besok kita 3 nggak ada diundang apa? Weh, Saunaaaa! Ryung: Kayaknya dia uda tidur. Harson: Selamat malam kesayangan kami. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kita. Akhirnya, berkurang juga jumla jomlo di sini. Tak lagi membaca pesan masuk dari grup sahabatnya, Sauna meletakkan hape di atas nakas. Dia beranjak turun dari atas kasur dan hendak pergi ke kamar mandi. Berbeda hal dengan Horizon Cakrawala. Lelaki itu masih duduk diam di bawah langit gelap malam itu. Di balkon kamarnya. Sebelumnya, saat ia sampai di rumah usai mengantarkan Sauna. Horizon disambut dengan ocehan Alena—Mama Tirinya. "Tumben pulang cepat," tegur wanita paruh baya itu, sesaat Horizon melewati sofa ruang tengah. "Bukan urusanmu!" Horizon terus melangkah menuju anak tangga. "Di rumah ini semasih ada aku, kau masih berurusan denganku, Horizon." Dia menarik wajah yang sempat menunduk ke arah depan. Bersamaan pula, kaki Horizon terhenti dari langkahnya. "Apa kau yang melahirkanku? Apa kau juga yang kasi aku makan? Kau hanya sekadar benalu atau parasit yang menempel pada papaku. Jika bukan karenanya, kau tidak akan pernah menjadi siapapun di rumah ini. Tolong, jangan berperan sebagai Mama yang baik di depan Papaku. Dan jangan pernah mengatur setiap jalanku." "Horizon!" teriak seseorang dari arah lain. Horizon menoleh dan mendesahkan napas berat. "Apa aku salah berkata? Jangan membuatku menjadi rendah, Pa. Aku bukan anak kecil lagi kayak dulu. Wanitamu, dialah yang menghancurkan masa kecilku dan harapan mamaku. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah memaafkan kalian berdua!" teriak Horizon. "Apa yang kaukatakan?" Papa Hadi berjalan mendekat. "Jangan menantangnya, Had. Anakmu memang sudah gak ada sopannya terhadapku. Aku tidak ingin ribut. Lebih baik, kita kembali ke kamar." Alena bangkit dari duduknya dan hendak berlalu pergi. Pun dengan Horizon, dia lebih dulu memaju langkah meninggalkan ruang tengah dengan mata sang Papa yang masih menyoroti kepergiannya ke arah anak tangga. "Sampai kapanpun, dia tidak akan pernah mendapatkan keinginannya atasku." Horizon masuk ke dalam kamar dan membanting pintu sekeras mungkin. Hidup dalam kesepian sejak ditinggal pergi selamanya oleh sang mama di usianya yang ke 4 tahun, merubah Horizon jadi anak yang menyedihkan. Satu tahun kemudian setelah kematian mamanya, sang Papa memutuskan untuk menikah dengan Alena—sahabat mama Horizon. Sungguh membuat Horizon terpukul, setelah dia beranjak dewasa dan paham akan kenyataan hidupnya selama ini. Alena berperan seperti ibu tiri dalam sebuah dongeng. Di mana, Alena akan berubah sangat baik bila di depan papanya. Horizon tidak menampik, akting wanita itu memang sangat mulus untuk tidak dipercaya. "Seperti kemauan kalian, aku akan menikah dan terbebas dari kalian. Ya, aku pastikan Sauna adalah gadis yang baik untuk melawan kalian. Gadis yang pernah memberikanku harapan untuk hidup dengan benar." Mengingat nama Sauna. Horizon buru-buru mengambil hape dari dalam saku celana yang ia kenakan. Secepatnya, dia mencari kontak nama Sauna yang diaberi nama "Small Angel". Tidak beberapa lama menempelkan benda persegi itu pada daun telinganya, ia mendengar suara Sauna dan langsung memejamkan kedua mata. Emosi yang sempat menyala, kini reda dengan mendapati suara Sauna. Berbincang sebentar dengan gadis itu, hingga obrolan terputus. "Dia bahkan tidak tau siapa aku? Agh, yang terpenting aku menemukannya." Horizon meletakkan hape di atas lemari kecil di samping tempat tidur, sebelum ia memaju langkah untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Horizon memilih untuk duduk di balkon kamarnya. Dia termenung meratapi diri sembari memikirkan Sauna dan pernikahan. "Apa aku bisa?" "Bagaimana, kalau dia tidak bahagia?" "Agh ... aku rasa ini tidak baik buat diriku sendiri. Aku harus merubah diri agar tidak kelihatan kaku di depannya." Horizon terus berbicara sendiri. Hal itu sering kali ia lakukan di sana. Ya, beranggapan kalau ada sang Mama yang mendengar setiap ocehannya. "Aku harap, dia berbahagia denganku. Dengan sikapku yang seperti ini." Horizon sama sekali belum pernah mengikat hubungan dengan cewek mana pun. Kebenciannya terhadap sang papa dan mama tirinyalah, yang membuat Horizon tak berniat memadu kasih dengan siapa pun. Dering dari hape Horizon mengudara dalam ruang kamarnya. Ia pun terlempar kembali ke alam sadar. Kedua kaki itu bergerak dan berniat untuk menyudahi lamunan tentang hari esok dan masa depannya. Sampai di depan nakas, kedua mata Horizon mendapati nama Stevan di atas layar hape. Dia pun menyentuh tombol terima dan menarik hape untuk dia tempelkan di daun telinga seraya duduk di bibir ranjang. Horizon: Gue rasa ada kepentingan yang mendesak. Stevan: Lo nggak niat ngundang gue? Horizon: Ngundang? Stevan: Sialan lo, Riz. Seriusan, nikah secepat ini sama Sauna? Horizon: Dari mana lo tau? Stevan: Adik guelah. Lo mau nutupi sampai kapan? Sampai tahun ini berganti musim? Horizon: Maaf, Van. Gue gak ngadakan apapun. Yang penting, gue dan Sauna sah di mata hukum dan negara. Stevan: Bagus sih. Gue suka cara lo, Riz. Tapi ... kesian Sauna. Masak lo tega sih, nggak ngasi pernikahan yang diimpikan setiap gadis di luaran sana. Horizon: Sauna sama sekali nggak keberatan, Van. Dia juga setuju dan menginginkan hal yang sama. Stevan: Baguslah. Berarti, bukan hanya kemauan lo, 'kan? Gue kenal lo kayak apa Horizon. Horizon: Iya, gue pastikan semuanya baik-baik aja, Van. Doakan gue ya, semoga lancar. Gue rasa, papanya Sauna juga bakalan datang. Stevan: Seriusan lo? Horizon: Banget. Nggak sengaja juga, gue ketemu sama keluarga Sauna. Gue ngikuti Sauna pulang tadi. Stevan: Astaga ... co cweet mamat lo, Bro. Benaran uda jatuh cinta sama Sauna kali lo? Horizon: Jangan ngomong macam-macam. Cukup satu macan aja! Ya uda, gue mau tidur dulu. Besok gue harus siap-siap untuk jadi mempelai pengantin dakdakan. Stevan: Gue bukan macan! Bacot lo, Riz. Ya uda, gue matikan nih. Semoga lo bahagia. Kata-kata itu menjadi akhir dari obrolan singkat mereka. Horizon sesaat berdiam diri, dia menarik napas dalam-dalam dan kembali meletakkan hape di atas lemari kecil. Lelaki itu menarik selimut dan berencana untuk tidur. Merebahkan tubuhnya dengan kedua tangan yang ia lipat di atas perut. Kedua mata Horizon fokus ke arah langit-langit kamar. "Ma, semoga saja yang Horizon lakukan ini sudah benar. Hori benar-benar bertemu dengan gadis yang senasib dengan Horizon kala itu, Ma." Air mata kesedihan itu tiba-tiba mengalir di atas kedua pipinya. Sejak tadi, dia memang menahan diri agar tidak menguapkan perasaan sakitnya lewat air mata. Jarang sekali, untuk seorang Horizon, menangisi dirinya sendiri. Setelah, dia beranjak dewasa dan menjadi anak laki-laki yang pemberani. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD